Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita yang menikahkan
dirinya sendiri atau seorang wanita yang dinikahkan wanita lain, tanpa
ijin dari walinya; apakah pernikahannya itu sah atau tidak. Minimal,
ada dua pendapat masyhur yang beredar dalam permasalahan ini :
1. Madzhab Hanafiy.
Pernikahan
tersebut sah. Seorang wali tidak berhak membatalkannya, kecuali jika
laki-laki yang menikahi wanita tersebut tidak sekufu (maka si wali
boleh membatalkannya). Dalil-dalil yang mereka pakai untuk membangun
pendapat ini antara lain :
Dalil Al-Qur’an.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain” [QS. Al-Baqarah : 230].
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Apabila
kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
makruf” [QS. Al-Baqarah : 232].
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 234].
Sisi pendalilannya :
Wanita
adalah pelaku utama pernikahan, dan pernikahannya itu sah –
berdasarkan ayat-ayat di atas – tanpa ada ijin dari wali.
Dalil dari As-Sunnah.
حدثنا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حدثنا سُفْيَانُ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ،
يُخْبِرُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا،
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan
kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl,
ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu
‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Ats-tsayyibu
(janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya.
Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan
diamnya”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ،
عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَيْسَ
لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ، وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ،
فَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا "
Telah
menceritakan kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ma’mar, dari Shaalih bin Kaisaan, dari Naafi’ bin Jubair
bin Muth’im, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak
ada hak/kuasa bagi seorang wali terhadap seorang janda. Adapun gadis
yatim dimintai ijin, dan diamnya adalah tanda persetujuannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/334; shahih].
Sisi pendalilannya :
Kedua
hadits di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan hak secara penuh
kepada seorang janda untuk menikah dengan seorang laki-laki yang ia
inginkan tanpa ada intervensi dari wali. Adapun bagi gadis (bukan
janda), ia perlu dimintai persetujuannya. Disebutkan dalam hadits lain
bahwa seorang wanita berhak menolak jika ia dinikahkan oleh walinya
dengan seorang laki-laki yang tidak ia suka.[1]Artinya,
ijin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau syarat sah bagi
pernikahan tersebut, karena yang menjadi keharusan adalah
keridlaan/kerelaan dari si wanita.
Selain itu, Hanafiyyah juga berhujjah dengan hadits :
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ
الْبُنَانِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ أُمَّ سَلَمَةَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي تَعْنِي شَاهِدًا،
فَقَالَ: " إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلَا
غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ "......
Telah
menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya,
dari Ummu Salamah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melamar
Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya tidak ada seorang pun dari wali-waliku yang
menyaksikannya”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari wali-walimu yang menyaksikannya ataupun tidak menyaksikannya membenci hal itu…..” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/295; dla’iif][2].
Hadits ini menunjukkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan bukanlah satu hal yang wajib.
Akan tetapi, sebagaimana telah dituliskan statusnya, hadits tersebut lemah, tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Ada riwayat yang semisal dari sebagian shahabat :
وخطب المغيرة بن شعبة امرأة هو أولى الناس بها، فأمر رجلا فزوجه
“Al-Mughiirah
bin Syu’bah melamar seorang wanita, dan ia sendiri adalah orang
yang paling dekat (kekerabatannya) dengan wanita tersebut. Lalu ia
memerintahkan seorang laki-laki untuk menikahkannya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secaramu’allaq; namun disambungkan oleh Wakii’ dalam Mushannaf-nya dan Al-Baihaqiy dengan sanad shahih – silakan baca pembahasannya dalam Irwaaul-Ghaliil 6/256-257 no. 1855].
Juga riwayat lain :
وَحَدَّثَنِي،
عَنْ مَالِك، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ،
أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، الْمُنْذِرَ بْنَ
الزُّبَيْرِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ، فَلَمَّا قَدِمَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: وَمِثْلِي يُصْنَعُ هَذَا بِهِ، وَمِثْلِي
يُفْتَاتُ عَلَيْهِ، فَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ، الْمُنْذِرَ بْنَ
الزُّبَيْرِ، فَقَالَ الْمُنْذِرُ: فَإِنَّ ذَلِكَ بِيَدِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: " مَا كُنْتُ لِأَرُدَّ أَمْرًا
قَضَيْتِيهِ "، فَقَرَّتْ حَفْصَةُ عِنْدَ الْمُنْذِرِ، وَلَمْ يَكُنْ
ذَلِكَ طَلَاقًا
Dan
telah menceritakan kepadaku, dari Maalik, dari ‘Abdurrahman bin
Al-Qaasim, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenikahkan
Hafshah bintu ‘Abdirrahmaan dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair yang
saat itu ‘Abdurrahmaan sedang berada di Syaam. Ketika
‘Abdurrahmaan tiba, ia berkata dengan kecewa : “Orang
sepertiku memang pantas diperlakukan seperti ini, dan tidak pantas
dimintai pertimbangan”. Lalu ‘Aaisyah berbicara kepada
Al-Mundzir bin Zubair, lalu Al-Mundzir berkata : “Itu terserah
‘Abdurrahmaan”. ‘Abdurrahmaan berkata : “Aku
tidak akan menolak sesuatu yang telah engkau putuskan”. Maka
Hafshah pun tetap menjadi istri Al-Mundzir, dan perkataannya tidak
dianggap sebagai thalaq” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam
Al-Muwaththa’ no. 1280; shahih].
Riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa telah menikahkan Hafshah dengan Al-Mundzir (tanpa keberadaan wali bagi Hafshah).
2. Madzhab Jumhur Ulama (Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah).
Kontras
dengan pendapat Hanafiyyah, jumhur ulama menganggap pernikahan tersebut
tidak sah. Dalil-dalil yang mereka pakai untuk membangun pendapat ini
antara lain :
Dalil Al-Qur’an.
وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”[QS. An-Nuur : 32].
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” [QS. Al-Baqarah : 221].
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Apabila
kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
makruf” [QS. Al-Baqarah : 232].
Sisi pendalilannya :
Khithab dua ayat pertama ditujukan kepada wali, yaitu : masalah pernikahan diserahkan kepada mereka, bukan kepada si wanita.
Adapun ayat ketiga, Allah ta’ala telah
melarang para wali untuk menghalangi pernikahan seorang wanita dengan
calon suaminya. Tidaklah larangan Allah ini disebutkan kecuali pada
pihak yang memang mempunyai hak untuk melarang (atau memperperbolehkan)
pernikahan seorang wanita. Oleh karena itu, aqad pernikahan menjadi
wewenang seorang wali, bukan si wanita. Makna ini ditunjukkan olehsababun-nuzuul ayat :
وحَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا
سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، " أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ
يَسَارٍ كَانَتْ أُخْتُهُ تَحْتَ رَجُلٍ، فَطَلَّقَهَا، ثُمَّ خَلَّى
عَنْهَا حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، ثُمَّ خَطَبَهَا، فَحَمِيَ مَعْقِلٌ
مِنْ ذَلِكَ أَنَفًا، فَقَالَ: خَلَّى عَنْهَا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا،
ثُمَّ يَخْطُبُهَا، فَحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا
تَعْضُلُوهُنَّ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ، فَتَرَكَ الْحَمِيَّةَ
وَاسْتَقَادَ لِأَمْرِ اللَّهِ "
Dan
telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa : Telah menceritakan
kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : Telah menceritakan kepada
kami Al-Hasan : Bahwasannya Ma’qil bin Yasaar mempunyai saudara
wanita yang menjadi istri seorang laki-laki, yang kemudian ia
menceraikannya. Lalu laki-laki tersebut meninggalkannya hingga habis
masa ‘iddah-nya,
lalu ia berniat melamarnya lagi. Ma’qil pun marah akan hal
tersebut dan berkata : “Ia telah meninggalkannya padahal ia mampu
untuk merujuknya (sebelum masa ‘iddah-nya
habis). Lalu ia ingin melamarnya kembali”. Maka, ia pun
menghalangi antara laki-laki itu dengan saudara wanita untuk rujuk
kembali. Allah pun lalu menurunkan ayat : “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…..” hingga akhir ayat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya
(Ma’qil) dan membacakan ayat itu kepadanya. Ma’qil pun
akhirnya meninggalkan keangkuhannya dan menerima ketentuan Allah”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5331].
Dalil As-Sunnah.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ
أَبِي إِسْحَاق. وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ،
عَنْ أَبِي إِسْحَاق. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي
إِسْحَاق. ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ أَبِي
إِسْحَاق، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
"
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hujr : Telah mengkhabarkan
kepada kami Syariik bin ‘Abdillah, dari Abu Ishaaq. Dan telah
menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Awaanah, dari Abu Ishaaq. Dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Israaiil, dari Abu Ishaaq. Dan
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Ziyaad : Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Yuunus bin Abi Ishaaq,
dari Abu Ishaaq, dari Abu Burdah[3], dari Abu Muusaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1101; shahih].
