Jenis-Jenis Hajr
Ada tiga macam jenis hajr, yaitu :
1. Hajr (dalam pandangan agama) untuk menegakkan hak-hak Allah. Hajr jenis ini mencakup hajr terhadap perbuatan jelek dan hajr terhadap pelakunya baik ia seorang ahli bid’ah atau ahli maksiat.
Hajr ini ada dua bagian, yaitu :
a) Hajr dengan cara menjauhinya atau meninggalkannya; dalam arti : meninggalkan perbuatan-perbuatan jelek dan menjauhi kawan-kawan pergaulan yang buruk lagi memudlaratkan, kecuali jika terdapat manfaat dan maslahat yang lebih besar (jika bergaul dengannya).
Allah berfirman :
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
"Dan perbuatan dosa tinggalkanlah" [QS. Al-Mudatstsir : 5].
وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلا
”Dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” [QS. Al-Muzammil : 10].
وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
”Dan
apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami,
maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang
lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka
janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah
teringat (akan larangan itu).” [QS. Al-An’am : 68].
وَقَدْ
نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ
يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ
جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
”Dan
sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan
orang-orang kafir di dalam Jahanam” [QS. An-Nisaa’ : 140].
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :
المهاجر من هجر ما نهى الله عنه
”Orang yang berhijrah itu (al-muhaajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah” .
b) Hajr dengan pemberian sanksi hukuman. Perkara ini termasuk salah satu bentuk sanksi hukum syar’i yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap ahli maksiat seperti mubtadi’, dengan maksud pembinaan yang sesuai dengan kriteria-kriteria syar’i untuk melakukan hajr sehingga ia bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Bagian inilah yang mendapat porsi besar dalam pembahasan ulama. Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah mempunyai bahasan yang menarik terkait dengan hajr terhadap orang kafir, ahlul-bida’, dan orang fasiq. Beliau berkata :
(قال
الطبري: قصة كعب بن مالك أصل في هجران أهل المعاصي، وقد استشكل كون هجران
الفاسق أو المبتدع مشروعًا ولا يشرع هجران الكافر، وهو أشد جرمًا منهما
لكونهم من أهل التوحيد في الجملة. وأجاب ابن بطال: بأن لله أحكامًا فيها
مصالح للعباد وهو أعلم بشأنها وعليهم التسليم لأمره فيها، فجنح إلى أنه
تعبد لا يعقل معناه. وأجاب غيره: بأن الهجران على مرتبتين: الهجران
بالقلب، والهجران باللسان، فهجران الكافر بالقلب وبترك التودد والتعاون
والتناصر لاسيما إذا كان حربيًا، وإنما لم يشرع هجرانه بالكلام لعدم
ارتداعه بذلك عن كفره، بخلاف العاصي المسلم فإنه ينزجر بذلك غالبًا،
ويشترك كل من الكافر والعاصي في مشروعية مكالمته بالدعاء إلى الطاعة
والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وإنما المشروع ترك المكالمة بالموادة
ونحوها)
”Telah berkata Ath-Thabariy : ’Kisah Ka’ab bin Malik radliyallaahu ’anhu merupakan acuan utama di dalam hajr (pengucilan) pelaku maksiat. Ada sedikit permasalahan yang menyangkut hajr syar’iy terhadap orang fasik dan mubtadi’/pelaku
bid’ah. Hal itu disebabkan karena hajr tidaklah diterapkan pada orang
kafir, padahal ia lebih rusak daripada keduanya (orang fasiq dan
mubtadi’) yang mana keduanya masih dalam katagori ahli tauhid secara umum’.
Maka
hal itu dijawab oleh Ibnu Baththal : ’Sesungguhnya Allah memiliki
hukum-hukum yang mengandung beberapa maslahat bagi hamba-hamba-Nya dan
Dia Maha Mengetahui tentang hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu, wajib
atas hamba-hamba-Nya untuk tunduk di hadapan perintah-Nya, sehingga Dia
banyak mensyari’atkan banyak ibadah yang tidak dapat dipahami oleh akal
(maksud Ibnu Baththal adalah kita wajib taslim tentang pensyariatan hajr terhadap orang fasiq dan mubtadi’ tanpa
termasuk orang kafir, karena segala hikmah pensyariatan hanya Allah lah
yang tahu. Allah tidak mungkin dhalim terhadap hamba-Nya – Abul-Jauzaa’) ’.
