Poros pembahasan dalil dalam artikel ini adalah atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ
أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: " صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا
سَفَرٍ "، قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا: لِمَ فَعَلَ
ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ:
أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
Dari Abuz-Zubair, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar bukan karena ketakutan maupun
safar. Abuz-Zubair berkata : “Lalu aku bertanya kepada
Sa’iid : ‘Mengapa beliau melakukannya ?’. Ia
(Sa’iid) berkata : ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu
‘Abbaas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu ia
menjawab : ‘Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak menyusahkan seorang pun di kalangan umatnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705 (50)].
Dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh:
جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ
خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar, serta shalat Maghrib dan
‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun
hujan” [idem no. 705 (54)].
Sebagian ulama mengatakan lafadh ‘(bukan karena) hujan’ merupakan tafarrud dari Habiib bin Abi Tsaabit. Al-Bazzaar rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ زَادَ فِيهِ حَبِيبٌ: مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلا مَطَرٍ. وَغَيْرُهُ لا يَذْكُرُ الْمَطَرَ
“Hadits ini, ditambahkan padanya oleh Habiib : ‘bukan karena sebab ketakutan maupun hujan’. Selain dirinya tidak menyebutkan ‘hujan’” [Al-Bahruz-Zakhaar 11/223].
Pernyataan tafarrud Habiib ini juga dinyatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullahdalam Fathul-Baariy (4/39).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ مَجْمُوعًا بِالثَّلَاثَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ
الْحَدِيثِ بَلْ الْمَشْهُورُ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Ketahuilah
bahwasannya ketiganya (ketakutan, safar, dan hujan) tidak pernah
dikumpulkan semuanya dalam kitab-kitab hadits. Namun yang masyhur
adalah lafadh : ‘bukan karena ketakutan maupun hujan’” [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/215].
Habiib bin Abi Tsaabit adalah seorang tsiqah, namun mudallis.[1] Ia meriwayatkan dari Sa’iid bin Jubair dengan lafadh tersebut secara ‘an’anah. Akan tetapi riwayatnya tersebut dikuatkan oleh Shaalih bin Nabhaan sebagaimana diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq[2] dalam Al-Mushannaf no. 4434.
Hadits ini tidak boleh dipahami dengan membolehkan menjamak shalat tanpa sebab atau ‘udzur syar’iy secara mutlak[3], karena:
1. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Menjalankan shalat pada waktunya asal hukumnya adalah wajib, dan suatu kewajiban hanya boleh digugurkan dengan adanya ‘udzur syar’iy. Seandainya diperbolehkan menjamak shalat tanpa adanya ‘udzur syar’iy secara mutlak, niscaya ayat di atas tidak ada faedahnya.
Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan mengerjakan shalat pada waktunya hanya sekedar dihukumi sunnah.
2. Jika hadits di atas itu dipahami sebagai kebolehan menjamak shalat tanpa ‘udzursecara
mutlak dengan sebab agar tidak menyusahkan umat Islam; maka hal
tersebut akan mengkonsekuensikan pemahaman bahwa asal mengerjakan
shalat pada waktunya menyebabkan kesusahan dan rasa berat.
Ini adalah baathil tanpa keraguan, karena bertentangan dengan kenyataan yang ada pada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan generasi setelah mereka. Riwayat-riwayat yang ada justru menunjukkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat sangat bersemangat menjaga shalat pada waktunya, karena ia adalah salah satu amalan yang paling utama.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: " سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟
قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ:
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 527 & 5970 & 7534 dan dalam Al-Adabul-Mufrad hal. 3 no. 1, Muslim no. 85 (139), dan lainnnya].
Bahkan ketika panas menyengat di siang hari, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan menunda pelaksanaannya hingga cuaca agak dingin tanpa keluar dari waktunya.
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " أَبْرِدُوا بِالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ
فَيْحِ جَهَنَّمَ "
Dari Abu Sa’iid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tundalah pelaksanaan shalat Dhuhur hingga cuaca dingin, karena panas yang sangat terik adalah panas dari neraka Jahannam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 538].
