Ilmu Tidak Hanya Pada Ustadz !!!
SIAPA BILANG ILMU TIDAK DIAMBIL DARI SEORANG KUTU BUKU ??
(Meluruskan Statemen Seorang Ustadz)
Oleh: Ust. Abu Husein At-Thuwailibi.
Beliau adalah seorang penuntut Ilmu yang sedang menempuh kuliah (pendidikan) di Universitas Islam Madinah KSA. Semoga Allah meneguhkan beliau diatas Ilmu dan dakwah Salafiyah.
Saya
tergelitik saat membaca salah satu risalah (artikel) nya yang banyak
disebarluaskan oleh para pengagumnya di jejaring sosial dengan Judul: Sekali Lagi, Kembalilah Ke Majelis Ilmu. Saya
tidak menganggap salah apa yang beliau tuliskan,karena beliau menyusun
statemennya dengan mengutip perkataan sejumlah Ulama Salaf. Hanya saja,
bila statemen yang menjadi kesimpulan beliau di-mutlakkan begitu saja,maka ini menjadi suatu kekeliruan yang harus di syarahkan.
Pada
intinya, Sang Ustadz menyatakan bahwa para Ulama salafus shalih
melarang menimba ilmu dari orang yang hanya mengandalkan bacaan saja
tanpa duduk di mejelis Ilmu. Lalu beliau menukil perkataan sejumlah
Ulama diantaranya Sulaiman Bin Musa yang berkata, “ilmu itu tidak diambil dari seorang kutu buku”. Memang
benar, bahwa Menuntut Ilmu terbaik dan efektif adalah dengan berguru,
bermajelis dengan para Ulama dan Murobbi, akan tetapi bukan berarti
membaca buku/kitab atau sarana-sarana lain merupakan metodologi belajar
yang mesti disudutkan atau seolah di pinggirkan.
Mencermati apa yang ditulis Sang Ustadz, saya teringat dengan Perkataan Kaum Shufi yang sangat masyhur dan populer, “Barang siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan”. Perkataan populer kaum sesat Shufi ini pernah di bantah oleh Syaikh Bin Baz Rahimahullah. Beliau berkata:
أمَّا قولُهم: مَن لا شيخَ له؛ فشيخُه الشيطان؛ فهذا باطل، ما له أصل، وليس بحديث. وليس لك أن تتَّبع طرق الشيخ إذا كان مخالفاً للشرع، بل عليك أن تتبع الرَّسول -صلَّى الله عليه وسلَّم- وأصحابَه -رضي الله عنهم وأرضاهم- ومَن تَبِعهم بإحسان، في صلاتك، وفي دعائك، وفي سائر أحوالك
“Adapun perkataan mereka yakni Kaum Shufi bahwasanya barangsiapa yang tidak punya guru, maka gurunya adalah setan; maka perkataan ini adalah bathil. Tidak ada asalnya. Bukan pula hadits. Tidak boleh bagimu untuk mengikuti jalan seorang syaikh apabila ia menyelisihi syari’at. Bahkan wajib
bagimu untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para
shahabatnya Radhiyallahu ‘anhum serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik dalam shalatmu, do'amu dan seluruh keadaanmu...”
Saudaraku yang dimuliakan Allah, memang benar, ada ungkapan:
“من كان شيخه كتابه فخطؤه أكثر من صوابه”.
“Barangsiapa gurunya adalah sebuah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya”.
Akan tetapi, kalau
kita bisa memanfaatkannya dengan baik dan benar maka kitab-kitab dan
buku-buku itu juga bisa kita jadikan sebagai salah satu sarana menambah
ilmu dan sarana dalam menyebarkan dakwah, pengajaran dan informasi yang
baik. Bukan berarti belajar secara otodidak itu mutlak salah. Bahkan Al-Imam Ibnu Hazm Rahimahullah pun konon belajar agama secara otodidak, beliau belajar secara mandiri lewat kitab-kitab para 'Ulama, selama asas 'ilmu 'allat yang beliau miliki sudah mumpuni.
