Pengantar Redaksi Muslim.or.id
Para pengunjung sekalian yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kami
dari pihak redaksi sempat searching-searching di google dan mendapati
tulisan dari seorang ustadz yang saat ini sedang sibuk dalam thesis
S2-nya di Universitas Islam Madinah, Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc.
Ada suatu tulisan yang amat bagus dari beliau dan beliau sudah sajikan
dalam bentuk buku, lalu pihak redaksi meminta pada beliau untuk
ditampilkan di muslim.or.id. Tulisan ini berisi sanggahan terhadap buku
yang tersebar luas di masyarakat yang berjudul “Mana Dalilnya 1?“,
buah karya Novel bin Muhammad al-Aydrus. Buku ini sangat berbahaya
karena berisi berbagai macam kerancuan terutama dalam masalah aqidah.
Buku sesat tersebut telah dicetak sebanyak 17 kali dalam waktu 1,5
tahun. Tulisan ini beliau susun sejak empat tahun silam karena teramat
bahaya buku sesat tersebut, namun belum ada penerbit yang mencetak buku
ini. Tujuan redaksi memuat tulisan ini agar bisa mengatasi syubhat
(kerancuan) dari buku tersebut. Semoga bermanfaat bagi pembaca
muslim.or.id.
***
Bagian Pertama: Memahami Akar Permasalahan & Solusinya
Dalam kitabnya yang terkenal, Al Imam Al Hafizh Ibnu Rajab –rahimahullah– menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang disebut sebagai poros Islam (madaarul Islaam). Di antara pendapat yang beliau nukil di sana ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal[1]), Imam Ishaq ibnu Rahawaih[2]), Imam Utsman bin Sa’id Ad Darimy[3]), dan Imam Abu ‘Ubeid Al Qaasim bin Sallaam[4]) –rahimahumullah-.
Akan tetapi dari sekian pendapat yang beragam tadi, semuanya sepakat
bahwa hadits ‘Aisyah berikut merupakan salah satu poros Islam:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري ومسلم, وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no 3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak”(lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).
Dalam penjelasannya, Ibnu Rajab –rahimahullah– mengatakan:
“Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dalam Islam. Ia merupakan
neraca untuk menimbang setiap amalan secara lahiriah, sebagaimana
hadits ‘Innamal a’maalu binniyyah’ (=setiap
amalan tergantung pada niatnya) adalah neraca batinnya. Jika setiap
amal yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah pelakunya tidak akan
mendapat pahala, maka demikian pula setiap amal yang tidak berlandaskan
aturan Allah dan Rasul-Nya, amal tersebut juga pasti tertolak.
Siapa pun yang mengada-adakan perkara baru dalam agama tanpa izin dari
Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu bukanlah bagian dari agama sedikit
pun…” kemudian lanjut beliau: “Lafazh hadits ini menunjukkan bahwa
setiap amalan yang tidak berlandaskan urusan Allah & Rasul-Nya, maka
amalan tersebut tertolak. Sedangkan mafhum (makna
yang tersirat) dari hadits ini ialah bahwa setiap amalan yang
berlandaskan urusan Allah dan Rasul-Nya berarti tidak tertolak. Sedang
yang dimaksud dengan ‘urusan kami’ dalam hadits ini ialah agama & syari’at-Nya.
Jadi maknanya ialah: siapa
saja yang amalnya keluar dari koridor syari’at, tidak mau terikat
dengan tata cara syari’at, maka amalan itu tertolak” [5]).
Sering kali ketika seseorang mendapat teguran bahwa amalan yang diperbuatnya tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -alias bid’ah-; ia beralasan: “Ini kan baik, mengapa mesti dilarang…?!” ini kalau dia agak moderat dan lugu. Tapi sebagian justeru mengatakan: “Semua-semua
bid’ah!… tahlilan bid’ah, shalawatan bid’ah,
baca Barzanji (mberjanjen) bid’ah… mana dalilnya?”. Jawaban kedua ini memang terkesan lebih ‘ilmiah’, mengapa? Karena ia menanyakan ‘mana dalilnya’.
Akan tetapi… benarkah setiap bid’ah harus ada dalil yang melarangnya ?