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَرَادَ الْمُؤَذِّنُ أَنْ يُؤَذِّنَ
لِلظُّهْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَبْرِدْ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُؤَذِّنَ، فَقَالَ لَهُ: أَبْرِدْ حَتَّى
رَأَيْنَا فَيْءَ التُّلُولِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَإِذَا
اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ
Dari Abu Dzarr Al-Ghifaariy, ia berkata : Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
panas yang amat sangat (di waktu siang) berasal dari uap neraka
Jahannam. Apabila siang terasa teramat panas, maka tundalah shalat
hingga dingin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 539].
3. Mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya tanpa ‘udzur adalah dosa lagi tercela.
Allah ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” [QS. Al-Maa’uun: 4–5].
Salah satu makna orang yang melalaikan shalatnya adalah suka mengakhirkan shalat hingga hampir habis waktunya (tanpa ‘udzur).
حَدَّثَنَا
ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: ثنا سَكَنُ بْنُ نَافِعٍ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ:
ثنا شُعْبَةُ، عَنْ خَلَفِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ،
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي أَرَأَيْتَ قَوْلَ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ. أَهِيَ
تَرْكُهَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ تَأْخِيرُهَا عَنْ وَقْتِهَا
Telah
menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Sakan bin Naafi’ Al-Baahiliy, ia berkata
: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Khalaf bin
Hausyab, dari Thalhah bin Musharrif, dari Mush’ab bin Sa’d,
ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (Sa’d bin Abi Waqqaash) :
“Apa pendapatmu tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya’
(QS. Al-Maa’uun : 5). Apakah maknanya meninggalkannya (shalat)
?”. Sa’d menjawab : “Tidak, akan tetapi maknanya
adalah mengakhirkannya dari waktunya” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 24/630; shahih].
Jika
yang demikian saja sangat dicela dalam Islam, lantas bagaimana halnya
dengan orang yang sengaja mengerjakan shalat hingga keluar dari
waktunya tanpa‘udzur ?.
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَهُوَ
الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ الْمُغِيرَةِ،
عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ
فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ أَنْ
تُؤَخِّرَ صَلَاةً حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ أُخْرَى "
Telah
menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas Al-‘Anbariy : Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Ath-Thayaalisiy : Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Al-Mughiirah, dari Tsaabit, dari
‘Abdullah bin Rabbaah, dari Abu Qataadah, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak
ada kelalaian dalam tidur, karena kelalaian itu hanyalah terjadi ketika
terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga masuk waktu berikutnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 441; shahih].
Di sini, mengakhirkan shalat tanpa ‘udzur disebut sebagai satu kelalaian (yang dicela).
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: " كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا
كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ
يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟
قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ،
فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ "
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana
pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka
mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari
waktunya?”. Abu Dzarr berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya, jika kamu mendapati bersama mereka, maka lakukanlah lagi, sebab hal itu dihitung pahala shalat sunnah bagimu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 648].
Jika mengerjakan shalat di luar waktunya diperbolehkan tanpa ‘udzur syar’iy, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengingatkan para penguasa yang jelek pada Abu Dzarr yang suka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.
Menjamak shalat tanpa ‘udzur termasuk di antara dosa besar menurut ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat berikut:
أَخْبَرَنَاهُ
أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْعَلَوِيُّ، أنبأ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الرَّمْجَارِيُّ، ثنا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ
صُبَيْحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ هِلالٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
يَعْنِي الْعَدَوِيَّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ " ثَلاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ
بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِلا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ،
وَالنَّهْبِيُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Al-Husain
Al-‘Alawiy : Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad bin
Al-Hasan Ar-Ramjaariy : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahmaan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa
bin Sa’iid, dari Yahyaa bin Shubaih, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Humaid bin Hilaal, dari Abu Qataadah
Al-‘Adawiy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat untuk pegawainya : “Tiga hal termasuk dosa besar : menjamak shalat tanpa ‘udzur, melarikan diri dari medan perang, dan khianat dalam rampasan perang” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 3/169; shahih].