Bahkan sejarah mencatat beliau termasuk Ulama besar Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah yang terlambat dalam menuntut Ilmu, beliau mulai belajar dimasa
tua, namun Allah memberi beliau taufiq untuk bisa belajar dan menggali
ilmu secara mandiri. Sampai tidak kita temukan kitab fenomenal yang
berjudul Al-Muhalla kecuali yang di tulis oleh Imam Ibnu Hazm
Rahimahullah.
Demikian pula master Hadits abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah,
secara jujur, beliau juga belajar agama lebih dominan secara otodidak,
menelaah kitab-kitab secara mandiri. Ya, memang beliau punya guru,
diantaranya adalah ayah beliau sendiri, akan tetapi ingat, guru-guru
beliau adalah mengajarkan sejumlah Ilmu alat, ilmu dasar, sedangkan
pengembangan dan penambah wawasan khazanah ilmiah beliau gali sendiri
lewat Kitab-kitab para 'Ulama mu'tabarah dari kalangan madzahib
al-arba'ah, sampai beliau banyak terisipirasi mazhab Hanbali dalam
banyak satuan-satuan fiqih dan ushul. Beliau terkenal kutu buku,
tercatat dalam sejarah beliau banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca kitab di Maktabah Zhahiriyah.
Lebih transparan lagi, bahkan salah seorang Tokoh besar Salafi di negeri, sebut saja Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat,
beliau juga bisa dibilang belajar tanpa guru, beliau otodidak dan kutu
buku, fakta itu tidak bisa dipungkiri. Beliau dominan menuntut Ilmu
secara otodidak lewat membaca dan menelaah kitab-kitab, banyak
menghabiskan waktunya di Maktabah Ma'hadil 'Ulum (Perpustakaan LIPIA)
Jakarta. Hingga banyak kalangan yang menyebut beliau sebagai Sarjana
Perpustakaan. Realita yang mesti kita terima, namun dengan begitu
apakah mengurangi kemuliaan beliau sebagai seorang Mu'allim ?? Apakah
mengurangi kredibilitas beliau sebagai Juru Dakwah ?? Kalla Wa Alfi Kallaa !!
Justru beliau didatangi oleh banyak para penuntut Ilmu dari berbagai
daerah di nusantara dari masa ke masa, beliau mengajar di banyak
tempat, berdakwah dibanyak tempat, menulis banyak kitab dan buku,
bahkan disetiap beliau hadir di Maktabah LIPIA Jakarta untuk menelaah
kutub, berbondong-bondong mahasiswa-mahasiswa LIPIA menghampiri dan
mendekati tempat duduk beliau, mereka bertanya, belajar, meminta
pengetahuan dan wawasan kepadanya.
Memang, Ustadz Abdul Hakim Abdat sempat duduk di majelis Syaikh Utsaimin dalam sejarah perjalanannya, namun hal itu bukan dikategorikan berguru, karena hanya sekedar hadir dalam majelis-majelis Umum. Bukan talaqqi atau mulazamah secara khusus. Sedangkan Ustadz Zainal Abidin
saja yang duduk di majelis Syaikh Bin Baz selama dua tahun pun beliau
tidak menganggap berguru dengan Syaikh Bin Baz, Ustadz Zainal Abidin
Bin Syamsudin tidak menganggap beliau itu murid Syaikh Bin Baz. Apalagi
yang hanya sekedar duduk ikut Ta'lim dalam majelis-majelis Umum.
Demikianlah Ustadz Abdul Hakim Abdat. dan tentu saja beliau punya guru,
diantaranya adalah ayah beliau sendiri dan sejumlah mu'allim-mu'allim
dahulu dimasanya belajar, akan tetapi beliau belajar ilmu 'allat, 'ilmu
dasar, sementara pengembangan dan mengasah ilmu beliau lebih banyak
membaca dan menelaah kitab-kitab itu, dengan kata lain beliau Kutu Buku
alias Otodidak.