Ulama lain menjawab : ’Bahwa hajr itu sendiri mempunyai dua derajat : Hajr dengan hati dan Hajr dengan lisan.
Hajr terhadap orang kafir adalah dengan hati dengan cara tidak berkasih
sayang kepada mereka, tidak saling tolong-menolong dan bekerja sama
dengan mereka. Terlebih lagi bila orang-orang kafir tersebut adalah
kafir harbi. Tidak disyariatkan meng-hajr mereka dengan perkataan
lantaran hal itu tidak bisa melepaskannya dari kekafirannya. Berbeda
halnya dengan ahli maksiat muslim yang tidak disyari’atkan berbicara
kepadanya (ketika meng-hajr-nya), kecuali dengan cara
mendo'akannya supaya kembali kepada ketaatan, menyuruhnya berbuat
ma’ruf dan melarangnya berbuat munkar. Dan disyari’atkan untuk tidak
berbicara kepadanya dengan rasa kasih sayang dan yang sejenisnya”
[selesai perkataan Ibnu Hajar – lihat Fathul-Bari 10/497].
2. Hajr untuk memperbaiki perkara duniawi, yaitu hajr yang berkaitan hak seseorang. Nah, di sinilah hajr tidak boleh dilakukan melebihi tiga hari sebagaimana terdapat dalam hadits yang dibawakan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu :
لا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا، وكونوا عباد الله إخوانًا، ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث ليال
”Janganlah
kalian saling memperdayakan, jangan saling membenci, jangan saling
iri/hasad, dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba
Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang muslim untuk
menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari”.
Larangan meng-hajr seseorang lebih dari tiga hari yang disebabkan karena sikap peremehan hak-hak pergaulan dan pershahabatan. Bukan dalam urusan agama, karena meng-hajr para pengikut hawa nafsu dan ahlul-bida’ berlangsung terus-menerus hingga ia bertaubat.
Di sini kemudian timbul cabang pembahasan hajr suami kepada istrinya. Hajr dalam pengertian ini secara isthilahy adalah
: Seorang suami tidak menggauli istrinya, tidak mengajaknya berbicara,
tidak mengadakan hubungan atau kerjasama apapun dengannya [lihat Al-Ifshah li Ibni Hubairah 2/143]. Allah berfirman :
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
”Dan pisahkan mereka di tempat tidur” [QS. An-Nisaa’ : 34].
Bentuk-bentuk hajr terkait hubungan suami istri :
a) Hajr dengan ucapan.
Hajr jenis ini adalah bahwa suami tidak memperdulikan segala bentuk ucapan istri kepadanya. Para ulama sepakat bahwa hajr diperbolehkan selama kurang dari 3 hari. Namun mereka berbeda pendapat waktu hajr jika melebihi 3 hari. Akan diberikan keterangannya pada uraian selanjutnya.
b) Hajr dengan perbuatan.
Hajr dengan perbuatan adalah dengan tidak tidak menggaulinya, tidak tidur dengannya, dan seterusnya.
Masa Hajr terkait hubungan suami istri :
a) Hajr dengan ucapan
Hajr dengan
ucapan tidak boleh dilakukan lebih dari tiga hari menurut jumhur ulama
berdasarkan hadits yang telah disebutkan. Sebagian ulama Syafi’iyyah
mengatakan bahwa boleh hajr lebih dari tiga hari selama tujuannya adalah memberi hukuman dan sang istri tetap bertahan dengan nusyuz-nya. Mereka berdalil dengan tindakan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang mendiamkan tiga orang shahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk lebih dari 3 hari.
b) Hajr dengan perbuatan
Hajr dengan
memisahkan tempat tidur, baik dengan menahannya (menjauhinya) atau
menolaknya baik siang ataupun malam adalah tidak ditentukan masanya.
Maksudnya, seorang suami boleh menghukum istri dengan cara meng-hajr
selama waktu yang diinginkan sampai istrinya sadar. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama termasuk madzhab Hanafiyyah, Syafi’yyah, dan
Hanabilah. Mereka berdalil bahwa ayat yang menyebutkan masalah hajr
adalah bersifat mutlak dan tidak terbatas dengan waktu. Pada dasarnya,
sesuatu yang mutlak tetap bersifat mutlak hingga ada dalil lain yang
membatasinya.