Sebagian ulama yang mendukung pendapat pertama melemahkan hadits ini dengan alasan Abu Ishaaq As-Sabii’iy, meskipun tsiqah, namun hapalannya berubah pada akhir hayatnya. Namun, alasan ini tidak tepat untuk mendla’ifkan hadits ini.[4]
أَخْبَرَنَا
أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَحْبُوبِيُّ بِمَرْوَ، ثنا
مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذٍ. وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ
الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْجَهْمِ السَّمُرِيُّ،
قَالا: ثنا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوسَى، يَقُولُ: ثنا الزُّهْرِيُّ،
قَالَ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا
أَصَابَهَا، وَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ
لَهُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ahmad
Al-Mahbuubiy di negeri marwi : Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Mu’aadz. Dan telah mengkhabarkan kepada kami
‘Abdurrahmaan bin Hamdaan Al-Jalaab di negeri Hamdaan : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Jahm As-Samuriy; mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim Adl-Dlahhaak
bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata :
Aku mendengar Sulaimaan bin Muusaa[5] berkata
: Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, ia berkata : Aku mendengar
‘Urwah berkata : “Aku mendengar ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda : “Wanita
mana saja yang menikah tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu
baathil, pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil. Akan
tetapi jika ia telah digauli, baginya mahar sebagai ganti apa yang
telah dihalalkan atas kemaluannya. Namun jika mereka berselisih, maka
sulthaan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”
[Diriwayatkan oleh Al-Haakim 2/169, dan ia berkata : “Hadits ini
shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhaan, namun mereka berdua tidak
meriwayatkannya”].[6]
نَا
دَعْلَجُ بْنُ أَحْمَدَ، نَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، وَأَحْمَدُ بْنُ أَبِي
عَوْفٍ، قَالا: نَا مُسْلِمُ بْنُ أَبِي مُسْلِمٍ الْجَرْمِيُّ، نَا
مَخْلَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " لا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلا تُنْكِحُ
الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، إِنَّ الَّتِي تُنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الْبَغِيُّ
"، قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: وَرُبَّمَا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: " هِيَ
الزَّانِيَةُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Dal’aj bin Ahmad : Telah mengkhabarkan
kepada kami Muusaa bin Haaruun dan Ahmad bin Abi ‘Auf, mereka
berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muslim bin Abi Muslim
Al-Jarmiy : telah mengkhabarkan kepada kami Makhlad bin Al-Husain, dari
Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah
seorang wanita menikahkan wanita yang lainnya. Dan jangan pula seorang
wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang wanita yang
menikahkah dirinya sendiri, maka ia adalah pelacur”. Ibnu
Siiriin berkata : “Kadang Abu Hurairah berkata : “Ia adalah
wanita pezina” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruqthniy no. 3540;
shahih].[7]
Dalam riwayat lain terdapat lafadh :
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: كُنَّا نَقُولُ: الَّتِي تَنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الزَّانِيَةُ
“Abu
Hurairah berkata : ‘Kami dulu berkata : ‘Wanita yang
menikahkan dirinya sendiri adalah wanita pezina” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thuusiy dalam Mukhtashar Al-Ahkaam Al-Mustakhraj ‘alaa Jaami’ At-Tirmidziy, no. 996; shahih].
Perkataan
Abu Hurairah ini mengandung pengertian bahwa itulah pemahaman yang
berlaku di kalangan para shahabat. Di antaranya adalah ‘Umar bin
Al-Khaththaabradliyallaahu ‘anhu :
نَا
أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، نَا
ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ
الأَشَجِّ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: " لا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلا بِإِذْنِ
وَلِيِّهَا، أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا، أَوِ السُّلْطَانِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr An-Naisaabuuriy : Telah
mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa : Telah
mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku
‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin Al-Asyaj, bahwasannya ia
mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata : Dari ‘Umar bin
Al-Khaththaab, ia berkata : “Janganlah seorang wanita dinikahi
kecuali dengan ijin dari walinya atau keluarganya yang telah dewasa
atau sulthaan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 3542;
shahih].
Juga ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ وَهُوَ
الأَصَمُّ، أَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، أَنَا أَبُو
أُسَامَةَ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ سُوَيْدٍ يَعْنِي ابْنَ مُقْرِنٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
عَلِيٍّ، قَالَ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، لَا نِكَاحَ إِلا بِإِذْنِ وَلِيٍّ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas, ia adalah Al-Asham :
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah[8],
dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mu’aawiyyah bin
Suwaid, yaitu Ibnu Muqrin, dari ayahnya, dari ‘Aliy, ia berkata :
“Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa ijin dari walinya, maka
pernikahannya itu baathil. Tidak sah pernikahan kecuali dengan ijin
seorang wali” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Ash-Shughraa no.
2480, dan ia berkata : “Sanad riwayat ini shahih. Dan padanya
terdapat keterangan yang menunjukkan kelemahan apa yang diriwayatkan
dari ‘Aliy yang bertentangan dengan hal tersebut”].
Riwayat-riwayat
di atas secara jelas menetapkan kewajiban keberadaan (ijin) wali dalam
pernikahan, dan jika tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut tidak
sah.
Tarjih
Dengan
melihat dalil-dalil yang ada, nampak yang kuat dalam permasalahan ini
adalah pendapat jumhur ulama yang menetapkan kewajiban wali sebagai
syarat sahnya pernikahan. Jika pernikahan tanpa ijin wali, maka
pernikahannya itu baathil alias tidak sah. Keharaman pernikahan tanpa
ijin wali sangat kuat karena disamakan dengan perzinahan.
Adapun jawaban atas pendalilan madzhab Hanafiy adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada penunjukkan dalam QS. Al-Baqarah : 230 atas kebolehan pernikahan tanpa wali, karena ayat tersebut menggunakan lafadh تَنْكِحَ , yang artinya tidak sekedar ‘aqad saja, namun jima’. Ini yang ditunjukkan oleh riwayat :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ
لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ
فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ
أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ
وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid
dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah,
dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia
menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan
‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya
sepertihudbatuts-tsaub (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum
mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali
kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun
merasakan madumu….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1433].
yaitu dengan jima’ (hubungan badan).
2. Pada QS.
Al-Baqarah : 232, juga tidak terdapat petunjuk tentang kebolehan
pernikahan tanpa wali. Larangan menghalangi seorang wanita untuk rujuk
menikah kembali dengan suaminya yang lama justru menunjukkan eksistensi
pihak yang punya wewenang untuk menikahkan – sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya dalam pendapat jumhur.
