Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf*
* Ringkasan
dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al
Madkhali dalam kitabnya Haqiqat Ash Shufiyyah (hal.18-21), dengan
sedikit perubahan.
Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:
Pertama, sekte Al Isyraqi,
sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang
dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang
memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan
penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan
dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua
sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada
penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul
(menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk /Manunggaling Gusti ing kawulo –
Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian
ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini
diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama
Budha dan Hindu.
Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari
sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem
ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para
Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang
kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah- pada tahun 309 H. Di
dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):
Maha suci (Allah) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan
rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus
Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya
dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata
Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia berkata:
Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku
kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami
Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan
orang-orang ahli Tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia
meyakini Dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat
kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An
Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan
yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut.
Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena ke-zindiqan-nya sehingga sebagian orang-orang ahli Tasawuf menyatakan
berlepas diri darinya-, tetap saja ada orang-orang ahli Tasawuf yang
menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka
membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta
membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul
‘Abbas bin ‘Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan
Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib
Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad (8/112).
Ketiga, sekte Wihdatul Wujud,
yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan
segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan
perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) -maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah wong elek yang
bernama Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi
Ibnu ‘Arabi, lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354) yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus.
Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah hal.43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:
Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!
Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah”.
Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar
kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan
keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia
terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan,
celaan dia terhadap Nabi Harun shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini
jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa
kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan
Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.
Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf
Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur
dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli Tasawuf,
yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya
ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.
Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham wihdatul wujud dan
meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih
kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat
wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan
diri di hadapan Nabi Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihis salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.
Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka
mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun
(segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:
(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah!
dan kepada Allah kembalilah!
(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal.19)
Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan
dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah
kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami”. Maka
dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang
ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal
untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia
menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal
(untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari
penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan bahwa saudara wanita haram
(disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram”. (Dinukil oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186)
Keempat,
Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: Aku heran terhadap orang
yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?!
(Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’,
10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah
seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke
dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36).
Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli Tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika
dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan,
“Dalam Tauhid ada empat tingkatan: … Tingkatan yang kedua:
Dengan membenarkan makna lafazh di dalam hati sebagaimana yang
dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya
orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin,
yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta),
akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal
lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli Tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah
melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu,
bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi
dalam tauhid.
Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali
hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda
yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu
yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya
tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang
bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak
berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini
tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah
mencapai tingkatan Ma’rifah berkata, ‘membocorkan rahasia ketuhanan
adalah kekafiran’. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila
anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan
isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu
manusia” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).
Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu
pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan
dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang
mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa
tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla)” (Ibid, 4/83).
Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar Tashawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra,
yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli Tasawuf dan kisah-kisah (kotor)
yang dianggap oleh orang-orang ahli Tasawuf sebagai tanda kewalian. Di
antaranya kisah seorang wali (?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang
ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang
bulat!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124)
Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al
Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada
orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat
tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai
memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan
di antara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka
agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk
segera turun, lalu berkata kepadanya: Peganglah kepala keledaimu, agar
aku dapat melampiaskan birahiku padanya!? (lihat At Thabaqat Al Kubra2/129-130)
Penutup
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran
Tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al
Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla,
tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih,
akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul
pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya
untuk menyucikan jiwa dan hati kita?”, Maka jawabannya adalah sederhana
sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan
Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah
penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً
مِّنْأَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي
ضَلالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah
telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali ‘Imran: 164).
Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran
dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling
bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa
kepada Allah ‘azza wa jalla,
karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama
yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya” (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi
air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan
kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan
ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث
“Sesungguhnya
permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah
seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HR. Bukhari 1/175, Fathul Bari dan Muslim no. 2282).
Semoga tulisan ini Allah ‘azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.idSumber: https://muslim.or.id/409-hakikat-tasawuf-3.html