Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah*
*Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit perubahan
Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman sekarang-
mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan
agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode
Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As
Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di
atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri,
yang dapat kita simpulkan sebagai berikut.
Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan
karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk
neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja
-sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena
ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain
aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang
beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang
Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati
dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan
berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang
menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran
bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu
dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka
terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang
Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu
mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah
(bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan
penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al ‘Ubudiyyah,
tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’,
Riyadh).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.
Kedua,
orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan
melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi
yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan
ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa
Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka
ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari
cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan
hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang
teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang
Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan
cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya,
kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang
(Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang
dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan
guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka,
sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka
sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”.
Ketiga,
termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan
menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh
guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan
mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca
zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka
menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka
namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha
Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun
“zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya
orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah)
adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus
adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang
lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang
sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk
membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
“Katakan:
Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran
kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).
(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata
yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk
menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena
sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat
perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:
وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ
عَلَىبَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ
مُوسَى نُوراًوَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا
وَتُخْفُونَ كَثِيراًوَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ
آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ
“Katakanlah:
Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan
(sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah
diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?,
katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).
Jadi
maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)
Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem)
orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali
dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah
Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang
dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ
الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya
wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).
Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءتُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah
orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla).
Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan
meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian
itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap
orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan
pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf
memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan
dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga
mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu
tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang
tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada
orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang
yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang
melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan
oleh Allah ‘azza wa jalla.
Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka
anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil
(agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas
orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya
dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah,
atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia,
seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di
udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di
atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada
orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau
setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan
kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri,
memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan
yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali
tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla.
Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat
mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau
berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan
tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar
ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca
adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di
udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa
dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang
munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan
setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang
mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).
Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di
sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas
dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”,
sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki
sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam
semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan
orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara
yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan
sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini
menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para
wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla,
dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya
keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam
kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan
tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur
dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini
mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat
ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas
thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun
beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk
mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari
dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior
dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para
tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat
(bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan
orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal
tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman,
Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat
beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk
mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan,
tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh
orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang
diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika
para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung
mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang
diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka
namakan At Taghbir (At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini
dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami
(?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau
demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak
pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi
dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara
bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid
islami!!? -pen), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum
muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “orang yang
mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya
perbuatan ini?”
Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku
tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau
ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan
perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar
lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh
(ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan)
perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al
Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As
Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).
Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan
cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu
seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:
الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ
الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء
يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“(yaitu)
orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda
gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat)
ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan
mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raaf: 51).
Keenam,
juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka
namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah
mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat
Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran
Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan
oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan
berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya
pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas
dan jujur.
Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang
dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai
memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya
dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan),
kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan
baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada
mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada
mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan
mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata)
beramal (tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan
cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk
dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang
dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan
urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan
apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan
harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan
harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap
berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di
antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat
mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan
yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka
juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa
disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.
Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai
membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan
mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh
sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi
selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf
dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan
tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru
thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan
(membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli Tasawuf),
sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama
Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka
(ilmu Tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu
batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di
antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada
khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran
kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla),
(padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang
rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu
mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla).
Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah,
kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga
menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang
menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud,
dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk
bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka
sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara
beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam)” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat,
maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi -menurut pandangan
orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini
adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani,
karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi)
kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah
orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah
dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya…
Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada
ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam)
dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik
(keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah
bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara
keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah
keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama,
mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla,
bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang
kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang
musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama
nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah‘azza wa jalla:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).
Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu sampai kamu
(mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya
maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”. (Pada
Hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak
membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali
kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan
makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian)
dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan
kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:
مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ
نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ
وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ
“Apa
yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar
(neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk
orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan
orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama
orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan,
hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Muddatstsir: 42-47).
Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa
telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk
penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang
menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan
zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama
orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin
(kematian)… yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang
telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian)” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).
Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap
orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal
sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali
dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika
seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya,
sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/408-hakikat-tasawuf-2.html