Islam Pedoman Hidup: Kekeliruan dalam Penafikan ‘Udzur Kejahilan : ‘Jika Kami Tidak Mengkafirkannya, Bukan Berarti Kami Menghukuminya Muslim’

Selasa, 24 November 2015

Kekeliruan dalam Penafikan ‘Udzur Kejahilan : ‘Jika Kami Tidak Mengkafirkannya, Bukan Berarti Kami Menghukuminya Muslim’

Sebagian ulama Najd dan yang mengikuti mereka ketika menghukumi sebagian kaum muslimin yang melakukan tindakan kekafiran namun belum sampai kepadanya hujjah mengatakan : ‘Seandainya kami tidak mengkafirkannya karena belum sampainya hujjah kepadanya, bukan berarti kami menghukuminya sebagai muslim, dan ia terhitung seperti ahlul-fatrah’.
Perkataan ini keliru karena bertentangan dengan kaedah-kaedah yang ada. Bagaimana seorang muslim menjadi tidak berstatus karena amalan yang ia lakukan dan kemudian dimasukkan dalam golongan ahlul-fatrah ?.
Dua hal yang mesti dipahami dalam perkara ini adalah:
1.     Seorang muslim tetap dalam keislamannya selama tidak ada hal-hal yang membatalkan keislamannya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah berkata:
أن كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Siapa saja dari kalangan muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
Ibnu ‘Aabidiin rahimahullah menukil:
وَفِي الْفَتَاوَى الصُّغْرَى : الْكُفْرُ شَيْءٌ عَظِيمٌ فَلَا أَجْعَلُ الْمُؤْمِنَ كَافِرًا مَتَى وَجَدْت رِوَايَةً أَنَّهُ لَا يَكْفُرُ ا هـ وَفِي الْخُلَاصَةِ وَغَيْرِهَا : إذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ وُجُوهٌ تُوجِبُ التَّكْفِيرَ وَوَجْهٌ وَاحِدٌ يَمْنَعُهُ فَعَلَى الْمُفْتِي أَنْ يَمِيلَ إلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَمْنَعُ التَّكْفِيرَ تَحْسِينًا لِلظَّنِّ بِالْمُسْلِمِ
“Dalam Al-Fataawaa Ash-Shughraa disebutkan : ‘Kekufuran merupakan suatu perkara yang sangat besar. Maka aku tidak akan menjadikan seorang mukmin berstatus kafir ketika aku dapatkan satu riwayat bahwasannya ia tidak kafir’. Dalam kitab Al-Khulaashah dan yang lainnya disebutkan : ‘Apabila dalam satu permasalahan terdapat beberapa sisi yang mengkonsekuensikan pengkafiran, namun ada satu sisi yang mencegah adanya pengkafiran tersebut, maka wajib bagi seorang mufti untuk membawanya pada sisi yang mencegah pengkafirkan sebagai bentuk persangkaan baik kepada seorang muslim” [Raddul-Mukhtaar, 16/256].
Keislaman seseorang diketahui melalui pengucapan dua kalimat syahadat atau dilahirkan dari orang tua muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1385].
Oleh karena itu, tidak ada status ‘abstain’ bagi seorang yang sudah tetap keislamannya. Jika seorang muslim tidak melakukan kekafiran atau melakukan kekafiran namun tidak terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan ada faktor penghalangnya; maka statusnya tetap muslim. Namun jika sebaliknya, statusnya berubah dari muslim menjadi kafir. So, simple…..
Tidak ada status manzilah baina manzilatain dalam perkara ini sebagaimana diikrarkan kalangan Mu’tazillah; tidak beriman, tidak pula kafir.
2.     Era ahlul-fatrah berakhir dengan diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan para ulama, akan tetapi kesemuanya mengkerucut pada orang-orang yang hidup pada masa kevakuman risalah kenabian[1]. Setelah diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka putuslah era fatrah, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi maupun Nashrani, kemudian ia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Lantas, bagaimana bisa dikatakan seorang muslim tiba-tiba berstatus hukum menjadi ahlul-fatrah hanya karena tidak mengetahui sebagian perkara ushuuluddiinsehingga ia melakukan beberapa perkara kekufuran dan kesyirikan tanpa ia sadari ?. Ini jelas keluar dari definisi yang disepakati oleh ulama.
Jika mereka mengatakan tidak mengkafirkan muslim yang melakukan sebagian perkara kekufuran atau kesyirikan karena belum sampai padanya hujjah, namun kemudian menyamakannya dengan ahlul-fatrah; itu sama saja menghukumi  kekafirannya. Hal ini dikarenakan hukum dunia bagi ahlul-fatrah adalah kafir berdasarkan ijmaa’.
Asy-Syaikh Ishaaq bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan rahimahumullah berkata:
بل أهل الفترة الذين لم تبلغهم الرسالة والقرآن وماتوا على الجاهلية لا يسمون مسلمين بالإجماع ولا يستغفر لهم وإنما اختلف أهل العلم في تعذيبهم
“Bahkan ahlul-fatrah yang belum sampai kepada mereka risalah dan Al-Qur’an, yang meninggal di atas kejahiliyyahan, tidak dinamakan sebagai orang-orang muslim berdasarkan ijmaa’Mereka tidak boleh dimintakan ampunan. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang adzab mereka kelak di akhirat” [‘Aqiidatul-Muwahhidiin, hal. 151].
Orang yang tidak boleh dimintakan ampun adalah orang yang di dunia dihukumi kafir, berdasarkan firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabishallallaahu ’alaihi wa sallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034, Ibnu Majah no. 1572, dan yang lainnya].
Dengan demikian, Anda dapat melihat adanya paradoks yang nyata.[2]
Status tidak kafir namun tidak muslim ini memang membingungkan. Bahkan, Asy-Syaikh Shaalih Aalusy-Syaikh hafidhahullah mengkritik pendapat ini dengan argumentasi yang senada dengan di atas[3]. Meskipun kita mencintai dan menghormati para ulama kita, namun kebenaran lebih kita cintai daripada mereka.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – wonogiri – 28122014 – 22:00].







[1]      Pembahasan beberapa istilah ini dapat dibaca dalam buku Al-Aaayaat wal-Ahaadiits wal-Aatsaar Al-Waaridah fii Ahlil-Fatrah (tesis Univ. Ummul-Quraa) oleh Marwaan Al-Hamdaan hal. 5-7.
[2]      Paradoksnya lagi, sebagian ‘mereka’ membawa teks-teks para ulama yang menegaskan tidak mengkafirkan seseorang hingga tegak padanya hujjah, kepada ijtihad sebagian ulama Najd ini. Sehingga, ketika Ibnu Taimiyyah rahimahullah – misalnya – mengatakan tidak mengkafirkan sebagian kaum muslimin yang jatuh dalam perkara syirik akbar peribadahan kepada orang-orang yang telah meninggalkan dari kalangan Nabi dan orang-orang shaalih; juga dianggap tidak mengatakannya sebagai muslim. Pendapat beliau rahimahullah ini dipaksa agar sesuai dengan pendapat sebagian ulama Najd rahimahumullah. Ini adalah kekeliruan yang nyata lagi tidak mengindahkan koridor-koridor ilmiah.
[3]      Silakan baca : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=144769.

from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/12/kekeliruan-dalam-penafikan-udzur.html