Seandainya
akad nikah itu sah dengan sendirinya tanpa perlu menengok ijin walinya,
buat apa larangan ditujukan kepada wali agar ia jangan
menghalang-halangi pernikahan kembali si wanita dengan suami lamanya ?.
3. Maksud dari QS.
Al-Baqarah : 234 adalah tidak ada dosa bagi para wali untuk membiarkan
mereka (para wanita) berhias dengan cara yang ma’ruf, bukan
dengan cara yang munkar, setelah ia melakukan ihdad (tidak
berhias/berkabung) karena kematian suaminya; barangkali ada seseorang
yang hendak melamarnya. Oleh karena itu, ayat selanjutnya Allah ta’ala berfirman :
وَلا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ
تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى
يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan
janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum
habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS. Al-Baqarah : 235].
4. Hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1421 dan Ahmad 1/334 maksudnya adalah
bahwa seorang janda memiliki hak penuh untuk menolak atau menerima
lamaran dari seorang laki-laki, dimana wali tidak mempunyai hak apapun
dalam hal tersebut. Beda halnya dengan seorang gadis dimana ia belum
pernah menikah yang sudah barang tentu akan malu mengungkapkannya. Oleh
karena itu, ijinnya (apakah ia mau atau tidak dinikahkan dengan seorang
laki-laki) dengan diamnya.
Adapun kelangsungan dari pernikahan itu sendiri, baik gadis ataupun janda, tetap harus seijin walinya.
5. Hadits yang diriwayatkan Ahmad, 6/295 adalah dla’iif, sehingga tidak perlu diperpanjang pembahasannya.
6. Riwayat
Al-Mughiirah bin Syu’bah, maka ini adalah kasus ketika seorang
laki-laki yang hendak menikahinya itu adalah termasuk walinya. Oleh
karena itu, Al-Bukhaariy meletakkan riwayat itu dalam bab إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ هُوَ الْخَاطِبَ “Apabila si wali itu adalah orang yang melamar”.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وليُّ المرأة التي يحل له نكاحها - وهو ابن العم ، أو المولى ، أو الحاكم ، أو السلطان - إذا أذِنت له أن يتزوجها : فله ذلك
“Wali wanita yang diperbolehkan untuk menikahi wanita tersebut antara lain : anak paman dari pihak ayah, maulaa,
hakim, atau sulthaan. Apabila wanita tersebut mengijinkan laki-laki
tersebut untuk menikahinya, maka ia boleh menikahinya” [Al-Mughniy : http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=4485&idto=4486&bk_no=15&ID=4387].
7. Atsar yang diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1280 dari ‘Aaisyah, maka makna kalimat زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ bukan pada dhahirnya, akan tetapi sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
أن
عائشة زوجت حفصة بنت عبد الرحمن أخيها من المنذر بن الزبير ليس على ظاهره
ولم يرد بقوله زوجت حفصة - والله أعلم - إلا الخطبة والكناية في الصداق
والرضا ونحو ذلك دون العقد بدليل الحديث المأثور عنها أنها كانت إذا حكمت
أمر الخطبة والصداق والرضا قالت أنكحوا واعقدوا فإن النساء لا يعقدن
“Bahwasannya
‘Aaisyah ‘menikahkan’ Hafshah anak perempuan
‘Abdirrahmaan, saudaranya, dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair;
(dipahami) bukan sebagaimana dhahirnya. Perkataan bahwa ‘Aaisyah
‘menikahkan’ Hafshah tidaklah dipalingkan –wallaahu a’lam – kecuali pada makna khithbah (melamar) dan kinaayah terhadapshadaaq (mahar), keridlaan, dan yang semisalnya selain dari ‘aqad pernikahan dengan dalil hadits ma’tsuur yang diriwayatkan darinya (‘Aaisyah) : Bahwasannya apabila ia (‘Aaisyah) menetapkan perkara khithbah,
mahar, dan keridlaan berkata : ‘Nikahkanlah dan buatlah akad
pernikahan, karena para wanita tidak melakukan ‘aqad
pernikahan” [Al-Istidzkaar, 6/32 – Al-Maktabah Asy-Syaamilah].
Ini lebih sesuai, karena ‘Aaisyah sendiri meriwayatkan hadits secara marfu’ tentangbaathil-nya pernikahan wanita tanpa disertai wali, sebagaimana telah lalu.
Wallaahu a’lam.
Itu saja yang dapat saya tuliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
[abul-jauzaa’ – 1432].
[1] Di antaranya hadits :
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ
كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah : Telah
menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad : Telah menceritakan
kepada kami Jariir bin Haazim, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari
Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam dan
menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang.
Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan
pernikahannya atau tidak)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
2096; shahih].
[2] Letak kelemahannya ada pada Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah; namanya : Muhammad. Ia seorang yang majhuul.
Ada yang membela Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah dengan perkataan :
Tidak benar Ibnu Umar bin abi salamah majhul, seperti yang disaksikan oleh abu dawud dan nasai:
ابن عمر بن أبي سلمة قيل: اسمه محمد، وهو مقبول أخرج له أبو داود و النسائي
Perlu kita pertanyakan kepada yang bersangkutan apakah beliau ini mengetahui apa maknamajhuul ?.