Sebagian ulama lain membatasi masa hajr maksimal selama empat bulan dengan mengqiyaskan pada masalah Ila’. Akan tetapi qiyas ini tidak diterima karena hajr yang diterapkan karena nusyuz ini adalah karena pembangkangan istri kepada suami, sedangkan Ila’ bisa terjadi bukan karena pembangkangan istri. Buktinya, Ila’ hanya dibenarkan tidak lebih dari empat bulan, karena selebihnya merupakan kedhaliman terhadap istri. Selain itu, Ila’ berlaku karena adanya sumpah, sedangkan hajr tidaklah seperti itu.
[bisa melihat referensi pembahasan ini dalam Fiqhus-Sunnah lin-Nisaa’ oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Jami’ li-Ahkaamin-Nisaa’ oleh Musthafa Al-’Adawy, dan An-Nusyuz oleh Shalih bin Ghanim As-Sadlan].
3. Hajr dalam pandangan hukum ta’zir bagi para pelanggar hukum syar’i. Dalam pembahasan fuqahaa, maka ia dibahas dalam Bab : At-Ta’ziir – sebagaimana banyak terdapat dalam buku-buku fiqh.
Bentuk dan Sifat Hajr
Di antara bentuk dan sifat hajr adalah sebagai berikut :
1. Tidak duduk-duduk bersamanya.
2. Tidak bertetangga dengannya.
3. Tidak menghormatinya.
4. Tidak berbicara dengannya.
5. Tidak mengucapkan salam kepadanya.
6. Tidak menyebut-nyebut namanya.
7. Tidak bermuka manis kepadanya sambil meninggalkan salam dan perkataan.
8. Tidak mendengarkan pembicaraannya dan bacaannya, baik Al-Qur’an, hadits, atau yang lainnya yang akan menguatkan syubhat mereka.
9. Tidak bermusyawarah dengan mereka.
10. Dan sejenisnya, berupa perkara-perkara yang bertujuan untuk menghardik dan mengucilkan mereka serta agar tercapainya tujuan-tujuan syar’i lainnya.
[Fathul-Bari 8/123-124, 10/497 dan Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 1/114-150 – lihat Hajrul-Mubtadi’ ].
Dalil-Dalil tentang Disyari’atkannya Hajr
DALIL AL-QUR’AN
1. QS. Al-An’am : 68
وإذَا
رَأَيْتَ الَذِينَ يَخُوضُونَ في آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا في حَدِيثٍ غَيْرِهِ وإمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
”Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika
setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu
duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan
larangan itu)”.
Dalam ayat ini terkandung hukum larangan duduk-duduk bersama ahlul-bida’, pengikut hawa nafsu, pelaku dosa besar dan maksiat.
Al-Imam Asy-Syaukaniy rahimahullah berkata :
وفى
هذه الآية موعظة لمن يتسمح بمجالسة المبتدعة الذين يحرفون. كلام الله،
ويتلاعبون بكتاب وسنة رسوله، ويردون ذلك إلى أهوائهم المضلة وبدعهم
الفاسدة، فإنه إذا لم ينكر عليهم ويغير ما هم فيه فأقل الأحوال أن يترك
مجالستهم، وذلك يسير عليه غير عسير، وقد يجعلون حضوره معهم مع تنزهه عما
يتلبسون، به شبهة يشبهون بها على العامة، فيكون في حضوره مفسدة زائدة على
مجرد سماع المنكر. وقد شاهدنا من هذه المجالسة الملعونة ما لا يأتي عليه
الحصر، وقمنا في نصرة الحق ودفع الباطل بما قدرنا عليه، وبلغت إليه
طاقتنا، ومن عرف هذه الشريعة المطهرة حق معرفتها: علم أن مجالسة أهل البدع
المضلة فيها من المفسدة أضاف أضعاف ما في مجالسة من يعصي الله بفعل شيء من
المحرمات، ولا سيما لمن كان غير راسخ القدم في علم الكتاب والسنة، فإنه
ربما ينفق عليه من كذباتهم وهذيانهم ما هو من البطلان بأوضح، مكان فينقدح
في قلبه ما يصعب علاجه ويعسر دفعه، فيعمل بذلك مدة عمره، ويلقى الله به
معتقدًا أنه من الحق، وهو من أبطل الباطل وأنكر المنكر
”Dalam
ayat ini terdapat nasihat yang sangat berharga bagi orang yang
mentolerir duduk-duduk bersama ahli bida’ yang mengubah-ubah
Kalamullah, mempermainkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka
mengembalikan semua itu kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan
kebid’ahan mereka yang rusak. Sehingga bila tidak ada pengingkaran
terhadap kemunkaran mereka dan tidak ada upaya untuk mengubahnya, maka
solusi terakhirnya adalah tidak duduk-duduk bersama mereka.
