Oleh
Al-Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Al-Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
KECINTAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH KEPADA SELURUH
SAHABAT
Di antara prinsip dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah mencintai, loyal, dan memohon keridhaan dan ampunan untuk seluruh Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara prinsip dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah mencintai, loyal, dan memohon keridhaan dan ampunan untuk seluruh Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allâh ridha kepada mereka dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At-Taubah/9:100]
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdo’a, ‘Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr/59:10]
Sebagaimana Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa mereka (para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih utama dibanding orang-orang yang datang
setelah mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat),
kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut
Tabi’in).[1]
Sebagai konsekuensinya, maka Ahlus Sunnah berlepas diri dari setiap orang
yang menghina atau melecehkan para Sahabat, baik dari kalangan orang-orang
Râfidhah (Syi’ah) atau an-Nawâshib (orang-orang yang menyakiti Ahlul Bait).
Prinsip dasar Ahlus Sunnah ini –yaitu mencintai para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam – berlandaskan dalil-dalil al-Qur’ân dan
as-Sunnah yang menuntut cinta dan berwala’ (loyal) kepada mereka.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) wali (berkasih sayang, menjadi penolong) bagi sebagian yang lain…”
[At-Taubah: 71]
Imam Abu Nu’aim rahimahullah (wafat th. 430 H) berkata, “Maka menahan lisan
dari membicarakan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
menyebutkan kesalahan mereka, (dan berusaha) menyebarkan kebaikan dan
keutamaan-keutamaan mereka, dan membawa segala urusan mereka kepada sisi atau
makna yang terbaik merupakan ciri orang-orang yang beriman yang mengikuti jejak
mereka dengan baik.[2]
MENGIKUTI TUNTUTAN NASH DALAM MENENTUKAN KEDUDUKAN
SAHABAT DAN MENETAPKAN KEUTAMAAN MEREKA
Metode Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah dalam menetapkan dan menjelaskan setiap permasalahan-permasalahan pokok dalam agama ini, dengan berlandaskan kepada nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah. Serta mengamalkan tuntunan dari nash tersebut sesuai dengan pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum , dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Ulama salafus shâlih yang Allâh Azza wa Jalla berikan cahaya dan petunjuk kepada hati mereka untuk mengikuti al-Qur’ân dan as-Sunnah.
Metode Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah dalam menetapkan dan menjelaskan setiap permasalahan-permasalahan pokok dalam agama ini, dengan berlandaskan kepada nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah. Serta mengamalkan tuntunan dari nash tersebut sesuai dengan pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum , dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Ulama salafus shâlih yang Allâh Azza wa Jalla berikan cahaya dan petunjuk kepada hati mereka untuk mengikuti al-Qur’ân dan as-Sunnah.
Di antara prinsip pokok tersebut adalah sikap Ahlus Sunnah terhadap
keutamaan dan kedudukan para Sahabat Radhiyallahu anhum . Ahlus Sunnah
senantiasa mengikuti nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah dalam hal ini. Ini
berbeda dengan orang-orang yang sesat yang berani mencela, menghina para
Sahabat.
Penjelasan Tentang Tingkatan Keutamaan Para Sahabat Menurut Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah Yang Berdasarkan Nash Al-Qur’ân Dan As-Sunnah :
Sahabat yang paling mulia secara mutlak adalah Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu anhu , kemudian ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , kemudian
‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, kemudian Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu
anhu .
Kemudian setelah itu Ahlus Syûra[3] yang lainnya, kemudian sepuluh orang
yang dijamin masuk Surga[4] , kemudian yang ikut perang Badr dari kalangan
Muhâjirîn, kemudian yang menyaksikan perang Badr dari kalangan Anshâr, dan
orang-orang yang berbai’at kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah
pohon.