Cobalah saudara renungkan pertanyaan di atas dengan seksama…
Agar lebih mudah memahaminya, kami akan membuat sebuah contoh ringan;
Sebagian orang mengatakan bahwa mengadakan majelis dzikir berjama’ah
bukanlah suatu bid’ah, karena tidak ada dalil yang melarang kita
melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan tahlilan, ngalap berkah, tawassul dengan Nabi/orang shalih, shalawatan, istighatsah dengan orang mati, dsb…
Bagaimana menurut anda jika pertanyaannya kami balik menjadi: Adakah
dalil yang menyuruh kita mengadakan majelis dzikir berjama’ah, tahlilan, ngalap berkah, dll… ? Kami yakin, sebagai orang yang obyektif tentu saudara akan menjawab: “tidak ada”, selama yang dicari ialah dalil yang shahih dan sharih.
Artinya dalil tersebut bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, yakni
berupa Al Qur’an atau hadits shahih, dan maknanya jelas berkaitan dengan
masalah yang sedang dibahas. Dengan kata lain, dalil tersebut
menjelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan majelis dzikir berjamaah,
tahlilan dan shalawatan tadi [6]).
Bagaimana jika ada orang yang melaksanakan shalat subuh empat roka’at
umpamanya, dengan alasan bahwa waktu subuh adalah waktu senggang yang
sangat tepat untuk banyak beribadah… suasananya pun cukup hening, hingga
apabila seseorang menambah shalatnya menjadi empat roka’at pun tetap
terasa khusyu’. . . lagi pula kan tidak ada dalil yang melarang kita untuk itu?! Pasti saudara akan mengingkari pemikiran seperti ini dan menghukuminya sebagai bid’ah dholaalah (bid’ah yang sesat), mengapa? Jawabnya: karena
ibadah bukanlah sesuatu yang bebas dilakukan semaunya, tapi wajib ikut
‘aturan main’ dari Allah dan Rasul-Nya.
Kalaulah kita sepakat bahwa shalat adalah ibadah yang tidak boleh
dilakukan sembarangan, mestinya kita bersikap konsekuen terhadap
ibadah-ibadah lainnya. Tentunya setelah kita mengetahui apa itu definisi
ibadah yang sesungguhnya [7]).
Namun biasanya analogi (penalaran) seperti ini akan ditolak mentah-mentah oleh sebagian orang. “Kalau shalat subuh empat roka’at itu jelas bid’ah dholalah. Tapi kalau dzikir bersama, tahlilan, tawassul, shalawatan, dsb hukumnya lain. Ini adalah bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik). Ini semua baik dan mengandung manfaat. lagi pula kita khan
diperintahkan untuk banyak berdzikir, membaca Al Qur’an, bershalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seterusnya…?!” begitu sanggah mereka.
Sebagian yang agak pintar mungkin berdalih: “Bukankah
tahlil, takbir, tahmid, tasbih, membaca shalawat, dsb itu merupakan
dzikir yang dianjurkan? Bukankah itu semua merupakan amal shaleh?
Mengapa saudara membid’ahkan-nya…? Mana dalilnya…?
Dan masih segudang lagi alasan yang mungkin mereka utarakan demi meligitimasi praktik-praktik bid’ah tersebut. Ya… kami katakan bahwa itu semua adalah bid’ah khurafat yang dilekatkan pada ajaran Islam, namun Islam berlepas diri dari padanya meskipun ia dipandang baik oleh kebanyakan manusia.
Lantas, bagaimana solusinya…?
Untuk mendudukkan masalah ini, kita harus menetapkan suatu standar baku
dalam menilai mana bid’ah dan mana sunnah… Mana yang baik dan
bermanfaat, dan mana yang sesat dan penuh khurafat… alias standar untuk
menilai mana yang haq dan mana yang batil.
Kami mengajak para pembaca yang budiman untuk menyatukan pedoman dalam
hal ini, yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits shahih), dan Ijma’. Kami
yakin bahwa pembaca sekalian tidak akan keberatan dalam menerima ketiga
sumber hukum di atas sebagai pedoman kita dalam menetapkan dan
menerapkan suatu ibadah, atau sebagai rujukan ketika ada perselisihan.