Ini merupakan sikap yang paling mudah dan tidak sulit. Dan terkadang
mereka hadir dalam majelis mereka, meskipun ia tidak sependapat dengan
bid’ah mutalaabisaat (kerancuan) yang ada pada mereka. Namun
hal itu bagi orang awam menimbulkan kesan mendukung dan menyetujuinya
sehingga kehadirannya tersebut menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang
lebih besar daripada hanya sekedar mendengarkan kemunkaran.
Sungguh
kami menyaksikan (banyak efek negatif yang ditimbulkan) dari majelis
terlaknat ini yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga kami pun bangkit
membela al-haq (kebenaran) dan menghancurkan kebathilan sekuat tenaga
kami. Orang yang mengenal syari’at suci ini dengan baik akan mengetahui
bahwa duduk-duduk dengan ahlul-bida’ yang sesat akan menimbulkan
kerusakan yang berlipat ganda daripada duduk-duduk dengan orang yang
bermaksiat kepada Allah ta’ala dengan melakukan sesuatu yang haram.
Terlebih lagi, orang yang duduk bersama ahli bida’ tersebut adalah
orang yang tidak dalam ilmunya terhadap Kitabullah dan As-Sunnah,
sehingga boleh jadi ahlul-bida’ tersebut akan mempengaruhinya dengan
kedustaan-kedustaan dan kerusakan-kerusakan pikirannya berupa segala
jenis kebathilan dengan sejelas-jelasnya sehingga menghunjam ke dalam
relung hatinya, sehingga sangat sukar untuk diobati dan dihindari. Itu
semua terjadi sepanjang hidupnya hingga ia bertemu dengan Rabb-nya
dalam keadaan meyakini bahwa (bid’ahnya) itu adalah kebenaran, padahal
ia sebenarnya adalah kebathilan yang paling besar dan kemunkaran yang
paling berat” [selesai perkataan Asy-Syaukani – lihat Fathul-Qadiir 2/122].
2. QS. An-Nisaa’ : 140
وقَدْ
نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الكِتَابِ أَنْ إذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللهِ
يُكْفَرُ بِهَا ويُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إنَّكُمْ إذًا مِّثْلُهُمْ إنَّ اللهَ
جَامِعُ المُنَافِقِينَ والْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
”Dan
sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam”.
Al-Imam Al-Qurthubiy rahimahullah mengatakan :
فدل
بهذا على وجوب اجتناب أصحاب المعاصي إذا ظهر منهم منكر ؛ لأن من لم
يجتنبهم فقد رضي فعلهم، والرضا بالكفر كفر، قال الله عز وجل: ﴿إنَّكُمْ
إذًا مِّثْلُهُمْ﴾ فكل
من جلس في مجلس معصية ولم ينكر عليهم يكون معهم في الوزر سواء، وينبغي أن
ينكر عليهم إذا تكلموا بالمعصية وعملوا بها، فإن لم يقدر على النكير عليهم
فينبغي أن يقوم عنهم حتى لا يكون من أهل هذه الآية..
وإذا ثبت تجنب أصحاب المعاصي كما بينا فتجنب أهل البدع والأهواء أولى
”Ayat
di atas menunjukkan akan wajibnya menjauhi para pelaku kemaksiatan
apabila nampak pada diri mereka kemunkaran, karena orang yang tidak
menjauhi mereka berarti secara tidak langsung meridlai perbuatan
mereka. Sedangkan ridla dengan kekufuran merupakan perbuatan kufur.