لاَ يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
Tidak akan masuk Neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon[5]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْـحُدَيْبِيَّةَ
Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut dalam
Perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah.[6]
Kemudian mereka yang hijrah dan yang ikut berperang sebelum al-Fath (perdamaian Hudaibiyyah) lebih tinggi derajatnya daripada orang yang menafkahkan hartanya dan ikut berperang setelah itu, dan masing-masing telah Allâh janjikan kebaikan (pahala).[7]
Kemudian mereka yang hijrah dan yang ikut berperang sebelum al-Fath (perdamaian Hudaibiyyah) lebih tinggi derajatnya daripada orang yang menafkahkan hartanya dan ikut berperang setelah itu, dan masing-masing telah Allâh janjikan kebaikan (pahala).[7]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allâh,
padahal Allâh-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi. Tidak sama di
antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan
(Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sesudah itu. Allâh menjanjikan kepada masing-masing
mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[Al-Hadîd/57:10]
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sungguh, Allâh telah meridhai orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam
hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
dengan kemenangan yang dekat. [Al-Fath/48:18]
Adapun pengutamaan Ahlus Sunnah terhadap Abu Bakar Radhiyallahu anhu
kemudian Umar Radhiyallahu anhu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
اِقْتَدَوْا بِالَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِيْ : أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
Ikutilah dua orang yang hidup sesudahku, (yaitu): Abu Bakar dan ‘Umar.[8]
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -dalam suatu
perjalanan- beliau bersabda tentang urusan manusia :
…فَإِنْ يُطِيْعُوْا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوْا…
“…Jika mereka mentaati Abu Bakar dan Umar niscaya mereka mendapat
petunjuk…”[9]
Umat Islam juga telah sepakat dalam mendahulukan mereka (Abu Bakar dan
Umar) berdua karena memiliki banyak keutamaan, sebagaimana telah dipersaksikan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat setelah Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata,
“Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah sungguh telah sepakat berdasarkan apa yang telah
dinukilkan secara mutawatir dari Amîrul Mukminin Ali bin Abi Thâlib
Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Orang yang terbaik dari kalangan umat ini
setelah Nabinya adalah Abu Bakar kemudian ‘Umar Radhiyallahu anhuma.[10]
Adapun keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu anhu menurut Ahlus Sunnah
berdasarkan keutamaan-keutamaan khusus yang beliau miliki dan tidak dimiliki
oleh selain beliau, diantaranya adalah keutamaan yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari hadits Amru bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu , bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beliau sebagai amir pasukan perang
Dzâtus Salâsil , beliau (Amru bin al-‘Ash) berkata, “Lalu saya datang kepada
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Siapakah orang yang paling
kamu cintai?” Beliau menjawab, ‘Aisyâh’, saya bertanya lagi, “Dari laki-laki?” Beliau
menjawab, ‘Bapaknya (Abu Bakar)’, Saya bertanya lagi, “Kemudian siapa ?” Beliau
menjawab, ‘Umar bin Khaththab’, Kemudian beliau menyebut nama-nama yang
lain.”[11]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…إِنَّ مِنْ أَمَنَّ النَّاسَ عَلَيَّ فِيْ صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُوْ بَكْرٍ ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلاً غَيْرَ رَبِّيْ لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ ، وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلاَمِ وَمَوَدَّتُهُ ، لاَ يَبْقَيَنَّ فِيْ الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلاَّ سُدَّ إِلاَّ بَابَ أَبِيْ بَكْرٍ.
Sesungguhnya orang yang paling terpercaya bagiku dalam persahabatan dan
harta adalah Abu Bakar, seandainya aku mengambil seorang sebagai khalil
(kekasih) selain Allâh tentu aku akan mengambil Abu Bakar, akan tetapi hanya
persaudaraan dan kasih sayang (dalam) Islam, jangan dibiarkan ada di dalam
masjid (masjid Nabawi) satu pintu pun kecuali ditutup kecuali pintu Abu
Bakar.[12]
Tentang keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu anhu , kemudian Umar Radhiyallahu
anhu kemudian Utsmân Radhiyallahu anhu , Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241
H) berkata, “Yang terbaik dari kalangan umat ini sesudah Nabi-Nya adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin Khaththab, kemudian ‘Utsmân bin ‘Affân.
Kita mendahulukan mereka bertiga sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat.
Mereka tidak berselisih pendapat dalam hal itu, dan kita berpendapat sesuai
dengan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , yaitu, “Kami mengatakan –sedang
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan para Sahabatnya masih
banyak-, “Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam.”
