Sebagian mereka yang berpendapat tidak adanya ‘udzur kejahilan dalam masalah syirik akbar mengatakan bahwa : ‘seorang yang berzina dinamakan az-zaaniy (الزَّانِي) atau pelaku zina meskipun ia jahil, sehingga seorang yang melakukan kesyirikan pun dinamakan musyrik (الْمُشْرِكُ) meskipun ia jahil. Hukum dunia yang berlaku pada mereka (musyrik) adalah kafir.
a. Mereka keliru saat mencampuradukkan penyebutan isim faa’il dengan penghukuman terhadapnya. Orang yang melakukan zina – baik ia mengetahui ataupun jahil – dinamakan az-zaaniy, ini benar. Ia hanya dihukumi faasiq apabila melakukannya dalam keadaan mengetahui. Jika ia melakukannya dalam keadaan tidak mengetahui (jaahil), tidak dinamakan faasiq.
Orang yang memalingkan peribadahan kepada selain Allah seperti menyembelih, bernadzar, atau berdoa kepada selain Allah, maka isim faa’il untuknya adalah sama seperti isim faa’il untuk pelaku zina, yaitu : adz-dzaabihu li-ghirillah (pelaku penyembelihan kepada selain Allah), an-naadziru li-ghirillah (pelaku nadzar kepada selain Allah), dan ad-daa’iy li-ghairillah (pelaku doa kepada selain Allah). Adapun penghukuman terhadapnya sebagai musyrik, maka sama seperti ketika kita mengatakan hal itu pada pelaku zina.
Oleh karenanya, ketika kita mengatakan orang yang melakukan zina itu sebagai az-zaaniy, penghukuman kepadanya sebagai faasiq tergantung pada ada tidaknya penghalang dalam pem-fasiq-annya (mawaani’ut-tafsiiq).[1]
Begitu pula orang yang menyembelih, bernadzar, atau berdoa kepada selain Allah; penghukuman kepada sebagai musyrik tergantung pada ada tidaknya penghalang kekafirannya, dan diantaranya adalah kejahilan.
b. Jika
mereka memutlakkan individu orang yang melakukan perbuatan syirik
(akbar) sebagai musyrik, kenapa mereka tidak menamakan individu orang
yang melakukan syirik ashsghar[2] sebagai musyrik ?. Padahal, alasannya sama.
c. Jika
mereka menamakan pelaku kesyirikan sebagai musyrik meskipun ia jahil,
kenapa mereka tidak menamakan hal serupa pada pelaku kesyirikan karena
keterpaksaan ?. Allah ta’ala berfirman:
مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar” [QS. An-Nahl : 106].
Jika
mereka mengatakan orang tersebut tidak dinamakan musyrik karena ia
melakukannya dengan alasan terpaksa/dipaksa, maka secara tidak langsung
mereka mengakui bahwa sekedar perbuatan syirik saja tidak lantas
menyebabkan penghukuman (atau yang mereka sebut dengan
‘penamaan’ ) musyrik. Dan itulah alasan yang kita gunakan dalam masalah kejahilan.
d. Konsekuensi
dari cara pendalilan mereka dalam bab ini, kita mesti menyebut semua
individu pelaku perbuatan kufur sebagai kafir. Ini jelas merupakan
kekeliruan, sedangkan mereka pun mengetahuinya (akan kekeliruan
tersebut).
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Sesungguhnya pengkafiran yang bersifat mutlak (at-takfiirul-muthlaq) seperti halnya ancaman yang bersifat mutlak (al-wa’iid al-muthlaq) yang tidak mengkonsekuensikan pengkafiran terhadap individunya, kecuali jika telah ditegakkan padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, hal. 164].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
ومسألة
تكفير المعين مسألة معروف إذا قال قالا يكون القول به كفراً، فيقال : من
قال بهذا القول فهو كافر، ولكن الشخص المعين إذا قال ذلك، لا يحكم بكفره
حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها
“Masalah pengkafiran individu (takfir mu’ayyan)
adalah masalah yang ma’ruf. Apabila ada seseorang mengucapkan
perkataan kufur, maka dikatakan : ‘Barangsiapa yang mengucapkan
perkataan tersebut, maka ia kafir’. Akan tetapi individu yang
mengucapkannya tidak langsung dihukumi kafir, hingga tegak padanya
hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Ad-Durarus-Saniyyah, 7/244].
Anyway, alasan ‘aqliyyah mereka ini sebenarnya lemah dan kontradiktif.
Semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya.....
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 20122014 – 12:34].
فإن
نصوص الوعيد التى فى الكتاب والسنة ونصوص الأئمة بالتكفير والتفسيق ونحو
ذلك لا يستلزم ثبوت موجبها فى حق المعين الا اذا وجدت الشروط وانتفت
الموانع لا فرق فى ذلك بين الاصول والفروع
“Sesungguhnya
nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah dan juga
perkataan para imam tentang takfir, tafsiiq, dan yang semisalnya; maka
itu tidaklah mengkonsekuensikan jatuhnya vonis hukum tersebut terhadap
individu tertentu, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang
penghalang-penghalangnya. Tidak ada bedanya dalam permasalahan tersebut
antara ushuul dan furuu’” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/372].
Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
وبهذا
يعلم أن المقالة أو الفعلة قد تكون كفراً أو فسقاً ولا يلزم من ذلك أن
يكون القائم بها كافراً أو فاسقاً، إما لانتفاء شرط التكفير أو التفسيق،
أووجود مانع شرعي يمنع منه
“Dari
sini dapat diketahui bahwa perkataan atau perbuatan kadang termasuk
katagori kekufuran atau kefasiqan. Tidaklah mengkonsekuensikan dari hal
tersebut orang yang melakukannya kafir ataupun fasiq yang mungkin
karena tidak terpenuhinya syarat-syarat takfir atau tafsiiq, ataupun terdapat penghalang syar’iy yang mencegah jatuhnya vonis tersebut” [Al-Qawaaidul-Mustlaa, hal. 92].
[2] Misalnya riyaa’ sebagaimana hadits:
عَنْ
مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ
الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: " اذْهَبُوا إِلَى
الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ
تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً "
Dari Mahmuud bin Labiid : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Sesungguhnya suatu hal yang paling aku takutkan pada kalian adalah syirik ashghar (syirik kecil)”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Apakah syirik ashghar itu, wahai Rasulullah ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Riyaa’.
Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat
ketika Ia memberikan balasan kepada manusia atas amal-amal yang mereka
lakukan : ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian
berbuat riyaa’ kepada mereka di dunia. Lihatlah, apakah kalian
mendapatkan balasan di sisi mereka ?” [lihat : Silsilah Ash-Shahiihah, 2/634-635 no. 951].