4. Teks
riwayat itu justru menunjukkan pada kita diperbolehkannya menjamak
shalat jika ada sesuatu yang menyebabkan kesusahan (seandainya
dikerjakan sesuai waktunya) – selain dari faktor ketakutan,
safar, dan hujan yang disebutkan dalam atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
Ketakutan, safar, dan hujan merupakan ‘udzur syar’iy yang membolehkan seseorang melakukan jamak. Peniadaan ketiga ‘udzur hal tersebut tidak mengkonsekuensikan peniadaan keberadaan ‘udzur yang lain, seperti sakit, cuaca dingin yang ekstrim, angin kencang (angin ribut), dan yang semisalnya.
Sakit merupakan salah satu ‘udzur syar’iy yang menjadi ‘illat adanya pengguguran sebagian kewajiban dalam syari’at, seperti misal puasa – sebagaimana firman Allahta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Jika
kewajiban puasa di bulan Ramadlan dapat digugurkan karena sakit dengan
menggantinya di waktu yang lain, maka begitu juga dengan shalat yang
dapat dijamak di luar waktunya.
Begitu juga dengan cuaca dingin yang ekstrim dan angin kencang (angin ribut):
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ،
وَرِيحٍ، وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي
رِحَالِكُمْ، أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ،
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ، أَوْ ذَاتِ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ، أَنْ
يَقُولَ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari
Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia pernah mengumandangkan adzan pada
waktu malam yang dingin, berangin kencang, dan hujan; maka ia
mengucapkan di akhir adzannya : ‘alaa sholluu fii rihaalikum, alaa sholluu fir-rihaal (hendaknya
kalian shalat di rumah-rumah kalian 2x)’. Kemudian ia melanjutkan
: “Apabila malam begitu dingin atau turun hujan ketika safar,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan muadzdzin untuk mengucapkan : ‘alaa shollu fii rihaalikum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 697 (23)].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَحَدِيثُ
ابْنِ عَبَّاسٍ حَمَلْنَاهُ عَلَى حَالَةِ الْمَرَضِ ، وَيَجُوزُ أَنْ
يَتَنَاوَلَ مَنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ ، كَالْمُرْضِعِ ، وَالشَّيْخِ
الضَّعِيفِ ، وَأَشْبَاهِهِمَا مِمَّنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ فِي تَرْكِ
الْجَمْعِ
“Dan hadits Ibnu ‘Abbaas kami bawa maknanya pada keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang
sakit. Dan diperbolehkan pula bagi orang yang mengalami kesulitan
seperti wanita yang menyusui, orang tua yang lemah, lainnya yang akan
mengalami kesulitan jika ia meninggalkan jamak” [Al-Mughniy, 1/121].
5. Sebagian ulama ada yang membawa pengertian jamak yang dilakukan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam atsar Ibnu ‘Abbaas di atas adalah jamakshuriy[4].
وحَدَّثَنَا
أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ
عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى
بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا، وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ،
وَالْمَغْرِبَ، وَالْعِشَاءَ "
Dan
telah menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ Az-Zahraaniy : Telah
menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru bin
Diinaar, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di Madiinah tujuh raka’at[5] dan delapan raka’at[6] (sekaligus). Yaitu shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isyaa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705 (56].