Hal senada dikatakan oleh Ali al-Madîni rahimahullah (wafat th. 234 H)[14]
WAJIBNYA MENAHAN LISAN (TIDAK IKUT CAMPUR) DALAM
PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA SAHABAT رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْن
Di antara prinsip dasar yang dijelaskan oleh Ulama salaf dan yang diikuti oleh para imam yang datang sesudah mereka serta yang dipegang oleh seluruh Ahlus Sunnah adalah kewajiban menahan lisan (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat –semoga Allâh meridhai mereka semua-, mendoakan mereka kerahmatan bagi mereka, mencintai dan tidak menyebut mereka kecuali dengan pujian yang baik lagi indah, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’ân, as-Sunnah, dan perkataan salaf dan para Ulama yang datang sesudah mereka.
Di antara prinsip dasar yang dijelaskan oleh Ulama salaf dan yang diikuti oleh para imam yang datang sesudah mereka serta yang dipegang oleh seluruh Ahlus Sunnah adalah kewajiban menahan lisan (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat –semoga Allâh meridhai mereka semua-, mendoakan mereka kerahmatan bagi mereka, mencintai dan tidak menyebut mereka kecuali dengan pujian yang baik lagi indah, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’ân, as-Sunnah, dan perkataan salaf dan para Ulama yang datang sesudah mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah bersikap
menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para Sahabat Radhiyallahu
anhum . Mereka mengatakan bahwa riwayat-riwayat tentang hal kejelekan yang
terjadi di antara mereka ada yang dusta (bohong), ada yang ditambah, ada yang
dikurangi, serta ada juga yang diselewengkan dari yang sebenarnya. Sedangkan
dalam riwayat yang shahih, mereka dimaafkan karena mereka adalah orang-orang
yang berijtihad yang bisa benar dan bisa pula salah. Meskipun demikian, Ahlus
Sunnah tidak mempunyai keyakinan bahwa setiap individu para Sahabat itu ma’shûm
(terpelihara) dari dosa besar atau dosa kecil, bahkan bisa saja mereka itu
mempunyai dosa-dosa, tetapi mereka itu memiliki kelebihan (keutamaan), yaitu
lebih dulu beriman dan memiliki keutamaan yang banyak yang dapat menghapuskan
dosa-dosa mereka -kalau pun hal itu ada- sehingga mereka diberikan ampunan atas
kesalahan-kesalahan mereka, yang tidak diberikan kepada orang-orang sesudahnya.
Dalam hadits shahih, Rasûlullâh bersabda :
لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ.
Janganlah kamu mencaci-maki Sahabatku, demi Dzat yang diriku berada di
tangan-Nya, jika seandainya salah seorang dari kalian infaq sebesar gunung Uhud
berupa emas, maka belum mencapai nilai infaq mereka meskipun (mereka infaq
hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.”[15]
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan :
لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابَ مُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَقَامُ أَحَدِهِمْ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عَمَلِ أَحَدِكُمْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً
Janganlah kalian mencaci-maki para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sungguh, berdirinya mereka sesaat bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih baik daripada ibadah salah seorang kalian selama empat
puluh tahun.[16]
Dalam riwayat lain disebutkan, “…lebih baik daripada ibadah seorang dari
kalian sepanjang hidupnya.[17]
Perkara-perkara ini, apabila dibandingkan dengan kesalahan mereka, maka
kesalahan-kesalahan itu akan hapus dengan kebaikan yang sekian banyak, dan
tidak ada seorang pun yang menyamai mereka Radhiyallahu anhum.
Sesungguhnya kadar yang diingkari dari perbuatan mereka (yang tidak
menyenangkan) sangat sedikit sekali, lagi pula dapat terampuni jika
dibandingkan dengan keutamaan dan kebaikan-kebaikan mereka.
Siapa pun yang memperhatikan dengan ilmu dan benar akan sirah (perjalanan
hidup) para Sahabat serta keistimewaan-keistimewaan yang dikaruniakan Allâh
kepada mereka, maka ia akan tahu bahwa para Sahabat adalah sebaik-baik manusia
sesudah para Nabi, yang tidak pernah ada sebelumnya dan tidak akan ada lagi
yang seperti mereka. Mereka adalah orang-orang pilihan dari generasi umat ini.
Mereka adalah sebaik-baik umat yang dimuliakan oleh Allâh Azza wa Jalla .[18]
Mudah-mudahan Allâh meridhai mereka semuanya.
