KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Akad Nikah
Rukun akad nikah ada dua, yaitu: Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat sahnya adalah :
1. Adanya izin dari wali
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ لَمْ يَنْكِحْهَا الْوَلِيُّ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا
مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Wanita
yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya bathil, maka nikahnya
bathil, maka nikahnya bathil. Jika sang lelaki telah mencampurinya,
maka sang wanita berhak mendapatkan maskawin untuk kehormatan dari apa
yang telah menimpanya. Dan jika mereka terlunta-lunta (tidak memiliki
wali), maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.” [1]
2. Hadirnya para saksi
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.”[2]
Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila
pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya seorang wali, maka merupakan
kewajiban juga bagi wali untuk meminta persetujuan dari wanita yang
berada di bawah perwaliannya sebelum dilangsungkannya pernikahan. Tidak
boleh bagi seorang wali untuk memaksa seorang wanita untuk menikah jika
ia tidak ridha dan jika wanita tersebut dinikahkan sedangkan ia tidak
ridha, maka ia berhak membatalkan akad tersebut. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَتُنْكَحُ
اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى
تُسْتَأْذَنَ قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ:
أَنْ تَسْكُتَ.
“Seorang
janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dipinta perintahnya dan
seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai izinnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya ?” Beliau menjawab, “Bila ia diam.” [3]
وَعَنْ
خَنْسَاءَ بِنْتِ خَدَّامَ اْلأَنْصَارِيَّة، أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا
وَهِيَ ثَيِّبٌ، فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا.
“Dan
dari Khansa binti Khaddam al-Anshariyyah: bahwa bapaknya telah
menikahkannya sedangkan ia janda, akan tetapi ia tidak rela, kemudian
ia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
membatalkan pernikahannya.” [4]
Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallah anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa
bapaknya telah menikahkannya sedangkan ia tidak rela, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salalm menyerahkan pilihan kepadanya. [5]
Khutbah Nikah
Disunnahkan khutbah menjelang akad nikah, yaitu yang disebut sebagai Khutbatul Hajah, dan lafazhnya adalah sebagai berikut :
إِنَّ
الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
“Sesungguhnya
segala puji hanyalah milik Allah. Kepada-Nya kita memuji, memohon
pertolongan dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa
kita dan keburukan perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh
Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang
disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi
petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak
diibadahi dengan benar) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian Yang telah menciptakan
kalian dari jiwa yang satu, serta daripadanya Allah menciptakan
isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(menggunakan) Nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kalian.” [An-Nisaa’: 1]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
ke-menangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
أَمَّا
بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله، وَخَيْرَ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ
اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Amma
ba’du: “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru dan setiap
yang baru (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat
dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” [6]
Sunnahnya Tahni-ah (Ucapan Selamat) Pernikahan
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam
apabila mendo’akan seseorang yang menikah beliau bersabda:
بَارَكَ اللهُ لَكُمْ، وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ.
“Semoga Allah memberkahi kalian dan menetapkan keberkahan atas kalian serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” [7]
Mahar (Maskawin)
Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 4]
Mahar atau maskawin adalah hak seorang wanita
yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Maskawin
merupakan hak milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun
mengambilnya, baik sang ayah maupun selainnya, kecuali jika diambilnya
maskawin itu dengan keridhaan hatinya.
Syari’at
Islam tidak membatasi nominal sedikit banyaknya maskawin, akan tetapi
Islam menganjurkan untuk meringankan maskawin agar mempermudah proses
pernikahan dan tidak membuat para pemuda enggan untuk menikah karena
mahalnya maskawin.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
“Dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun…” [An-Nisaa’: 20]
Dari
Anas bin Malik Radhiyallahuanhu bahwasanya ‘Abdurrahman bin ‘Auf datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan padanya
terdapat bekas kekuningan, Rasulullah bertanya tentang hal tersebut,
lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan beliau bahwasanya ia telah
menikahi seorang wanita dari kalangan Anshar, Rasulullah bertanya, “Berapa engkau membayar maskawinnya?” Ia menjawab, “Satu biji emas.” Kemudian beliau bersabda, “Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing.” [8]
Dan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu ia berkata :
إِنِّي
لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذْ قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهَا قَدْ
وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا
ثُمَّ قَامَتْ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا ثُمَّ
قَامَتْ الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ
فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ
أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ قَالَ: لاَ. قَالَ:
اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ فَطَلَبَ ثُمَّ
جَاءَ فَقَالَ: مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ.
فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا
وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ: اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْآنِ.
“Pada
suatu waktu aku bersama para Sahabat dan di tengah-tengah kami ada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita
yang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita ini
telah menyerahkan dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Akan
tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanggapinya,
kemudian wanita tersebut berdiri kembali seraya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan dirinya untukmu,
maka katakanlah pendapat Anda.’ Namun Rasulullah tetap belum
menanggapinya, maka wanita tersebut kembali berdiri untuk yang ketiga
kalinya seraya berkata, ‘Sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan
dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Sampai kemudian ada
salah seorang Sahabat yang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah,
nikahkanlah aku dengannya!’ Beliau bersabda, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak’ Kemudian beliau bersabda, ‘Pergi dan carilah sesuatu meski hanya sebuah cincin dari besi!’
Maka laki-laki itu pergi dan mencari apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi ia kembali dan
berkata, ‘Aku tidak menemukan sesuatu meski hanya sebuah cincin dari
besi.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau menghafal sesuatu dari al-Qur-an?’ Ia menjawab, ‘Aku menghafal surat ini dan itu,” beliau bersabda, ‘Pergilah, sesungguhnya aku telah menikahkan dirimu dengannya dengan mahar hafalan al-Qur-an yang ada padamu.’” [9]
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mendahulukan pembayaran maskawin ataupun mengakhirkannya secara keseluruhan atau mendahulukan pembayaran sebagian maskawin dan mengakhirkan sebagian lainnya.
Apabila sang suami telah menggauli isteri sedangkan ia belum membayar
mas kawin, maka hal itu sah-sah saja, akan tetapi ia wajib membayar
mahar mitsil (mahar senilai yang biasa diberikan kepada wanita kerabat
wanita itu) apabila dalam akad nikah ia tidak menyebut maskawin yang
akan ia berikan. Namun jika ia telah menyebutnya, maka ia harus
membayar maskawin sebesar apa yang telah ia sebutkan. Dan
berhati-hatilah, jangan sampai seseorang tidak memenuhi hak wanita yang
telah disyaratkan, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوفُواْ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ.
“Sesungguhnya
suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang
dengannya dihalalkan bagi kalian kemaluan (wanita).”[10]
Apabila sang suami meninggal setelah akad dan sebelum menggauli, maka isteri berhak mendapatkan maskawin seluruhnya.
Dari
‘Alqamah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah didatangkan kepada
‘Abdullah bin Mas’ud seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang
lelaki, kemudian lelaki tersebut meninggal, ia belum menentukan
maskawin dan menggaulinya.” ‘Alqamah berkata, ‘Mereka berselisih
tentang hal tersebut dan menanyakannya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud,
kemudian ia menjawab, ‘Aku
berpendapat ia berhak mendapat maskawin semisal mahar yang didapat oleh
wanita kerabatnya, ia berhak mendapatkan harta warisan dan ia juga
wajib ber‘iddah.’ Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i bersaksi
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menetapkan kepada
Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah ditetapkan oleh ‘Abdullah
bin Mas’ud.” [11]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan
Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524)], Sunan Ibni Majah (I/ 605, no. 1879) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/98, no. 2069), Sunan at-Tirmidzi (II/280, no. 1108) dan lafazh dari ke-duanya adalah “فَإِنْ دَخَلَ بِهَا… فَإِنْ تَشَاجَرُوْا”
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557)], al-Baihaqi (VII/125), Shahiih Ibni Hibban (305/1247)
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/191, no. 5136), Shahiih Muslim (II/1036, no. 1419), Sunan Abi Dawud (VI/115, no. 2087), Sunan at-Tirmidzi (II/286, no. 1113), Sunan Ibni Majah (I/601, no. 1871), Sunan an-Nasa-i (VI/85). Dan maksud dari al-Aimu dalam hadits ini adalah wanita janda yang ditinggal suaminya karena kematian atau talak, walaupun orang Arab menggolongkan bagi setiap orang yang tidak mempunyai pasangan, baik laki-laki ataupun wanita.
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1830)], Shahiih al-Bukhari (IX/194, no. 5138), Sunan Abi Dawud (VI/127, no. 2087), Sunan Ibni Majah (I/602, no. 1873), Sunan an-Nasa-i (VI/86).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1520)], Sunan Abi Dawud (VI/120, no. 2082), Sunan Ibni Majah (I/603, no. 1875).