Kemudian penafsirannya ada pada riwayat berikut:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو،
قَالَ: سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا
جَمِيعًا، قُلْتُ: يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ
وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ، قَالَ:
وَأَنَا أَظُنُّهُ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, ia berkata :
Aku mendengar Abu Sya’tsaa’ Jaabir berkata : Aku mendengar
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam delapan
raka’at dengan dijamak dan tujuh raka’at dengan
dijamak”. Aku (‘Amru) berkata : “Wahai Abu
Sya’tsaa’, aku mengiranya beliau mengakhirkan shalat Dhuhur
dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta menyegerakan shalat
‘Isyaa’ dan mengakhirkan shalat Maghrib”. Ia (Abu
Sya’tsaa’) berkata : “Dan akupun mengiranya
demikian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1174].[7]
Hadits lain:
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَارَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا
إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَصَلَّى
الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats : Telah
menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami
Al-A’masy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
‘Umaarah, dari ‘Abdurrahmaan, dari ‘Abdullah (bin
Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku tidak pernah melihat Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat di luar waktunya, kecuali dua shalat. Beliau menjamak shalat
Maghrib dan shalat ‘Isyaa’, serta beliau pernah shalat
Shubuh sebelum waktunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1682].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu menafikkan semua bentuk shalat jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’ di Muzdalifah.
Maka di sini dapat disimpulkan bahwa jamak tidak boleh dilakukan kecuali jika ada‘udzur syar’iy.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 12071435/11052014 – 21:05].
[1] Habiib bin Abi Tsaabit Qais bin Diinaar, Abu Yahyaa Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih,lagi jaliil, namun banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 119 [Taqriibut-Tahdziib, hal. 218 no. 1092].
[2] Riwayatnya adalah:
عَنْ
دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ صَالِحٍ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ، أَنَّهُ سَمِعَ
ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: " جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ، وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ، وَالْعِشَاءِ
بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا مَطَرٍ "، قَالَ: قُلْتُ لابْنِ
عَبَّاسٍ: لِمَ تَرَاهُ فَعَلَ ذَلِكَ؟، قَالَ: " أَرَاهُ لِلتَّوْسِعَةِ
عَلَى أُمَّتِهِ "
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir dari jalan Daawud bin Qais.
[3] Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan adanya sebagian ulama yang berpegang pada dhahir hadits :
فَجَوَّزُوا
الْجَمْعَ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مُطْلَقًا لَكِنْ بِشَرْطِ أَنْ لَا
يُتَّخَذَ ذَلِكَ عَادَةً ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ اِبْنُ سِيرِينَ
وَرَبِيعَةُ وَأَشْهَبُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالْقَفَّالُ الْكَبِيرُ
وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ
“Sebagian
ulama membolehkan menjamak shalat pada waktu hadir karena hajat secara
mutlak namun dengan syarat tidak menjadikannya kebiasaan. Diantara
ulama yang berpendapat dengannya adalah Ibnu Siiriin, Rabii’ah,
Asyhab, Ibnul-Mundzir, dan Al-Qaffaal Al-Kabiir. Al-Khaththaabiy
menghikayatkannya dari sekelompok ulama dari kalangan
ashhaabul-hadiits” [Fathul-Baariy, 2/24].
[4]
Maksudnya, bukan jamak yang sesungguhnya. Yaitu mengakhirkan shalat
yang pertama masih di waktunya dan menyegerakan shalat kedua di waktu
berikutnya, sehingga seakan-akan kedua shalat itu terkumpul menjadi
satu.
[5]
Maksudnya menjamak antara shalat maghrib dan ‘isyaa’
sehingga keduanya berjumlah 7 raka’at.
[6] Maksudnya menjamak antara shalat dhuhur dan ‘ashar sehingga keduanya berjumlah 8 raka’at.
[7] Faedah:
An-Nasaa’iy (no. 589) meriwayatkan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا
قُتَيْبَةُ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ
زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قال: " صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا
جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu
‘Abbaas, ia berkata : Aku pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madiinah sebanyak 8 raka’at dengan dijamak dan 7 raka’at dengan dijamak. Beliau
mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta
mengakhirkan shalat Maghrin dan menyegerakan shalat ‘Isyaa’”.
Kalimat yang digaris bawah merupakan idraaj perkataan
Jaabir bin Zaid Abu Sya’tsaa’, karena dalam riwayat lain
diketahui bahwa kalimat tersebut adalah miliknya. Kekeliruan ini
berasal dari Qutaibah. Wallaahu a’lam.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/05/menjamak-shalat-tanpa-udzur.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/05/menjamak-shalat-tanpa-udzur.html