Tapi ada baiknya saya ketengahkan apa perkataan ulama tentangnya :
Abu
Haatim berkata : “Aku tidak mengetahuinya”. Adz-Dzahabiy
berkata : “Tidak diketahui”. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul”. Makna maqbuul ini adalah jika ada mutaba’ah, jika tidak, maka dla’iif. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat tanpa menjazmkan lafadh pentsiqahan apapun. Sudah banyak diketahui bahwa Ibnu Hibbaan ini adalah orang yang tasaahul dalam mentautsiq perawi majhuul. Dari data yang dikemukakan Al-Miziiy dalam Tahdziibul-Kamaal, hanya ada satu orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu : Tsaabit Al-Bunaaniy.
Jika demikian, maka benar bahwa status Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah ini adalah majhuul.
[3] Ada yang melemahkan hadits ini dari sisi Abu Burdah dengan perkataannya :
Kelemahan hadits ini ada pada Amir bin Abdullah bin Qais (Abu Burdah), menurut Bukhariy dia banyak salahnya.
Subhaanallaah,….. saya tidak tahu apakah yang bersangkutan benar-benar mengetahui perkataan para ulama tentangnya ataukah tidak.
Abu Burdah namanya adalah ‘Aamir bin ‘Abdillah bin Qais, Abu Burdah bin Abi Muusaa Al-Asy’ariy. Perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Mari kita lihat apa kata para ulama tentangnya :
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. At-Tirmidziy mengatakan : “Tsiqah”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath berkata : “Namanya ‘Aamir bin ‘Abdillah bin Qais Al-Asy’ariy, saudara Abu Bakr bin Abi Muusaa, qaadliy kota Kuufah”. Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq”. Di lain kesempatan ia berkata : “Tsiqah”. Muhammad bin Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak haditsnya”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah”.
Apakah
perawi semacam ini pantas disebut perawi yang lemah sebagaimana pemilik
perkataan di atas ?. Saya pribadi belum tahu sumber perkataan
Al-Bukhaariy yang dinukil oleh pemilik perkataan di atas.
[4]
Tiga orang yang meriwayatkan dari Abu Ishaaq dalam sanad At-Tirmidziy
di atas, yaitu Abu ‘Awaanah, Israaiil, dan Yuunus bin Abi Ishaaq
mendengar pada periode ikhtilathnya. Akan tetapi At-Tirmidziy berkata
tentang Israaiil :
وَإِسْرَائِيلُ هُوَ ثِقَةٌ، ثَبْتٌ فِي أَبِي إِسْحَاق
“Dan Israaiil, ia seorang yang tsiqah lagi tsabt dalam hadits Abu Ishaaq” [Sunan At-Tirmidziy di bawah no. 1102].
Syariik
bin ‘Abdillah dalam sanad hadits tersebut termasuk rawi yang
mendengar riwayat Abu Ishaaq di masa-masa awal sebelum ikhtilath, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalamHadyus-Saariy, hal. 431.
Al-Marwadziy berkata :
شريك حسن الرواية عن أبي إسحاق
“Syariik riwayatnya hasan/baik dari Abu Ishaaq” [As-Suaalaat, no. 24 – melalui perantaraanMausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 2/142].
Mu’aawiyyah bin Shaalih berkata :
سألت
أحمد بن حنبل عن شريك، فقال : كان عاقلا صدوقا محدثا عندي، وكان شديدا على
أهل الريب والبدع، قديم السماع من أبي إسحاق، قبل زهير، و قبل إسرائيل
“Aku
pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang Syariik, lalu ia
menjawab : ‘Ia seorang yang cerdas, jujur, dan ahli hadits di
sisiku. Ia juga seorang yang keras terhadap para penebar keraguan dan ahlul-bida’. Ia termasuk golongan terdahulu dalam penyimakan hadits dari Abu Ishaaq, sebelum Zuhair dan Israaiil” [Adl-Dlu’alaa oleh Al-‘Uqailiy no. 718 - melalui perantaraan Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 2/142].
Oleh
karena itu, dengan adanya empat perawi yang meriwayatkan hadits dari
Abu Ishaaq telah menguatkan satu dengan yang lainnya sehingga kedudukan
hadits tersebut adalah shahih.
Belum
lagi jalur-jalur hadits lain yang sangat banyak yang mengangkat
kedudukan hadits ini pada derajat yang tinggi dalam keshahihannya.
Lihat sebagian jalannya pada artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/hadits-kewajiban-saksi-dalam-pernikahan.html.
[5] Ada yang melemahkan hadits ini dari faktor Sulaimaan bin Muusaa, dengan perkataannya :
Kelemahan hadits yang dari jalan Az-Zuhriy adalah pada Sulaiman bin Musa. Menurut Nasa'i dia bukan orang yang kuat hafalannya
Ini adalah perkataan tanpa faedah. Berikut saya nukil keterangan yang lebih lengkap atas diri Sulaimaan bin Muusaa :
Ibnu ‘Adiy berkata : “Perawi yang faqiih. Telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqaat.