Dalam kitab Al-Asybah Wannazhoo-ir Imam Suyuthi dijelaskan
BOLEH belajar agama secara otodidak dari kitab–kitab mu’tabaroh para
'Ulama, kecuali belajar membaca Al-Qur’an harus melalui guru yang
memiliki sanad shohih muttashil sampai ke Rasulullah.
1. الأشباه و النظائر للسيوطى ص 189-190:
وقال
ابن عبد السلام: أما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوق بها فقد اتفق
العلماء في هذا العصر على جواز الاعتماد عليها والاستناد إليها لأن الثقة
قد حصلت بها كما تحصل بالرواية ولذلك اعتمد الناس على الكتب المشهورة في
النحو واللغة والطب وسائر العلوم لحصول الثقة بها وبعد التدليس
2. كتاب حق التلاوة ص 46:
فعلى
قارئ القرآن ان يأخذ قرائته على طريق التلقّى و الإسناد عن الشيوخ الآخذين
عن شيوخهم كى يصل الى تأكد من أن تلاوته تطابق ما جاء عن رسول الله صلى
الله عليه و سلم
Na'am,
kalaulah sang Ustadz mensyaratkan belajar agama dengan para 'Ulama
secara langsung dan terkesan menganggap remeh orang-orang yang belajar
tidak dengan para 'Ulama (sebagaimana substansi dari statemen beliau
yang saya fahami), maka ini sikap yang sungguh subjektif saya kira.
Dirinya bisa menuntut Ilmu langsung dengan para 'Ulama, bahkan ke
Madinah, itu berkat taufiq yang Allah karuniakan kepadanya, lantas
bagaimana dengan orang-orang yang tidak mampu untuk ke Madinah ??? Atau
para penuntut Ilmu yang memiliki keterbatasan untuk bisa berguru dengan
para ulama ??? Dengan latar belakang dan back graund yang bermacam
ragam ??? Ok lah ia bisa menuntut Ilmu ke Madinah belajar dengan para
'Ulama, lantas apakah semua orang bisa seperti itu ??? Bukankah Fattaqullah Mastatho'tum (Bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian) ??
Biarlah
mereka belajar secara otodidak karena disitulah kemampuan mereka, dan
tak pantas kita bersikap timpang dan ujub sedemikian rupa. Jangan kita
kira harus langsung duduk di majelis Ilmu lalu seseorang mendapatkan
Ilmu dan pasti selamat dari kesesatan. Pertanyaannya; bagaimana
dengan seorang muslim yang memiliki kesibukan padat atau keterbatasan
keadaan dan sosial sehingga ia tak mampu untuk hadir langsung di
majelis Ilmu dan hanya mampu untuk mendengar kajian lewat rekaman video
di Internet misalnya, atau kajian rutin di Radio, atau melihat
muhadhoroh para 'Ulama dan ustadz-ustadz lokal lewat Youtube, atau
dengan mengikuti kajian dan pembahasan ilmu yang dirutinitaskan lewat
grup-grup WhatsApp misalnya, sementara zaman semakin canggih dengan
tekhnologi yang Allah karuniakan kepada hamba-hambanya.
Demikian
pula belajar lewat internet, meski kita sepakat bahwa belajar agama
harus dengan jalan berguru kepada ulama yang ahli di bidangnya, namun
bukan berarti membaca kitab, buku, atau belajar lewat internet harus
kita tinggalkan. Memang kita tidak memandang bahwa internet itu sebagai
satu-satunya sumber ilmu agama, melainkan internet itu fungsinya hanya sebagai media saja.
Dan
dalam belajar ilmu agama, selain keberadaan seorang guru yang ahli di
bidangnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kita butuh media pembelajaran.
Di antaranya kita butuh kitab untuk membaca ilmu yang sudah ditulis
oleh guru kita atau para Ulama. Dan seorang guru atau Ulama pun juga
perlu menuliskan semua ilmunya agar tidak hilang. Oleh karena itu sang
guru juga butuh pena, tinta, lembaran kertas bahkan mesin cetak untuk
menyebarkan ilmunya yang berharga. Kalau di masa lalu buku atau kitab
itu berbentuk lembaran kertas yang dicetak dan dijilid, maka di masa
modern ini bukunya bisa saja berbentuk buku elektronik, baik berupa
website yang berisi banyak tulisan ilmu atau berformat file komputer
semacam pdf dan sejenisnya.