Allah ’azza wa jalla berfirman :”Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”.
Maka setiap orang yang berada di dalam tempat kemaksiatan sedang ia
tidak mengingkari perbuatan mereka, maka ia akan menanggung dosa yang
sama bersama mereka. Jadi seharusnya ia mengingkari perbuatan mereka
ketika mereka berbicara dan melakukan sebuah kemaksiatan. Apabila ia
tidak sanggup mengingkarinya, hendaknya ia menjauhi mereka sehingga ia
tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam ayat
ini. Jika ditetapkan dalam syari’at Islam sikap menjauhi para pelaku
maksiat sebagaimana telah kami jelaskan, maka menjauhi ahlul-bida’ dan ahlul-ahwaa’ lebih layak lagi” [Tafsir Al-Qurthubi 5/418].
3. QS. Al-Mujaadilah : 22
لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ والْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللهَ ورَسُولَهُ ولَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ
إخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُم
”Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka”.
Al-Imam Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
استدل
مالك رحمه الله تعالى من هذه الآية على معاداة القدرية، وترك مجالستهم،
قال أشهب عن مالك: لا تجالس القدرية وعادهم في الله لقوله تعالى: ﴿لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ والْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللهَ ورَسُولَهُ﴾ قلت: وفي معنى أهل القدر جميع أهـل الظلم
والعدوان
”Imam
Malik beristidlal rahimahullah untuk memusuhi Qadariyyah dan tidak
bergaul dengan mereka. Telah berkata Asyhab dari Malik : ”Janganlah
kamu duduk-duduk dengan Qadariyyah dan musuhilah mereka karena Allah
berfirman : Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Aku (Al-Qurthubi) berkata : ”Termasuk golongan qadariyyah adalah semua pelaku kedhaliman dan permusuhan” [Tafsir Al-Qurthubi 17/308].
4. Dan lain-lain.
DALIL AS-SUNNAH ASH-SHAHIIHAH
1. Dalam Shahiih Al-Bukhaariy terdapat Bab : Hijrah dan Sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam Tidak Diperbolehkan Bagi Seseorang untuk Menhajr Saudaranya Lebih dari Tiga Hari (باب الهجرة وقول رسول الله لا يحل لرجل أن يهجر أخاه فوق ثلاث), Bab Apa-Apa yang Diperbolehkan ketika Meng-hajr Pelaku Maksiat (باب ما يجوز من الهجران لمن عصى), Bab Orang yang Tidak Menjawab Salam kepada Pelaku Dosa dan Orang yang Tidak Dijawab Salamnya Hingga Ia Bertaubat dan Sampai Jelas Kapan Ia Bertaubat dari Maksiat (باب من لم يسلم على من اقترف ذنبًا، ومن لم يرد سلامه حتى تتبين توبته وإلى متى تتبين توبة العاصي). Ibnu ’Umar berkata : ”Janganlah kalian menjawab salam kepada peminum khamr” [Fathul-Baari 10/491, 498, 481].
2. Dalam Sunan Abi Dawud terdapat Bab : Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu dan Membenci Mereka (باب مجانبة أهل الأهواء أو بغضهم), ”Bab Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu dan Membenci Mereka (باب ترك السلام على أهل الأهواء).
3. Dalam Riyaadlush-Shaliihiin, Al-Imam Nawawiy rahimahullah menuliskan Bab (تحريم الهجر بين المسلمين إلا لبدعة في المهجور أو تظاهر بالفسق)
”Diharamkannya Hajr Di Antara Kaum Muslimin Kecuali dengan Sebab
Kebid’ahan dari Orang Tersebut Atau Ia Menampakkan Secara
Terang-Terangan Kemaksiatan”.
4. Dalam At-Targhiib wat-Tarhiib, Al-Imam Al-Mundziriy rahimahullah menuliskan
bahasan : Menanamkan Rasa Takut dari Sikap Menyukai Para Pelaku
Kejahatan dan Ahlul-Bida’, Karena Seseorang Tergantung kepada Teman
Dekatnya (الترهيب من سب الأشرار وأهل البدع لأن المرء مع من أحب).
5. Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لكل أمة مجوس، ومجوس أمتي الذين يقولون لا قدر، إن مرضوا فلا تعودوهم، وإن ماتوا فلا تشهدوهم
”Setiap
umat itu pasti ada Majusinya. Dan Majusi umat ini adalah orang-orang
yang berkata : ’Tidak ada takdir (yaitu dari kalangan Qadariyyah)’.
Apabila mereka sakit, janganlah kalian menjenguknya dan apabila mereka
meninggal jangan kalian menyaksikan mereka” [HR. Ahmad, Ath-Thabarani, dan Al-Hakim; shahih].
6. Hadits :
سيكون بعدي أمراء فمن دخل عليهم فصدقهم بكذبهم وأعانهم على ظلمهم فليس مني ولست منه، وليس بوارد علي الحوض
”Akan
datang setelahku pemimpin. Barangsiapa yang menemui mereka, lalu
membenarkan kedustaannya dan membantu mereka dalam kedhalimannya; maka
ia bukan dari golonganku dan aku berlepas diri darinya. Ia tidak
termasuk orang-orang yang mendatangi telagaku” [HR. At-Tirmidzi].
7. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
ما
من نبي بعثه الله تعالى في أمة قبلي إلا كان له من أمته حواريون وأصحاب،
يأخذون بسنته، ويقتدون بأمره، ثم إنها تخلف من بعدهم خلوف يقولون ما لا
يفعلون، ويفعلون مالا يؤمرون، فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن، ومن جاهدهم
بلسانه فهو مؤمن، ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن وليس وراء ذلك من الإيمان حبة
خردل
”Tidaklah
seorang Nabi diutus Allah ta’ala pada umat-umat sebelumku melainkan ia
memiliki Hawariyyun (pembela-pembela) dari umatnya dan
shahabat-shahabat, dimana mereka mengambil sunnahnya dan mengikuti
perintahnya. Lalu datanglah orang-orang setelah mereka yang mengatakan
apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa-apa yang tidak
diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya berarti
ia mukmin, dan tidak ada setelah itu keimanan sedikitpun juga” [HR. Muslim].
8. Dan lain-lain masih banyak.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr Ka’b bin Malik radliyallaahu ‘anhu ketika tidak ikut perang Tabuk selama 50 hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengumumkan tentang turunnya ampunan Allah kepada mereka. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Muslim, dan yang lainnya.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr Zainab binti Jahsy radliyallaahu ‘anhaa selama kurang lebih dua bulan, ketika ia berkata dengan kalimat ejekan karena kecemburuan : { أنا أعطبى تلك اليهودية - تعنى صفية رضي الله عنها} ”Sesungguhnya aku akan memberikannya kepada perempuan Yahudi itu” – maksudnya Shafiyyah radliyallaahu ’anhaa. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr ’Ammar bin Yasir radliyallaahu ’anhu dengan tidak menjawab salamnya karena ia mengenakan parfum wanita. Hajr ini tetap berlangsung hingga ia mencucinya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ath-Thayalisi dari hadits ’Ammar radliyallaahu ’anhu.
Dan lain-lain.
ATSAR PARA SHAHABAT
’Umar bin Khaththab radliyallaahu ’anhu pernah meng-hajr Ziyad
bin Hudair karena ia mengenakan pakaian Persia dan berkumis lebat.
Ketika ia mengucapkan salam kepadanya, maka ’Umar tidak menjawab
salamnya hingga ia melepaskan pakaiannya tersebut dan memotong kumisnya. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’.
Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma pernah meng-hajr seorang
laki-laki yang dilihatnya bermain ketapel setelah ia diberi tahu bahwa
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam melarang bermain ketapel. Ibnu ’Umar
berkata kepadanya : {والله لا أكلمك أبدًا} ”Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya”. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.
Abdullah bin Mughaffal radliyallaahu ’anhu pernah meng-hajr seorang laki-laki yang bermain ketapel seperti di atas dan salah seorang tua dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang bermain ketapel. Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy.
Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu pernah meng-hajr seorang laki-laki yang mentertawakan jenazah. Ibnu Mas’ud berkata : { والله لا أكلمك أبدًا } ”Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya”. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd.
Dan lain-lain.