Ia adalah salah seorang ulama dari penduduk negeri Syaam. Ia
meriwayatkan beberapa hadits dimana ia bersendirian yang tidak
diriwayatkan selain dirinya. Ia di sisiku seorang yangtsabt lagi shaduuq”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran, dan dalam hadits-haditsnya terdapat sebagian idlthiraab. Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalanganashhaab Mak-huul yang lebih faqiih dan tsabt darinya”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalamAts-Tsiqaat dan berkata : “Ia seorang yang faqiih lagi wara’”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”.
An-Nasaa’iy berkata : “Salah seorang fuqahaa’, tidak kuat dalam hadits (laisa bil-qawiy fil-hadiits)”. Perlu Pembaca ketahui bahwa perkataan An-Nasaa’iy laisa bil-qawiy berbeda dengan laisa bi-qawiy;
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy – dan
inilah yang tidak dipahami oleh pemilik kalimat di atas. Yang pertama
itu maksudnya adalah tidak berada pada puncak kekuatan hadits,
sedangkan yang kedua maksudnya adalah tidak kuat secara mutlak alias
dla’if. Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
وقد
قيل في جَمَاعاتٍ : ليس بالقويِّ ، واحتُجَّ به . وهذا النَّسائيُّ قد قال
في عِدَّةٍ : ليس بالقويّ ، ويُخرِجُ لهم في (( كتابه )) ، قال : قولُنا :
(ليس بالقوي ) ليس بجَرْحٍ مُفْسِد .
“Telah dikatakan tentang sekelompok (perawi) : ‘Laisa bil-qawiy’,
namun ia tetap digunakan sebagai hujjah’. An-Nasa’i telah
berkata mengenai sejumlah perawi yang dihukumi denganlaisa bil-qawiy dan ia masukkan dalam kitabnya (As-Sunan) : ‘Perkataan kami mengenai‘laisa bil-qawiy’ adalah tidak memberikan jarh yang merusakkan (kedudukannya)’ [Al-Muuqidhah fii ‘Ilmi Musthalahil-Hadiits, hal. 82].
Az-Zuhriy berkata : “Ia lebih hapal dari Mak-huul”. Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir berkata : “Ia mempunyai beberapa riwayat munkar (‘indahu manaakiir)”. Dalam Al-Ausath, ia berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits ‘ajaaib”. At-Tirmidziy menukila darinya dalam kitab Al-‘Ilal : “Munkarul-hadiits”.
Ad-Daaruqthniy berkata : “Termasuk di antara orang-orang tsiqaat”. Duhaim Ad-Dimasyqiy berkata : “Tsiqah”. Di lain kesempatan ia berkata : “Ia paling tsiqah di antara ashhaab Mak-huul”.
Dikatakan kepadanya : “Sulaimaan bin Muusaa di atas Yaziid bin
Yaziid ?”. Ia (Duhaim) berkata : “Benar, ia didahulukan di
antara ashhaab Mak-huul”.
As-Saajiy berkata : “Ia mempunyai riwayat-riwayat munkar”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqahdalam hadits Az-Zuhriy”. Di lain kesempatan ia berkata : “Tsiqah, dan haditsnya shahih di sisi kami”. Muhammad bin Sa’d berkata : “Tsiqah”.
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Sedikit berubah hapalnnya
menjelang wafatnya”. Di lain kesempatan ia berkata : “Math’uun fiih”.
‘Athaa’
bin Abi Rabbaah berkata : “Sayyidnya pemuda penduduk negeri
Syaam”. Ibnu Juraij berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits munkar,
dan ia termasuk orang yang mempunyai keutamaan”. Ibnu
Lahii’ah Al-Mishriy berkata : “Aku tidak pernah bertemu
orang yang semisal dengannya”. Sa’iid bin
‘Abdil-‘Aziiz At-Tanuukhiy berkata : “Orang yang
paling mengetahui dari kalangan penduduk Syaam setelah Mak-huul”.
Al-Haitsamiy berkata : “Tsiqah”. Al-Mizziy berkata : “Penduuk Syaam yang faqiih di jamannya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Salah seorang di antara para imam”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq lagi faqiih,
dalam haditsnya ada sebagian kelemahan. Sedikit bercampur hapalannya
sebelum wafatnya”. Al-Albaaniy berkata : “Orang sepertinya
adalah hasan haditsnya, shahih dalam syawaahid dan mutaaba’aat”. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Faqiih, shaduuq, hasanul-hadiits”.
Muslim meriwayatkan haditsnya dalam Muqaddimah kitab Shahih-nya.
Jika melihat jarh dan ta’dil dari
para imam di atas, apakah kita akan memutlakkan kedla’ifan
sebagaimana pemilik perkataan (dimana beliau ini salah paham atas
perkataan An-Nasaa’iy) ?. Beberapa ulama yang mengkritiknya
adalah dikarenakan ia mempunyai beberapa riwayat munkar,
yaitu yang ia bersendirian dalam periwayatan. Namun dalam hadits ini,
Sulaimaan tidaklah sendirian dalam periwayatan hadits dari Az-Zuhriy,
namun ia mempunyai mutaba’aat.