Dari ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tatkala beliau ditanya tentang
perang (Shiffin) dan perang Jamal, beliau rahimahullah menjawab, “Itu adalah
pertumpahan darah yang Allâh Azza wa Jalla selamatkan tanganku dari
keterlibatan, maka aku tidak suka melibatkan lisanku dalam kejadian
tersebut.”[19]
Imam Ahmad rahimahullah ketika ditanya tentang (perang Shiffin) yang
terjadi antara Ali Radhiyallahu anhu dan Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu , beliau t
menjawab, “Aku tidak berkata tentang mereka kecuali kebaikan.”[20]
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullah tentang apa
yang terjadi antara Ali Radhiyallahu anhu dan Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu, lalu
Imam Ahmad membacakan ayat :
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu
apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang
apa yang telah mereka kerjakan. [Al-Baqarah/2:141] [21]
Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah (wafat th. 324 H) berkata, “Adapun
yang terjadi antara Ali dan Az-Zubair bersama Aisyah g hanya berdasarkan takwil
dan ijtihad. Ali Radhiyallahu anhu adalah seorang imam dan semua mereka adalah
ahlul ijtihâd (orang yang berhak berijtihad) dan semuanya telah dipersaksikan
oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk Surga. Ini menunjukkan
bahwa mereka semuanya benar dalam ijtihad tersebut.
Begitu juga yang terjadi antara Ali Radhiyallahu anhu dan Mu’âwiyah
Radhiyallahu anhu berdasarkan takwil dan ijtihad, dan seluruh Sahabat adalah
para imam yang terpercaya (jujur) tidak diragukan agama mereka. Allâh dan
Rasul-Nya telah memuji mereka secara keseluruhan, dan memerintahkan kita untuk
menghormati, memuliakan, dan mencintai mereka dan berlepas diri dari setiap
orang yang mencela salah seorang dari mereka Radhiyallahu anhum.[22]
Dan Imam al-Muzani rahimahullah (wafat th. 264 H) -tatkala menjelaskan
aqidah Ahlus Sunnah tentang sahabat- beliau berkata, “Disampaikan keutamaan
mereka serta disebutkan dengan amalan-amalan mereka yang baik, dan kita menahan
(lisan) dari ikut campur dalam perselisihan yang terjadi antara mereka. Karena
mereka adalah manusia terbaik sesudah Nabi mereka. Allâh Azza wa Jalla telah
meridhai mereka sebagai sahabat Nabi-Nya, serta menciptakan mereka sebagai
penolong atau pejuang agama-Nya. Mereka adalah para imam dalam agama ini dan
para Ulama kaum Muslimin –semoga Allâh meridhai mereka seluruhnya-.”[23]
Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat th. 329 H) berkata, “Apabila kamu
melihat seseorang mencela salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka ketahuilah bahwa ia adalah orang yang memiliki perkataan jelek dan
(pengikut) hawa nafsu, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِيْ فَأَمْسِكُوْا
Apabila disebut para sahabatku maka tahanlah (lisan) kalian.[24]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kesalahan yang
akan muncul dari mereka sesudah beliau wafat[25] , akan tetapi Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan tentang mereka kecuali
kebaikan.[26]
Imam Ibnu Baththah rahimahullah (wafat th. 387 H) dalam menjelaskan aqidah
Ahlus Sunnah berkata, “Dan sesudah itu kita menahan lisan tentang perselisihan
yang terjadi antara Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (karena)
mereka telah ikut dalam peperangan bersama beliau, dan lebih awal meraih
kemuliaan. Sungguh Allâh telah mengampunkan (dosa) mereka dan memerintahkan
kamu untuk istighfâr (memohon ampunan kepada Allâh) bagi mereka serta
mendekatkan diri kepada Allâh dengan mencintai mereka. Hal itu telah diwajibkan
oleh Allâh lewat lisan Nabi-Nya sedang ia mengetahui apa (kesalahan) yang akan
muncul dari mereka dan akan terjadi peperangan di antara mereka.”[27]
Imam Abu Utsmân ash-Shabûni rahimahullah (wafat th. 449 H) berkata, “Mereka
meyakini (wajibnya) menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara
Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan membersihkan lisan dari
membicarakan sesuatu yang mengandung tudingan dan celaan terhadap mereka.
