Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menghadiri acara 17
Agustus, hari kemerdekaan Indonesia? Syukron ustadz.
Hamba Allah
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu
was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa man waalah, wa ba’d.
Dalam menjawab pertanyaan ini, ada satu
hal prinsip yang mesti dipahami oleh setiap umat Islam, bahwa negara yang
bernama “Indonesia” adalah salah satu bumi Allah, bumi kaum muslimin, yang
Allah Ta’ala wariskan untuk orang-orang beriman dan beramal shalih.
Sebagaimana Firman-Nya: “Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan
Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Oleh karena itu, ketika negara ini
dijajah, dijarah, oleh kaum kuffar, maka upaya merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia merupakan upaya menjaga dan melindungi salah satu bumi
Allah Ta’ala dan bumi kaum muslimin tersebut. Sehingga kemerdekaan itu kembali
datang, “… dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.”
Mati mempertahankan negara
Seorang muslim yang mati mempertahankan
tanah airnya, dan dia memandangnya sebagai amanah Allah Ta’ala yang harus dijaga,
sebagai bumi Allah Ta’ala untuk kaum beriman, maka dia bukanlah termasuk yang
matinya sia-sia. Semoga Allah Ta’ala menjadikannya sebagai syahid di sisi-Nya.
Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ
شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Barangsiapa yang dibunuh karena
hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid,
barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang
dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” (HR. At Tirmidzi, No.
1421, katanya: hasan shahih. Abu Daud, No. 4177. An Nasa’i, No. 4095. Ahmad, Juz.
4, Hal. 76, No. 1565. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib
wat Tarhib, Juz. 2, Hal. 75, No. 1411)
Jika mati membela keluarga, harta, dan
darah sendiri saja nabi katakan sebagai syahid, bagaimana membela kepentingan
yang luas dari itu semua yaitu menjaga bumi Allah dan kekayaan umat Islam?
Peduli kepada tanah airnya
Perhatian seorang muslim kepada tanah
air dan kampung halamannya, tidak pernah dilarang dalam Islam. Pada titik ini,
nasionalisme seorang muslim yang memandang bahwa sebuah negeri merupakan amanah
Allah Ta’ala yang mesti dijaga, dilindungi, dan dimakmurkan, bukan sebuah hal
yang bertentangan dengan Islam.
Dalam Tsalits Al Majalisah karya Ad
Dainuri, dari jalan Al Ashmu’i, dia berkata: Aku mendengar seorang Arab
pedalaman berkata:
إذا أردت أن تعرف الرجل فانظر كيف تحننه إلى
أوطانه، وتشوقه إلى إخوانه، وبكاؤه على ما مضى من زمانه
“Jika engkau ingin mengenal seorang
laki-laki, maka lihatlah bagaimana kecintaannya terhadap tanah airnya, dan
kerinduannya terhadap saudara-saudaranya serta kesedihannya atas waktu yang
telah lalu.” (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, No. 386. Cet. 1.
1405H-1985M. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)
Mengingkari rasa cinta kepada negeri sendiri dan rindu
kampung halaman, adalah sikap melampaui batas. Sebab secinta apa pun Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap kota Madinah, beliau pun merindukan
kampung halamannya, Mekkah. Oleh karena itu ketika Ushail menyebut-nyebut kota
Mekkah, Nabi pun menitikkan air mata dan berkata kepadanya:
يا أصيل دع القلوب تقر
“Wahai Ushail biarkan hati ini
tenang..” (HR. Ala’uddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal No. 34702,
Raudhul Unuf, 3/23. Ibnu Makula dalam Al Ikmal (1/28). Al Hafizh Ibnu Hajar
dalam Al Ishabah fi Ma’rifatish Shahabah, 1/30. Mawqi’ Al Warraq. Juga Al
Marzuqi dalam Al Azmanah wal Amkanah, Hal. 189. Mawqi’ Al Warraq, dan Ibnul
Atsir dalam An nihayah fi Gharibil Hadits, 1/209. Al Maktabah Al ‘Ilmiyah).
Untuk menggambarkan kerinduan terhadap tanah
airnya (Mekkah), Bilal pun bersya’ir (Ar Rasul war Risalat, Hal. 172):
ألا ليت شعري هل أبيتن ليلة بواد وحولي إذخر
وجليـل
وهل أردن يوما ميـاه مجنة وهل يبدون لي شامة
وطفيل
Oh angan ..
Masih mungkinkah kulalui malam di suatu
lembah
Idzkhir mengitariku besama Jalil
Masih mungkinkah kutandan gemercik air
Mijannah
Adakah Syamah dan thufail menampakkan
diri untukku?
Islam hanya menentang qaumiyah
dhayyiqah (nasionalisme sempit) yang memandang kemuliaan dan
keunggulan sebuah ras di atas ras lainnya, sebuah bangsa di atas bangsa
lainnya, sebuah suku di atas suku lainnya, sehingga lahirnya sikap Iblis: ana
khairu minhu (aku lebih baik darinya), sebab keuanggulan dan kemuliaan
yang benar adalah disebabkan takwanya. Begitu pula Islam menentang nasionalisme
yang menghilangkan kebanggaan dan identitas seorang muslim kepada agamanya,
lebih mengunggulkan fanatisme daerah dan kelompok di atas keislamannya. Inilah
fanatisme jahiliyah yang tercela.
Peringatan Kemerdekaan
Bangsa ini selalu memperingati
kemerdekaannya yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Hal ini terus
berlangsung sampai saat ini. Ini telah menjadi tradisi duniawi secara nasional,
dan bukan kategori urusan ibadah ritual. Dalam perkara dunia seperti ini,
syariat Islam telah memberikan kelapangan atasnya, dan termasuk zona maskut
‘anhu (didiamkan) dan ma’fu ‘anhu (dimaafkan), selama
di dalam peringatan tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan
dengan aqidah dan akhlak Islam. Jika di dalamnya baik, maka itu baik, jika di
dalamnya buruk maka itu buruk. Berbeda dengan ibadah ritual yang memang mesti
ada dalil khusus untuk melaksanakannya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
الحلال ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم
الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفو عنه (رواه الترمذى)
“Yang halal adalah apa yang Allah
halalkan dalam kitab-Nya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam
kitab-Nya, dan apa saja yang didiamkan-Nya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”
(HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Syaikh Al Albani mengatakan:
hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah
mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان
ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه
وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها
فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
Dia –Subhanahu
wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan
keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya
dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah
halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia
diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang
didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan
hal itu merupakan kasih sayang dari-Nya, bukan karena lupa dan membiarkannya.
(I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)
Berkata Imam Muhammad At Tamimi
Rahimahullah:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد
أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكره
“Bahwa segala sesuatu yang didiamkan
oleh syaari’ (pembuat syariat), maka hal itu dimaafkan (mubah), tidak boleh
bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau
memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru Al Ahkam ‘Alaiha,
Hal. 3)
Rambu-Rambu
Hal ini mesti diperhatikan agar
orang-orang yang memperingati hari kemerdekaan tidak terjebak seremonial semu
yang justru bertentangan dengan agama dan cita-cita para syuhada.
1. Peringatan harus bersih dari unsur
syirik, klenik, dan maksiat.
2. Tidak melupakan dan melalaikan
hal-hal yang wajib, seperti shalat, dan lainnya.
3. Diisi dengan acara-acara yang
positif, bermanfaat, mencerdaskan, bukan hura-hura yang tidak jelas dan tidak
relevan dengan makna kemerdekaan.
Wallahu A’lam