DALIL IJMA’
Sekelompok ulama menisbatkan adanya ijma’ dalam permasalahan ini. Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam penjelasannya terhadap hadits Ka’b bin Malik radliyallaahu ’anhu :
وفيه
دليل على أن هجران أهل البدع على التأبيد، وكان رسول الله صلى الله عليه
وسلم خاف على كعب وأصحابه النفاق حين تخلفوا من الخروج معه، فأمر بهجرانهم
إلى أن أنزل الله توبتهم، وعرف رسول الله صلى الله عليه وسلم براءتهم، وقد
مضت الصحابة والتابعون، وأتباعهم، وعلماء السنة على هذا مجمعين متفقين على
معاداة أهل البدعة، ومهاجرتهم
”Di dalamnya terdapat dalil disyari’atkannya meng-hajr ahlul-bida’ selama-lamanya (hingga ia bertaubat). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam khawatir
kepada Ka’b dan dua orang shahabatnya yang lain yang tertimpa penyakit
nifaq ketika mereka tidak turut berperang bersama beliau. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk meng-hajr mereka hingga turun pengampunan dari Allah kepada mereka; dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pun
setelah itu mengetahui kebenaran mereka. Para shahabat, tabi’in, dan
orang-orang yang mengikuti mereka, serta ulama-ulama Ahlus-Sunnah;
mereka telah bersepakat untuk memusuhi ahlul-bida’ dan meng-hajr mereka” [selesai – lihat Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawi 1/226-227].
Ibnu ’Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أجمعوا
على أنه لا يجوز الهجران فوق ثلاث إلا لمن خاف من مكالمته ما يفسد عليه
دينه أو يدخل منه على نفسه أو دنياه مضرة، فإن كان كذلك جاز، ورُب هجر
جميل خير من مخالطة مؤذية
”Mereka (para ulama) telah bersepakat untuk tidak melakukan hajr lebih dari tiga hari kecuali terhadap orang yang dikhawatirkan pembicaraannya akan menyebabkan kerusakan agamanya atau kerusakan pada dirinya atau penghidupan dunianya. Hal seperti ini diperbolehkan. Berapa banyak hajr yang dilakukan secara baik (tepat) lebih bermanfaat daripada pergaulan yang merusak” [selesai – lihat Fathul-Baari 10/496].
Beliau rahimahullah berkata pula ketika mengomentari hadits Ka’b bin Malik :
وهذا
أصل عند العلماء في مجانبة مَن ابتدع وهجرته وقطع الكلام عنه، وقد رأى ابن
مسعود رضي الله عنه رجلًا يضحك في جنازة فقال: والله لا أكلمك أبدًا
”Hadits
ini adalah landasan bagi para ulama dalam menjauhi pelaku bid’ah,
meng-hajr-nya, dan tidak berbicara dengannya. Ibnu Mas’ud radliyallaahu
’anhu melihat seseorang yang mentertawakan jenazah, maka beliau berkata
: ”Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya”
[selesai – Tuhfatul-Ikhwaan halaman 45].
Manfaat/Faedah Hajr kepada Pelaku Bid’ah dan Kemaksiatan
Banyak sekali faedah yang didulang dari adanya hajr syar’i ini, di antaranya adalah membungkam ahlul-bida’ wal-ahwaa’ dan mencegah penyebaran virus maksiat dan bid’ahnya. Al-Imam Asy-Syaathibiy rahimahullah mempunyai perkataan yang sangat bagus dalam hal ini :
فإن
الإيواء يجامع التوقير، ووجه ذلك ظاهر، لأن المشي إليه والتوقير له تعظيمٌ
له لأجل بدعته، وقد علمنا أن الشرع يأمر بزجره وإهانته وإذلاله بما هو أشد
من هذا، كالضرب والقتل، فصار توقيره صدودًا عن العمل بشرع الإسلام.
وإقبالًا على ما يضاده وينافيه، والإسلام لا ينهدم إلا بترك العمل به
والعمل بما ينافيه.
وأيضًا فإن توقير صاحب البدعة مظنة لمفسدتين تعودان بالهدم على الإسلام:
*
أحدهما: التفات العامة والجهال إلى ذلك التوقير، فيعتقدون في المبتدع أنه
أفضل الناس، وأن ما هو عليه خير مما عليه غيره، فيؤدي ذلك إلى اتباعه على
بدعته دون اتباع أهل السنة على سنتهم.