Mereka (salaf) meyakini (wajibnya) memohon rahmat buat seluruh para Sahabat dan
mencintai mereka.”[28]
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (wafat th. 620 H) berkata, “Di antara sunnah
adalah berwala’ (setia) kepada Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mencintai mereka, menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, meminta rahmat dan
ampunan untuk mereka, menahan lisan dari menyebut kesalahan dan perselisihan
yang terjadi antara mereka dan meyakini keutamaan mereka serta mengetahui bahwa
mereka orang yang lebih dahulu (dalam meraih keutamaan dan memperjuangkan
agama).”[29]
Orang-orang Syi’ah dan lainnya yang mencela dan mencaci-maki para Sahabat,
pada hakikatnya, mereka adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Mereka
telah menyimpang sangat jauh dari agama Islam yang lurus. Mereka adalah
orang-orang zindiq (munafik) seperti perkataan Imam Abu Zur’ah ar-Râzi
rahimahullah. Keyakinan mereka (Syi’ah) yang sesat yang mencela bahkan
mengkafirkan para Sahabat Radhiyallahu anhum , berarti mereka:
1. Telah mendustakan al-Qur’ân yang telah memuji para
Sahabat Radhiyallahu anhum dalam puluhan ayat al-Qur’ân.
2. Telah menuduh Allâh Azza wa Jalla tidak memilih untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang dapat menjaga agama Islam.
3. Telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal dalam mendidik dan membina para Sahabatnya.
4. Membatalkan semua riwayat yang disampaikan oleh para sahabat.
5. Membatalkan al-Qur’ân dan as-Sunnah, karena yang menyampaikan al-Qur’ân dan as-Sunnah adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum , dan lainnya.[30]
2. Telah menuduh Allâh Azza wa Jalla tidak memilih untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang dapat menjaga agama Islam.
3. Telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal dalam mendidik dan membina para Sahabatnya.
4. Membatalkan semua riwayat yang disampaikan oleh para sahabat.
5. Membatalkan al-Qur’ân dan as-Sunnah, karena yang menyampaikan al-Qur’ân dan as-Sunnah adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum , dan lainnya.[30]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun
XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu
[2]. Al-Imâmah war Raddu ‘ala ar-Râfidhah (hlm. 373).
[3]. Yaitu mereka yang diwasiatkan oleh ‘Umar z untuk memilih khalifah sepeninggal beliau. Mereka adalah: 1. ‘Utsmân bin ‘Affân, 2. Ali bin Abi Thâlib, 3. Zubair bin Awwam, 4. ‘Abdurrahman bin ‘Auf, 5. Sa’ad bin Abi Waqqâsh, 6. Thalhah bin ‘Ubaidillâh Radhiyallahu anhum
[4]. Mereka adalah khalifah yang empat dan Ahlus Syûra. Sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk Surga oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
• Abu Bakar ash-Shiddiq, • Az-Zubair bin ‘Awwâm,
• ‘Umar bin al-Khaththab, • Sa’ad bin Abi Waqqâsh,
• ‘Utsmân bin ‘Affân, • Sa’id bin Zaid,
• ‘Ali bin Abi Thâlib, • Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, dan
• ‘Abdurrahman bin ‘Auf, • Thalhah bin ‘Ubaidillah, Radhiyallahu anhum
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud (no. 4649-4650), at-Tirmidzi (no. 3748, 3757), Ibnu Mâjah (no. 133, 134), Ahmad 9I/187, 188, 189), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1428, 1431, 1433, dan 1436), dan al-Hakim (IV/440). Lihat juga Taisîr al-Karîmir Rahmân Fii Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 909), cet. Maktabah Ma’arif, 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Ahmad (III/350), Abu Dâwud (no. 4653), at-Tirmidzi (no. 3860), dari shahabat Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu . At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’is Shaghîr (no. 7680).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (III/396), dari Shahabat Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhuma. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2160).
[7]. Lihat: Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah (I/179), Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (hlm. 53-55, no. 25) tahqiq Ahmad Abdurrahman al-Jumaiji, Syarh an-Nawawi terhadap Shahîh Muslim (XV/148), dan al-Ba’its al-Hatsîts Ibnu Katsir (II/501-505) ta’liq Syaikh al-Albani.
[8]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3662), Ibnu Mâjah (no. 97), Ahmad (V/382) atau (no. 23245) dan Al-Hâkim (III/75), dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih karena ada beberapa penguatnya. Lihat Hidâyatur Ruwâh (no. 6006).