Sekarang kita telah sepakat bahwa rujukan kita adalah Al Qur’an, As
Sunnah, dan Ijma’. Tapi bukankah semua golongan yang saling bertikai
menyatakan bahwa rujukan mereka adalah Al Qur’an dan Sunnah? Lantas
mengapa mereka masih bertikai juga? Pasti ada yang tidak beres…
Benar, mereka berbeda pendapat dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karenanya mereka pun tetap berselisih. Selama Al Qur’an dan Sunnah
masih difahami menurut akal dan selera masing-masing, maka mencari titik
temu melaluinya ibarat menegakkan benang basah, alias perbuatan yang sia-sia !!
Karenanya, kita harus terlebih dahulu menyepakati pemahaman yang akan
kita jadikan acuan dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Kami akan
menawarkan kepada pembaca yang budiman, sebuah manhaj (metodologi) dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Manhaj ini bukanlah hasil rumusan kami atau golongan tertentu… namun ia adalah manhaj rabbani yang Allah gariskan dalam Kitab-Nya. Sebuah manhaj yang telah diridhai-Nya dan telah sukses dipraktikkan oleh generasi terbaik umat ini. Manhaj yang menghantarkan mereka ke puncak kejayaan dunia dan akhirat.
….Ya, itulah manhaj salafus shaleh, leluhur kita yang mulia…
Kami akan menjelaskan kepada saudara bahwa manhaj ini adalah manhaj terbaik
dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah secara benar; dan tentunya
berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Namun pertama-tama,
bukalah fikiran dan hati sanubari kita terlebih dahulu… tepislah semua
bentuk subyektivitas yang akan menghambat kita untuk menerima kebenaran
dari pihak lain. Marilah sejenak kita memanjatkan do’a kepada Allah Ta’ala agar Ia menunjukkan kebenaran kepada kita…
اللَّهُمَّ أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقُنْاَ اتـِّباَعَهَ, وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً وَارْزُقنْاَ اجْتِناَبَهُ
“Ya Allah,
tampakkanlah yang haq sebagai al haq bagi kami, dan jadikanlah kami
orang yang mengikutinya. Tampakkan pula yang batil itu sebagai kebatilan
bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang menjauhinya.”
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ
تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي
لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ
تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah,
Rabbnya Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Dzat yang
mengetahui yang ghaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan
perselisihan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah bagiku kebenaran dalam
perselisihan mereka atas seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau berkenan
menunjukkan siapa pun yang Kau kehendaki pada jalan yang lurus” (H.R.
Muslim).
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) Beliau
ialah Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibany Al Baghdady.
Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim dan ahli zuhud panutan.
Beliau lahir di bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Beliau salah satu
sahabat dekat dan murid kesayangan Imam Syafi’i. Ahmad senantiasa
melazimi gurunya yang satu ini hingga ia (Imam Syafi’i) pindah ke Mesir.
Imam Syafi’i berkata: “Tak pernah kutinggalkan seorang pun di Baghdad
yang lebih bertakwa dan faqieh (pandai) dari Ahmad bin Hambal”. Kitab
beliau yang bernama Al Musnad adalah
kitab hadits terbesar yang sampai kepada kita, memuat sekitar 30 ribu
hadits. Beliaulah satu-satunya ulama yang tetap tegar menolak
kemakhlukan Al Qur’an meski disiksa sedemikian rupa, hingga karenanya ia
dijuluki Imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau wafat pada hari Jum’at 12
Rabi’ul Awwal tahun 241 H, rahimahullahu rahmatan waasi’an. (lihat: Wafayaatul A’yaan 1/63-64 & Tadzkiratul Huffazh 2/431-432)
[2]) Ishaq
bin Ibrahim bin Makhlad Al Handhaly Al Marwazy. Imam dan ulama
Ahlussunnah wal jama’ah. Terkumpul padanya ilmu hadits, fiqih, hafalan
kuat, kejujuran, sikap wara’ dan zuhud. Beliau mengembara ke Irak,
Hijaz, Yaman, Syam, dan kembali ke Khurasan dan wafat di Nishapur.
