Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
MUQADIMAH
Persoalan
perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk
dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan
hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena
lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam,
yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan
kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adamlah yang memperoleh
kehormatan untuk memikul amanah Illahi sebagai khalifah di muka bumi,
sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata :
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?.
Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”. [Al-Baqarah : 30].
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar.
‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan
suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. [An-Nisaa’ : 21].
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Agama
Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap
persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan
yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak,
serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga,
sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam
secara rinci dan detail.
Selanjutnya
untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang
paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai
dengan pemahaman Salafus Shalih -pen), dengan rujukan ini kita akan
dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa
penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat
kita.
Tentu
saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini,
hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.
Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu
perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak
menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. [Ar-Ruum : 30].
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa
menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah
ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah
perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga
dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]
Pernah
suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian
setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan
mereka. Salah seorang berkata :
Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain
berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin
selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah
kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan
tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan
aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai
sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku”.[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].
Orang
yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya
ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad
Yusuf : “Hidup membujang adalah
suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai
makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan
insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan
diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.
Orang
yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka
membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian
semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam
pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat
diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama
kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi
orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka
mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup
ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian
hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin
mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam
menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan
fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan
kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh),
karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di
alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang
diakaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan
ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat
Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan
membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu
pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :
“Artinya : Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. [An-Nur : 32]
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”.
[Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No.
2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu].
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika
umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah
daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. [Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20].
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
[1]. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
[2]. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai
para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].
[3]. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :
“Artinya : Thalaq
(yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang dhalim”. [Al-Baqarah : 229].
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian
jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali,
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. [Al-Baqarah : 230]
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya.
Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina
rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa
kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu: Harus Kafa’ah dan Shalihah.
[a]. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh
materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman
sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari
calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan
kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan,
kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting
karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha
untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami insya Allah akan
terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, status sosial, keturunan dan lain-lainnya.
Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non
Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan
derajat taqwanya [Al-Hujurat : 13]
“Artinya : Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. [Al-Hujurat : 13].
Dan
mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah
satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang
masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka
meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175]
[b]. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita
yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila
suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. [An-Nisaa : 34]
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang
peranak (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan
generasi penerus umat.
[4]. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi
peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang
lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !.
Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya :
“Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya
terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. [Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih].
[5]. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah
telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. [An-Nahl : 72]
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan
hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk
generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa
kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami.
Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq
Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang
tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan
keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
[1]. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu,
karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini
Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh
orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
[2]. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
[3]. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan
paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang
orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. [Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah]
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. [Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri].
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN.
[1]. Pacaran
Kebanyakan
orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih
dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu,
atau masa penjajakan atau di anggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih
terhadap lawan jenisnya.
Adanya
anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar
berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang
lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang
salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan
dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang
memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram
hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim].
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
[2]. Tukar Cincin.
Dalam
peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini
bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zifaf, Syaikh Nashiruddin
Al-AlBani)
[3]. Menuntut Mahar Yang Tinggi.
Menurut
Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit
atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar
mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun
cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi
mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah.
[Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348].
[4]. Mengikuti Upacara Adat.
Ajaran
dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara,
upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib
untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu
meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga
sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih
telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh
sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat
jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin
kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. [Al-Maaidah : 50]
Orang-orang
yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka
semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka
akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa
yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. [Ali-Imran : 85].
[5]. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah.
Kaum
jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika
mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin
(semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.
Dari
Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari
Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’
Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”. ‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum”
(Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas
kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain].
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah:
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
“Artinya : Dari
Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu
laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) Mudah-mudahan
Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan
atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148].
[6]. Adanya Ikhtilath.
Ikhtilath
adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang
memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita.
Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah,
sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
[7]. Pelanggaran Lain.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya.
Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri) rasa cinta
dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.[Ar-Ruum : 21].
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus
tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsiya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Sehingga
upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat
keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi
manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara
ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang
pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak
dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.
Bila
sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam
memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Marilah
kita berupaya untuk melaksanakan perkawinan secara Islam dan membina
rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata
cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran
Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala [Ali-Imran : 19]
“Artinya : Ya
Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang
menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang
bertaqwa”. [Al-Furqan : 140].
Amiin.
Wallahu a’alam bish shawab.
Wallahu a’alam bish shawab.
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Th I/1415-1994. Diterbitkan Oleh
Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran
241A Surakarta 57152]
Sumber: https://almanhaj.or.id/173-konsep-islam-tentang-perkawinan.html