[9]. Shahih: HR. Muslim (no. 681), dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu
[10]. Majmû’ Fatâwâ (III/153).
[11]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3662) dan Muslim (no. 2384).
[12]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 466 dan 3654) dan Muslim (no. 2382) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[13]. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (I/179), dan atsar Ibnu ‘Umar dikeluarkan Imam Ahmad dalam al-Musnad (II/14) atau (no. 4626).
[14]. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (I/187).
[15]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3673), Muslim (no. 2541), Abu Dawud (no. 4658), at-Tirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 988), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri z .. Lihat Fat-hul Bâri (VII/34-36).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadhâ-ilush Shahâbah (no. 20) dan Ibnu Abi ‘Âshim (no. 1006). Lihat Syarah ‘Aqîdah Thahâwiyah (hal. 469) takhrij Syaikh al-Albani.
[17]. Fadhâ-ilush Shahâbah (no. 15) karya Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq dan takhrij Washiyyullah bin Muhammad ‘Abbas.
[18]. Lihat at-Tanbîhât al-Lathîfah ‘ala Mahtawat ‘alaihi al-‘Aqîdah al-Wâsîthiyyah minal Mabâhitsil Munîfah (hlm. 96-97) dengan sedikit tambahan dalil, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, ta’liq Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan.
[19]. Lihat as-Sunnah karya al-Khallaal (II/461-462, no. 717). Maksudnya, kita wajib diam, jangan membicarakan tentang kesalahan dalam peperangan tersebut, tidak ada manfaatnya bahkan berdosa.
[20]. Manâqibul Imam Ahmad bin Hanbal (hlm. 221), karya Imam Ibnul Jauzi tahqiq DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy.
[21]. Ibid
[22]. Al-Ibânah ‘an Ushûl ad-Diyânah (no. 271) tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[23]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Muzani (hlm. 88, no. 17) ta’liq DR. Jamal ‘Azun.
[24]. HR. At-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/96, no. 1427) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (IV/114, no. 4953). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 34).
[25]. Maksudnya: Berdasarkan wahyu yang Allâh sampaikan kepada beliau, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang peperangan yang terjadi antara sahabat, seperti pengabaran beliau tentang Hasan bin Ali c bahwa Allâh akan mendamaikan antara dua golongan dari kaum Muslimin. [HR. Al-Bukhâri, no. 3746].
[26]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (no. 124) tahqiq dan ta’liq Abdurrahman bin Ahmad al-Jumaizi.
[27]. Asy-Syarhu wal Ibânah ‘alaa Ushûlis Sunnah wad Diyânah (hlm. 294) tahqiq DR. Ridha Na’san Mu’thi.
[28]. ‘Aqîdah Salaf wa Ash-hâbil Hadîts (hlm. 294) tahqiq DR. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Judai’.
[29]. Lum’atul I’tiqâd Syarh Syaikh ‘Utsaimin (hlm. 150).
[30]. Disadur dari catatan kaki Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah karya al-Lalikaa-i (VII/1311) tahqiq DR. Ahmad Sa’ad Hamdani.
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu
[2]. Al-Imâmah war Raddu ‘ala ar-Râfidhah (hlm. 373).
[3]. Yaitu mereka yang diwasiatkan oleh ‘Umar z untuk memilih khalifah sepeninggal beliau. Mereka adalah: 1. ‘Utsmân bin ‘Affân, 2. Ali bin Abi Thâlib, 3. Zubair bin Awwam, 4. ‘Abdurrahman bin ‘Auf, 5. Sa’ad bin Abi Waqqâsh, 6. Thalhah bin ‘Ubaidillâh Radhiyallahu anhum
[4]. Mereka adalah khalifah yang empat dan Ahlus Syûra. Sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk Surga oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
• Abu Bakar ash-Shiddiq, • Az-Zubair bin ‘Awwâm,
• ‘Umar bin al-Khaththab, • Sa’ad bin Abi Waqqâsh,
• ‘Utsmân bin ‘Affân, • Sa’id bin Zaid,
• ‘Ali bin Abi Thâlib, • Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, dan
• ‘Abdurrahman bin ‘Auf, • Thalhah bin ‘Ubaidillah, Radhiyallahu anhum
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud (no. 4649-4650), at-Tirmidzi (no. 3748, 3757), Ibnu Mâjah (no. 133, 134), Ahmad 9I/187, 188, 189), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1428, 1431, 1433, dan 1436), dan al-Hakim (IV/440). Lihat juga Taisîr al-Karîmir Rahmân Fii Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 909), cet. Maktabah Ma’arif, 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Ahmad (III/350), Abu Dâwud (no. 4653), at-Tirmidzi (no. 3860), dari shahabat Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu . At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’is Shaghîr (no. 7680).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (III/396), dari Shahabat Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhuma. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2160).