Beliau termasuk salah satu sahabat Imam Ahmad dan guru besar Imam
Bukhari. Lahir pada tahun 161 H. Ibnu Khuzaimah berkata: “Demi Allah,
seandainya beliau hidup di zaman tabi’in, pastilah mereka mengakui
kekuatan hafalan, kedalaman ilmu, dan pemahamannya”. Abu Dawud Al
Khoffaf berkata; aku mendengar Ishaq berkata: “Seakan-akan aku melihat
100 ribu hadits dalam kitabku, 30 ribu diantaranya dapat kubaca dengan
lancar”. Beliau wafat pada tahun 237 atau 238 H, rahimahullah. (lihat Tahdziebut Tahdzieb, Siyar A’laamin Nubala’, dan Tahdziebul Kamal)
[3]) Beliau
ialah Al Imam Al ‘Allaamah Al Hafizh, Abu Sa’id Utsman bin Sa’id bin
Khalid bin Sa’id Ad Darimy At Tamimi. Lahir sebelum tahun 200H. Beliau
menimba ilmu hadits dari Ali ibnul Madiny, Yahya ibnu Ma’in, dan Ahmad
bin Hambal –rahimahumullah,-
hingga mengungguli orang-orang di zamannya. Beliau adalah orang yang
gigih memegang Sunnah, dan ahli dalam berdebat. Beliau menulis sebuah
kitab yang membantah kesesatan Bisyr Al Marrisi (salah seorang tokoh
Jahmiyyah), dan kitab Musnad. Beliau wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun
280 H (As Siyar, 2/2651-2653).
[4]) Beliau
ialah Al Imam Al Hafizh Abu ‘Ubeid, Al Qasim bin Sallam bin Abdillah.
Lahir tahun 157 H, berguru kepada Abdullah ibnul Mubarak, Waki’, Ibnu
Mahdy, Yahya Al Qatthan dan lainnya. Karnya cukup banyak, diantaranya: Gharibul Hadits, Al Amtsal, Gharibul Mushannaf, Al Amwal, Fadha-ilul Qur’an, Ath Thuhur,
dan lain-lainnya. Beliau ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti
hadits, qiraat, fiqih, dan sastera Arab. Ibnul Anbary berkata: “Abu
Ubeid konon membagi malam jadi tiga; sepertiga untuk shalat, sepertiga
untuk tidur, dan sisanya untuk menyusun kitab”. Ishaq ibnu Rahawaih
berkata: “Abu ‘Ubeid lebih luas ilmunya dari kita, lebih mulia
perangainya, dan lebih banyak menyusun kitab. Kita membutuhkan dirinya,
namun dia tidak butuh kepada kita”. Beliau wafat tahun 224 H (As Siyar 2/3057-3060).
[5]) Jaami’ul ‘Uluumi wal hikam hal 73-74, oleh Ibnu Rajab Al Hambaly. cet. Daarut Tauzi’ wan Nasyril Islamiyyah.
[6])
Konsekuensinya, jika dalil tersebut tidak shahih maka tidak sah
dijadikan pegangan. Atau jika dalil tersebut shahih namun petunjuknya
bersifat umum –seperti yang disebutkan oleh Novel dalam banyak
contohnya–, maka ia juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab menetapkan
ibadah dengan tata cara tertentu, tempat tertentu atau waktu tertentu
adalah urusan Allah dan Rasul-Nya. Jika ibadah tersebut diperintahkan
untuk dilakukan secara bebas ya kita tidak boleh membatasinya dengan
bilangan, waktu dan tata cara tertentu. Sebaliknya jika ibadah tersebut
diperintahkan dengan tata cara tertentu ya kita harus terikat dengan
tata cara tersebut.
[7]) Definisi ibadah yang paling universal ialah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
اَلْعِباَدَةُ: اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ
مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الْباَطِنَةِ وَالْظَاهِرَةِ (كتاب
العبودية ص 38)
Ibadah ialah nama untuk setiap apa yang dicintai dan diridhai oleh
Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun
tersembunyi. (Kitab Al ‘Ubudiyyah, hal 38)
Sumber: https://muslim.or.id/7248-ini-dalilnya-1-mukaddimah-sanggahan-terhadap-buku-mana-dalilnya-1.html