*
والثانية: أنه إذا وقر من أجل بدعته صار ذلك كالحادي المحرض له على انتشار
الابتداع في كل شيء. وعلى كل حال فتحيا البدع وتموت السنن، وهو هدم
الإسلام بعينه ا هـ
”Karena
sesungguhnya sikap lemah lembut akan memadukan sikap penghormatan.
Kaitan keduanya jelas sekali, karena seperti berjalan bersamanya
(dengan ahlul-bida’) dan penghormatan padanya akan memuliakannya
lantaran bid’ahnya. Padahal kita telah mengetahui bahwa syari’at Islam
memerintahkan untuk mewaspadainya, menghinakannya, dan merendahkannya
yang mana hal ini lebih keras dari pukulan dan pembunuhan. Maka
penghormatan kepadanya merupakan penghalang dari pelaksanaan syari’at
Islam dan merupakan sikap menerima terhadap perkara-perkara yang
bertentangan dengan Islam itu sendiri. Agama Islam tidak akan hancur
kecuali dengan tidak mengamalkannya dan mengamalkan hal-hal yang
bertentangan dengannya.
Penghormatan kepada Ahlul-Bida’ juga berakibat pada dua kerusakan (mafsadah) yang akan berakhir pada kehancuran agama Islam, yaitu :
Pertama, Masyarakat awam dan orang-orang bodoh akan melihat penghormatan tersebut, sehingga mereka berkeyakinan bahwa Mubtadi’ (Ahlul-Bida’) adalah manusia yang paling baik.
Apa yang dilakukannya lebih baik daripada orang lain. Itu semua akan
mengakibatkan mereka mengikuti kebid’ahannya dan berpaling dari
mengikuti sunnah dan ahlinya.
Kedua,
Apabila penghormatan tersebut lantaran bid’ahnya, maka hal itu dapat
menjadi motivasi baginya untuk membuat bid’ah-bid’ah lainnya dalam
segala urusan.
Maka bagaimanapun juga (penghormatan kepada ahlul-bida’) berarti menghidupkan kebid’ahan dan mematikan sunnah, yang mana ini merupakan inti penghancuran agama Islam” [selesai perkataan Asy-Syathibi – lihat Al-I’tisham 1/114].
Di antara faedah meng-hajr ahlul-bida’ wal-ahwaa’ (ma’ashi)
yang lain adalah memberikan jaminan bagi sunnah untuk terbebas dari
noda-noda bid’ah dan virus-virusnya demi kemurnian sunnah. Mengenai
faedah ini, Al-Imam Ibnu Baththah Al-’Ukbari rahimahullah berkata :
”Ketahuilah
wahai saudaraku, aku memikirkan tentang sebab (faktor) yang
mengeluarkan satu kaum dari sunnah dan jama’ah serta menjerumuskan
mereka ke lembah bid’ah dan keburukan lainnya, yang membuka pintu
kehancuran hati-hati mereka, menutup cahaya kebenaran dan pandangan
mereka. Sehingga aku mendapatinya dari dua sisi : Pertama, mencari-cari, mengada-ada, dan banyak bertanya tentang sesuatu yang tidak bermanfaat yang
mana ketidaktahuan tentangnya tidak mencelakakan orang yang berakal;
dan memahaminya tidak memberikan manfaat apa-apa bagi orang yang
beriman. Kedua,
duduk bersama orang yang tidak aman dari fitnahnya dan bergaul
dengannya akan merusak hati” [selesai perkataan Ibnu Baththah – lihat Al-Ibaanah 1/390].
Wallaahu a’lam.
[Catatan lama – 10062008].
Bahan Bacaan : Hajrul-Mubtadi’ oleh Asy-Syaikh Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid, Nusyuz : Dlawabithuhu, Halatuhu, Asbaabuhu, Thuruqul-Wiqayah Minhu oleh Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Fiqhus-Sunnah lin-Nisaa’ oleh Asy-Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan oleh Al-Ustadz Firanda Abu Abdil-Muhsin, dan beberapa artikel lainnya yang memuat kumpulan perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawaa dan Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari, khususnya masalah Hajr.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2013/07/hajr-pemboikotan.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2013/07/hajr-pemboikotan.html