Dan yang perlu dicatat adalah bahwa Ibnu Ma’iin menegaskan secara
khusus riwayatnya yang berasal dari Az-Zuhriy adalah shahih.
Walhasil, Sulaimaan bin Muusaa ini adalah seorang yang shaduuq lagi faqiih dan hasan haditsnya. Riwayatnya secara khusus dari Az-Zuhriy adalah shahih menurut Ibnu Ma’iin.
[6] Sebagian ahli hadits ada yang mencacat riwayat ini. Ahmad (6/47), Al-Bukhaariy (Ash-Shaghiir,
1/53), dan yang lainnya membawakan perkataan Ibnu Juraij yang terkait
dengan hadits ini : “Aku (Ibnu Juraij) pun menemui Az-Zuhriy,
lalu aku tanyakan tentang hadits ini. Namun ia tidak
mengetahuinya”.
Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab berkata : “Mereka (yaitu :
sebagian ulama) mendlaifkannya dengan sebab ini” [Majmuu’atul-Hadiits, 4/115].
Namun
itu adalah kekeliruan Az-Zuhriy dimana ia lupa akan riwayat tersebut.
Hal ini sebagaimana keterangan yang dibawakan Ibnu ‘Adiy :
Berkata Ibnu Juraij : “Aku pun menemui Az-Zuhriy, lalu aku
tanyakan tentang hadits itu. Namun ia tidak mengetahuinya. Aku katakan
kepadanya : ‘Sesungguhnya Sulaimaan bin Muusaa telah menceritakan
kepada kami hadits itu darimu’. Lalu ia mengetahui/mengenali diri
Sulaimaan dan menyebutkan keadaan dirinya yang baik, dan berkata :
‘Aku khawatir terjadi kekeliruan (lupa) pada diriku” [Al-Kaamil, 3/266].
Ibnul-Jauziy
berkata : “Jika telah shahih hadits ini dari Az-Zuhriy, maka ia
telah lupa darinya. Hal itu tidak menunjukkan celaan kepada Sulaimaan,
karena ia seorang yangtsiqah. Namun menunjukkan bahwa ia
(Az-Zuhriy) telah lupa tentang hadits ini. Telah diriwayatkan hadits
ini darinya oleh Ja’far bin Rabii’ah, Qurrah bin
‘Abdirrahman, dan Ibnu Ishaaq. Sehingga menunjukkan keshahihan
hadits ini. Manusia itu kadang mengatakan sesuatu dan kemudian
lupa” [At-Tahqiiq, 2/256 no. 1685].
Tentang diri Sulaimaan bin Muusaa, ia telah di-tsiqah-kan
oleh ‘Atha’ bin Abi Rabbaah, Az-Zuhriy, Duhaim, Ibnu
Ma’iin, Ibnu ‘Adiy, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hibban. Di
akhir hidupnya, hapalannya sedikit tercampur/berubah sebagaimana
dikatakan Al-‘Uqailiy [lihat Tahdziibut-Tahdziib, 4/227].
Yang lebih meyakinkan bahwa Sulaimaan bin Muusaa benar-benar telah meriwayatkan dari Az-Zuhriy, maka ia (Sulaiman) mempunyai mutaba’at periwayatan dari Az-Zuhriy sebagai berikut :
a. Al-Hajjaaj bin Arthaah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah (no. 1880), Abu Ya’laa (no. 2507 & 4906), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (7/106), Ibnu Abi Syaibah (4/130), Ahmad (6/260), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (19/87), dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (3/7); dari beberapa jalan, dari Hajjaaj bin Arthaah, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
لا نكاح إلا بولي ، والسلطان ولي من لا ولي له
“Tidak sah penikahan kecuali dengan adanya wali. Dan sulthaan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.
Al-Hajjaaj adalah seorang yang jujur, namun banyak melakukan kekeliruan dan tadliis[lihat At-Taqriib, hal. 222 no. 1127]; serta tidak pernah mendengar riwayat dari Az-Zuhriy [Taariikh Baghdaad, 9/139].
b. Ja’far bin Rabii’ah.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2084, Ahmad (6/66), Abu Ya’laa (no. 4837), Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (3/7), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (7/106), dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (19/87);
dari beberapa jalan, dari Ibnu Lahii’ah, dari Ja’far bin
Rabii’ah, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Urwah bin Az-Zubair,
dari ‘Aisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أيما امرأة نكحت بغير أذن وليها فنكاحها باطل فان أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وان اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Wanita
mana saja yang menikah tanpa ijin dari walinya, maka nikahnya baathil.
Jika seorang laki-laki telah mencampurinya, maka wajib baginya membayar
mahar untuk kehormatan yang telah dilakukan pada farjinya. Dan bila
mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak
mempunyai wali”.
Ibnu Lahii’ah adalah seorang perawi dla’iif, sedangkan Ja’far tsiqah.
Selain itu, Abu Dawud berkata : “Ja’far tidak pernah
mendengar riwayat dari Az-Zuhriy. Ia (Az-Zuhriy) menulis riwayat
kepadanya” [As-Sunan, no. 2084].
c. ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (3/7)
: Telah menceritakan kepada kami Rabii’ Al-Jiiziy, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Abul-Aswad, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari ‘Ubaidullah
bin Abi Ja’far, dari Ibnu Syihab, dan seterusnya sebagaimana
sanad sebelumnya.