[7]. Lihat: Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah (I/179), Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (hlm. 53-55, no. 25) tahqiq Ahmad Abdurrahman al-Jumaiji, Syarh an-Nawawi terhadap Shahîh Muslim (XV/148), dan al-Ba’its al-Hatsîts Ibnu Katsir (II/501-505) ta’liq Syaikh al-Albani.
[8]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3662), Ibnu Mâjah (no. 97), Ahmad (V/382) atau (no. 23245) dan Al-Hâkim (III/75), dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih karena ada beberapa penguatnya. Lihat Hidâyatur Ruwâh (no. 6006).
[9]. Shahih: HR. Muslim (no. 681), dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu
[10]. Majmû’ Fatâwâ (III/153).
[11]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3662) dan Muslim (no. 2384).
[12]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 466 dan 3654) dan Muslim (no. 2382) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[13]. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (I/179), dan atsar Ibnu ‘Umar dikeluarkan Imam Ahmad dalam al-Musnad (II/14) atau (no. 4626).
[14]. Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (I/187).
[15]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3673), Muslim (no. 2541), Abu Dawud (no. 4658), at-Tirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 988), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri z .. Lihat Fat-hul Bâri (VII/34-36).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadhâ-ilush Shahâbah (no. 20) dan Ibnu Abi ‘Âshim (no. 1006). Lihat Syarah ‘Aqîdah Thahâwiyah (hal. 469) takhrij Syaikh al-Albani.
[17]. Fadhâ-ilush Shahâbah (no. 15) karya Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq dan takhrij Washiyyullah bin Muhammad ‘Abbas.
[18]. Lihat at-Tanbîhât al-Lathîfah ‘ala Mahtawat ‘alaihi al-‘Aqîdah al-Wâsîthiyyah minal Mabâhitsil Munîfah (hlm. 96-97) dengan sedikit tambahan dalil, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, ta’liq Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan.
[19]. Lihat as-Sunnah karya al-Khallaal (II/461-462, no. 717). Maksudnya, kita wajib diam, jangan membicarakan tentang kesalahan dalam peperangan tersebut, tidak ada manfaatnya bahkan berdosa.
[20]. Manâqibul Imam Ahmad bin Hanbal (hlm. 221), karya Imam Ibnul Jauzi tahqiq DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy.
[21]. Ibid
[22]. Al-Ibânah ‘an Ushûl ad-Diyânah (no. 271) tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[23]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Muzani (hlm. 88, no. 17) ta’liq DR. Jamal ‘Azun.
[24]. HR. At-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/96, no. 1427) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (IV/114, no. 4953). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 34).
[25]. Maksudnya: Berdasarkan wahyu yang Allâh sampaikan kepada beliau, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang peperangan yang terjadi antara sahabat, seperti pengabaran beliau tentang Hasan bin Ali c bahwa Allâh akan mendamaikan antara dua golongan dari kaum Muslimin. [HR. Al-Bukhâri, no. 3746].
[26]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (no. 124) tahqiq dan ta’liq Abdurrahman bin Ahmad al-Jumaizi.
[27]. Asy-Syarhu wal Ibânah ‘alaa Ushûlis Sunnah wad Diyânah (hlm. 294) tahqiq DR. Ridha Na’san Mu’thi.
[28]. ‘Aqîdah Salaf wa Ash-hâbil Hadîts (hlm. 294) tahqiq DR. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Judai’.
[29]. Lum’atul I’tiqâd Syarh Syaikh ‘Utsaimin (hlm. 150).
[30]. Disadur dari catatan kaki Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah karya al-Lalikaa-i (VII/1311) tahqiq DR. Ahmad Sa’ad Hamdani.