[6]. Takhrijnya telah lalu pada pembahasan Khutbah Jum’ah.
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1546)], Sunan Ibni Majah (I/614, no. 1905), dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/166, no. 2116), Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1097) dan dalam riwayat mereka berdua khitabnya untuk mufrad (بَارَكَ اللهُ لَكَ… الخ).
[8]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/221, no. 5153), Shahiih Muslim (II/1042, no. 1427), Sunan Abi Dawud (VI/139, no. 2095), Sunan at-Tirmidzi (II/277, no. 1100), Sunan Ibni Majah (I/615, no. 1907), Sunan an-Nasa-i (VI/119).
[9]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/205, no. 5149) dan ini adalah lafazh beliau, Shahiih Muslim (II/1040, no. 1425), Sunan Abi Dawud (VI/143, no. 2097), Sunan at-Tirmidzi (II/290, no. 1121), Sunan Ibni Majah (I/608, no. 1889) secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (VI/123).
[10]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/217, no. 5151), Shahiih Muslim (II/1035, no. 1418), Sunan Abi Dawud (VI/176, no. 2125), Sunan Ibni Majah (I/627, no. 1954), Sunan at-Tirmidzi (II/298, no. 1137), Sunan an-Nasa-i (VI/92).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1939)], Sunan at-Tirmidzi (II/306, no. 1154), Sunan Abi Dawud (VI/147, no. 2100), Sunan Ibni Majah (I/609, no. 1891), Sunan an-Nasa-i (VI/121)
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524)], Sunan Ibni Majah (I/ 605, no. 1879) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/98, no. 2069), Sunan at-Tirmidzi (II/280, no. 1108) dan lafazh dari ke-duanya adalah “فَإِنْ دَخَلَ بِهَا… فَإِنْ تَشَاجَرُوْا”
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557)], al-Baihaqi (VII/125), Shahiih Ibni Hibban (305/1247)
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/191, no. 5136), Shahiih Muslim (II/1036, no. 1419), Sunan Abi Dawud (VI/115, no. 2087), Sunan at-Tirmidzi (II/286, no. 1113), Sunan Ibni Majah (I/601, no. 1871), Sunan an-Nasa-i (VI/85). Dan maksud dari al-Aimu dalam hadits ini adalah wanita janda yang ditinggal suaminya karena kematian atau talak, walaupun orang Arab menggolongkan bagi setiap orang yang tidak mempunyai pasangan, baik laki-laki ataupun wanita.
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1830)], Shahiih al-Bukhari (IX/194, no. 5138), Sunan Abi Dawud (VI/127, no. 2087), Sunan Ibni Majah (I/602, no. 1873), Sunan an-Nasa-i (VI/86).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1520)], Sunan Abi Dawud (VI/120, no. 2082), Sunan Ibni Majah (I/603, no. 1875).
[6]. Takhrijnya telah lalu pada pembahasan Khutbah Jum’ah.
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1546)], Sunan Ibni Majah (I/614, no. 1905), dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/166, no. 2116), Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1097) dan dalam riwayat mereka berdua khitabnya untuk mufrad (بَارَكَ اللهُ لَكَ… الخ).
[8]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/221, no. 5153), Shahiih Muslim (II/1042, no. 1427), Sunan Abi Dawud (VI/139, no. 2095), Sunan at-Tirmidzi (II/277, no. 1100), Sunan Ibni Majah (I/615, no. 1907), Sunan an-Nasa-i (VI/119).
[9]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/205, no. 5149) dan ini adalah lafazh beliau, Shahiih Muslim (II/1040, no. 1425), Sunan Abi Dawud (VI/143, no. 2097), Sunan at-Tirmidzi (II/290, no. 1121), Sunan Ibni Majah (I/608, no. 1889) secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (VI/123).
[10]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/217, no. 5151), Shahiih Muslim (II/1035, no. 1418), Sunan Abi Dawud (VI/176, no. 2125), Sunan Ibni Majah (I/627, no. 1954), Sunan at-Tirmidzi (II/298, no. 1137), Sunan an-Nasa-i (VI/92).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1939)], Sunan at-Tirmidzi (II/306, no. 1154), Sunan Abi Dawud (VI/147, no. 2100), Sunan Ibni Majah (I/609, no. 1891), Sunan an-Nasa-i (VI/121)
Sumber: https://almanhaj.or.id/1348-akad-nikah-khutbah-nikah-mahar-maskawin.html