Ibnu Lahii’ah adalah perawi lemah sebagaimana disebutkan sebelumnya.
d. Ayyuub bin Muusaa.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (4/1516)
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Aliy : Telah
menceritakan kepadaku Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Shaalih : Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Furuuj, dari Ayyuub bin Muusaa, dari
Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, ia berkata : Telah
bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali”.
e. Qurrah bin Haiwaiil.
Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal (5/lembar
115), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Nashr, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ayyuub
Al-‘Allaaf Al-Mishriy dan Ahmad bin Hamaad, mereka berdua berkata
: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Rusydiin bin Sa’d, dari Qurrah, dari
Az-Zuhriy, selanjutnya seperti sanad sebelumnya.
f. Dan yang lainnya.
Az-Zuhriy juga mempunyai dua mutaba’aah, yaitu :
a. Hisyaam bin ‘Urwah.
Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa (no. 4682 & 4749), Abu Nu’aim dalam Akhbaaru Ashbahaan(2/30 & 2/239), dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (2/360 & 6/376) tanpa tambahan lafadh‘dua orang saksi’.
Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (7/85 no. 6927), Ad-Daaruquthniy (4/321 no. 3529 & 4/324-325 no. 3534), dan Al-Khathib dalam Taariikh Baghdaad (14/50) dengan menyebutkan tambahan lafadh ‘dua orang saksi’. Namun riwayat ini tidak shahih.
Dalam
sanad Ath-Thabaraaniy terdapat Muhammad bin ‘Aliy bin Habiib yang
tidak diketemukan biografinya, sedangkan ‘Aliy bin Jamiil
Ar-Raqiy tertuduh memalsukan hadits [lihat Takhriij Majma’il-Bahrain, 4/167 dan Miizaanul-I’tidaal 3/117]. Sanad Ad-Daaruquthniy (no. 3529), Abul-Khashiib adalah perawi majhuul –
sebagaimana dikatakan sendiri oleh Ad-Daaruquthniy; dan dalam sanad
yang lain (no. 3534), Muhammad bin Yaziid bin Sinaan dan ayahnya adalah
lemah [lihat Nashbur-Raayah, 8/322]. Adapun sanad Al-Khathiib, Nuh bin Darraaj adalah matruuk.
Ad-Daaruquthniy
menyebutkan beberapa jalan lain, dan berkata : “Begitu pula
diriwayatkan oleh Sa’iid bin Khaalid bin ‘Abdillah bin
‘Amr bin ‘Utsmaan, Yaziid bin Sinaan, Nuuh bin Darraaj, dan
‘Abdullah bin Hakiim Abu Bakr; dari Hisyaam bin ‘Urwah,
dari ayahnya, dari ‘Aaisyah. Mereka semua mengatakan dalam
riwayat tersebut (tambahan lafadh) : ‘dan dua orang saksi yang ‘adil’. Begitu pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa” [As-Sunan, 4/323].
Yaziid
bin Sinaan dan Nuuh bin Darraaj telah berlalu penjelasannya.
‘Abdullah bin Hakiim adalah perawi yang sangat lemah [lihat Liisaanul-Miizaan 4/464-466 no. 4208]. Sedangkan Sa’iid bin Khaalid adalah seorang yang tsiqah, namun dari beberapa penelitian yang dilakukan muhaqqiqiin belum ditemukan periwayatannya sebagaimana dimaksudkan oleh Ad-Daaruqthniy.
b. Abul-Ghusn Tsaabit bin Qais.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (3/16) dan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal(5/lembar 120) tanpa ada tambahan lafadh ‘dua orang saksi’.
‘Urwah bin Az-Zubair juga mempunyai dua mutaba’ah dalam periwayatan dari ‘Aaisyah, yaitu :
a. ‘Abdullah bin Syadaad bin Al-Haad; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (2/26).
b. Al-Qaasim bin Muhammad; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil(6/456).
Keduanya dari ‘Aisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan keberadaan wali”.
Walhasil, riwayat ini shahih tanpa ada keraguan.
[7] Diriwayatkan pula secara mauquf dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
نَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، نَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ زَاجٌ، أنا
النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، أنا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنِ ابْنِ
سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " لا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ
الْمَرْأَةَ، وَلا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، وَالزَّانِيَةُ هِيَ
الَّتِي تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذَنْ وَلِيِّهَا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah mengkhabarkan
kepada kami Ahmad bin Manshuur, Zaaj : Telah memberitakan kepada kami
An-Nadlr bin Syumail : Telah memberitakan kepada kami Hisyaam bin
Hassaan, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata :
“Janganlah seorang wanita menikahkan wanita lainnya, jangan pula
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Seorang wanita pezina adalah
orang yang menikahkan dirinya sendiri tanpa ijin dari walinya”
[Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 3539; shahih].
Baik yang marfuu’ maupun mauquf adalah shahih.
[8] Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy, seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang berbuat tadlis. Ibnu Hajar meletakkannya dalam thabaqah kedua dalamThabaqaatul-Mudallisiin.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2011/05/menikah-tanpa-wali.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2011/05/menikah-tanpa-wali.html