Dan
internet itu ibarat buku, bahwa tidak semua buku itu baik. Ada buku
yang baik dan ada buku yang tidak baik. Tetapi tidak ada yang
memungkiri bahwa buku atau kitab adalah salah satu media yang cukup
bermanfaat, dimana kita bisa mendapatkan ilmu agama yang luas. Demikian
juga dengan internet, ada yang isinya baik dan ada yang isinya buruk.
Pada
intinya, belajar yang paling baik memang dengan berguru kepada ulama,
ustadz, atau orang yang berilmu, apabila mampu dan memungkinkan.
Para ulama dulu bahkan mencela orang-orang yang tidak keluar mencari
ilmu dan mendatangi para ulama sebagaimana penjelasan sang Ustadz dalam
tulisannnya. Belajar dari guru lebih praktis dan lebih terhindar dari
kekeliruan apalagi penyimpangan, hanya
saja apakah semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk mencari ilmu
dengan para 'Ulama ??? apakah semua yang ikut tes Muqabalah beasiswa
kuliah ke Universitas Islam Madinah maqbul (lulus) semua ??
Sehingga,
bila dimutlakkan bahwa orang yang tidak punya guru atau orang yang kutu
buku maka ilmunya tidak layak diambil, maka ini juga tidak benar dan
perlu diluruskan.
Menuntut
ilmu melalui perantaraan kitab itu tidaklah mutlak mesti keliru pada
akhirnya. Meskipun tetap harus kita katakan bahwa belajar din (agama)
pada ulama atau ustadz atau ahli ilmu lebih baik daripada belajar
secara otodidak (membaca sendiri). Sehingga,
yang jadi tolok ukur kebenaran adalah kesesuaian terhadap kebenaran
yang bersumber dari yang maha benar itu sendiri (yakni Al-Qur'an dan
As-Sunnah).
Fakta membuktikan, betapa banyak orang yang berguru namun ternyata malah sesat ?!
Apakah anda kira Washil Atha' itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Bisyr Al-Marisi itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Syaikh Siti Jenar itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Khomaini itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Ulil Abshar Abdalla itu tidak punya guru ??
Apakah anda kira Said Aqil Siradj itu tidak punya guru ?? Bahkan guru-gurunya adalah para Ulama Salafi di Makkah Arab Saudi mulai dari S 1 sampai S 3. !!!!?
Betapa
banyak orang yang berbangga dengan guru dan sanad keilmuan, namun ilmu
dan amal mereka ternyata menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah bahkan
sesat !?
Belajar dari buku, kitab, kaset atau rekaman, internet, atau sumber-sumber lain itu BOLEH dan tetap mempunyai keutamaan.
Allah akan memahamkan siapapun yang dikehendaki-Nya melalui media
apapun, sebagaimana kata Rasulullah “Man Yuriidillahu Bihi Khairan
Fa-Yufaqqihu Fiddiin” (Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya maka Allah akan faqihkan dia dalam agama).
namun, kalau hanya menyandarkan ilmu dari media-media tersebut tanpa
mendatangi guru -sementara kita mampu- adalah kerugian yang sangat
besar. Ingat, selama kita mampu.! lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mampu ?? dengan aneka kesibukan atau keterbatasan dari banyak sisi...??
Na'am,
oleh karena itu bersikaplah objektif dan pengertian terhadap setiap
keadaan, agar statement kita tidak mengundang perdebatan.
Allahu A'lam Wal; Ilmu 'Indallah
from=http://www.situssunnah.com/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+KumpulanSitusSunnah+%28Kumpulan+Situs+Sunnah%29#!/articles/ilmu-tidak-hanya-pada-ustadz