Sumber utama hukum Islam Al-Qur’an, As-Sunnah, danijmaa’.
Allah ta’ala berfirman:
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada yang yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus” [QS. Az-Zukhruf : 43].
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
أي:
خذ بالقرآن المنزل على قلبك، فإنه هو الحق، وما يهدي إليه هو الحق المفضي
إلى صراط الله المستقيم، الموصل إلى جنات النعيم، والخير الدائم المقيم.
“Yaitu
: ambillah Al-Qur’an yang diturunkan pada hatimu, karena ia
adalah kebenaran. Dan segala yang ditunjukkan olehnya adalah kebenaran,
membawa kepada jalan Allah yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim), menyampaikan kepada surga yang penuh kenikmatan dan kebaikan yang kekal dan abadi” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/229].
Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ
وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu yaitu Al-Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 231].
Adapun
mimpi, maka tidak pernah dianggap sama sekali sebagai sumber hukum
dalam syari’at Islam. Paling tinggi kedudukan mimpi seseorang
– seandainya ia mencocoki realitas atau kebenaran - , maka ia
merupakan kabar gembira bagi seorang mukmin, sebagaimana dijelaskan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُسْلِمِ تَكْذِبُ،
وَأَصْدَقُكُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيثًا، وَرُؤْيَا الْمُسْلِمِ
جُزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ،
وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ: فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ،
وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ
الْمَرْءُ نَفْسَهُ، فَإِنْ رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ، فَلْيَقُمْ
فَلْيُصَلِّ، وَلَا يُحَدِّثْ بِهَا النَّاسَ
“Apabila
hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang muslim yang
tidak benar. Dan orang yang paling benar mimpinya di antara kalian
adalah yang paling benar ucapannya. Mimpi seorang muslim adalah
sebagian dari 45 macam nubuwwah (wahyu). Mimpi itu ada tiga macam : (1)
mimpi yang baik sebagai kabar gembira dari Allah; (2) mimpi yang
menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari setan; dan (3) mimpi yang
timbul karena bisikan jiwa seseorang. Maka seandainya engkau bermimpi
sesuatu yang tidak disenangi, bangunlah, kemudian shalatlah, dan jangan
menceritakannya kepada orang lain” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2263].
الرُّؤْيَا ثَلَاثٌ: فَبُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَحَدِيثُ النَّفْسِ، وَتَخْوِيفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Mimpi ada tiga macam : (1) khabar gembira dari Allah, (2) bisikan jiwa, dan (3) gangguan setan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3906; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah, 3/329-330 no. 1341].
Berikut perkataan sebagian perkataan ulama tentang ketidakhujjahan mimpi dalam syari’at Islam.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
لو
كانت ليلة الثلاثين من شعبان ولم ير الناس الهلال فرأى إنسان النبي صلي
الله عليه وسلم في المنام فقال له الليلة أول رمضان لم يصح الصوم بهذا
المنام لا لصاحب المنام ولا لغيره ذكره القاضي حسين في الفتاوى وآخرون من
أصحابنا ونقل القاضي عياض الاجماع عليه
“Seandainya pada malam ketiga puluh bulan Sya’baan orang-orang tidak melihat hilaal, namun ada seseorang yang melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi seraya mengatakan kepadanya : ‘Ini adalah malam pertama bulan Ramadlaan’;
maka tidak sah puasa yang didasarkan pada mimpi ini, baik bagi orang
yang bermimpi dan juga orang lain. Hal itu disebutkan oleh Al-Qaadliy
Husain dalam Al-Fataawaa, dan yang lainnya dari kalangan shahabat kami. Al-Qaadliy ‘Iyaadl menukilkan adanya ijmaa’dalam permasalahan tersebut” [Al-Majmuu’, 6/281].
Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:
لَوْ
أَخْبَرَ صَادِقٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
النَّوْمِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ، مُخَالِفٍ لِمَا تَقَرَّرَ فِي
الشَّرِيعَةِ لَمْ نَعْتَمِدْهُ
“Seandainya ada seorang yang jujur mengkhabarkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam
mimpinya tentang hukum syar’iy yang bertentangan dengan apa yang
dinyatakan dalam syari’at, kami tidak berpegang padanya” [Tharhut-Tatsrib, 7/2262].
Ibnu Hajar rahimahullah ketika memberikan kisah Abu Lahab dan Tsuwaibah[1] :
فَالَّذِي فِي الْخَبَر رُؤْيَا مَنَام فَلَا حُجَّة فِيهِ
“Yang ada dalam hadits berupa mimpi, maka tidak ada hujjah di dalamnya” [Fathul-Baari, 9/145].
Ibnu Katsiir saat menukil penjelasan Ibnu ‘Asaakir yang menyebutkan Ahmad bin Katsiir pernah bermimpi melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan Haabiil; maka ia (Ibnu Katsiir) berkata:
وهذا منام لو صح عن أحمد بن كثير هذا لم يترتب عليه حكم شرعي والله أعلم
“Dan
mimpi ini, seandainya riwayatnya shahih dari Ahmad bin Katsiir, maka
itu tidak mengkonsekuensikan hukum syar’iy. Wallaahu a’lam” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 1/105-106].
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata:
وربما
قال بعضهم : رأيت النبي صلى الله عليه و سلم في النوم فقال لي كذا وأمرني
بكذا فيعمل بها ويترك بها معرضا عن الحدود الموضوعة في الشريعة وهو خطأ
لأن الرؤيا من غير الأنبياء لا يحكم بها شرعا على حال إلا أن تعرض على ما
في أيدينا من الأحكام الشرعية فإن سوغتها عمل بمقتضاها وإلا وجب تركها
والإعراض عنها وإنما فائدتها البشارة أو النذرة خاصة وأما استفادة الأحكام
فلا
"Dan kadangkala sebagian orang berkata : ‘Aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam
mimpi. Lalu beliau berkata kepadaku demikian dan memerintahkanku
demikian’. Orang itu beramal sesuatu dan meninggalkan seustau
berdasarkan mimpi tersebut, dengan berpaling dari hukum syari’at.
Ini keliru. Hal itu dikarenakan mimpi yang berasal dari selain para
Nabi tidak mengkonsekuensikan hukum syar’iy dalam
hal apapun, kecuali setelah dibandingkan dengan hukum-hukum
syar’iy. Apabila diperbolehkan, maka dapat diamalkan. Namun jika
tidak diperbolehkan (karena menyelisihi hukum syar’iy),
wajib untuk ditinggalkan dan berpaling darinya. Faedah mimpi hanyalah
sebagai kabar gembira atau peringatan saja. Adapun dalam pengambilan
faedah hukum, maka tidak diperbolehkan” [Al-I’tishaam, 1/198 – via Syaamilah].
Oleh karena itu, Anda akan banyak dapati keanehan-keanehan yang berasal dari orang yang berdalil pada kembang tidur.
Wallaahul-musta’aan.......
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 01051435/02032014 – 21:20].
[1] Yaitu :
قَالَ
عُرْوَةُ وَثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ
أَعْتَقَهَا، فَأَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ،
قَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ
غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَة
‘Urwah berkata : “Dan Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab yang kemudian ia bebaskan. Lalu Tsuwaibah menyusui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya diperlihatkan dalam
mimpi tentang buruknya keadaannya. Sebagian keluarganya itu berkata
kepada Abu Lahab : ‘Apa yang engkau alami ?’. Abu Lahab
berkata : ‘Aku tidak mendapati sesuatu, hanya saja aku diberikan
minum dalam keadaan ini dengan sebab aku memerdekakan Tsuwaibah” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 5101].
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/03/mimpi-bukan-dalil.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/03/mimpi-bukan-dalil.html