Pertanyaan.
1. Bagaimana batasan orang jahil dalam agama,
sehingga tidak dihukumi sebagaimana hukum syar’i yang ada. Misal,
bukankah orang Nashrani dan Yahudi dihukumi kafir, pun mereka jahil.
Sedangkan quburiyyin tidak dihukumi kafir? Padahal ini merupakan dasar akidah. Masalah ini masih samar bagi saya.
2. Apabila melanggar suatu larangan, apakah dosa orang yang sudah tahu dan yang belum tahu (jahil) itu sama? Lalu, apakah berdosa bila seseorang tidak mau menuntut ilmu karena
takut terjerumus perkara yang belum diketahui? Berdasarkan dalil, lebih
besar manakah dosa antara orang yang syirik dengan orang yang meminum
khamr (tetapi tahu)?
Mohon penjelasan. (Abu Ihsan Al Pajitany - Yogyakarta)
Jawaban.
Untuk
menjawab pertanyaan antum, kami akan menyampaikan beberapa kaidah dalam
agama ini yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga
permasalahannya dapat dipahami dengan baik.
Di antara kaidah yang kami maksudkan ialah :
Pertama : Menyikapi Manusia Menurut Zhahirnya.
Yaitu
dengan berpedoman kepada lahiriyah orang tersebut. Jika secara
lahiriyah seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat,
melaksanakan kewajiban shalat 5 kali sehari- semalam, berpuasa bulan
Ramadhan, menunaikan zakat, dan lainnya, maka kita menyikapinya sebagai seorang muslim dan mukmin. Adapun isi hatinya kita serahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.
Allah berfirman.
فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ
Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. [At Taubah : 5].
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali berkata, “Ayat
ini menjelaskan, barangsiapa bertaubat, lalu beriman kepada Allah dan
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menegakkan shalat,
dan menunaikan zakat, maka darah dan hartanya terjaga, dan seseorang
pun tidak pantas mengganggunya dengan membunuh atau mengepung. Hal itu
meliputi orang yang melakukan dengan sebenarnya atau secara lahiriyah
saja.” [1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَإِذَا قَالُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ
وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ
قَرَأَ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ
Aku
diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka
mengatakan laa ilaaha illa Allah, jika telah mengatakan laa ilaaha illa
Allah, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali
dengan haknya, sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah.
Kemudian, beliau membaca (firman Allah yang artinya) : Sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. [Ghasyiyah : 21-22].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah,” menunjukkan bahwa menghukumi seseorang di dunia ini ialah dengan apa yang ditunjukkan oleh lahiriyahnya. [2]
Demikian sebagian dalil tentang kaidah ini. Dalil-dalil lainnya dapat dilihat dalam kitab Riyadhus Shalihin,
karya Imam Nawawi, bab Ijra’ Ahkamin Naas ‘Ala ADh Dhahir, Was Sara-iru
Ilallah (Menghukumi manusia sesuai dengan dhahirnya, sedangkan isi
hatinya diserahkan kepada Allah).
Oleh
karena itulah Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah -di dalam aqidah
Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau riwayatkan dari imam Abu Hanifah
dan lainnya- mengatakan, “Kami
tidak menyatakan kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan, terhadap
mereka (kaum muslimin) selama tidak nampak dari mereka sesuatupun
tentang hal itu. Dan kami menyerahkan isi hati mereka kepada Allah
Ta’ala.”
Lalu perkataan tersebut dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi dengan perkataannya, “Karena
sesungguhnya kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan
lahiriyah (yang nampak), dan kita telah dilarang dari persangkaan dan
mengikuti apa-apa yang tidak memiliki ilmunya.” [Minhah Al Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 173].
Kedua
: Berdasarkan kaidah di atas, maka orang-orang yang tidak beragama
Islam (baik mereka ahlul kitab : Yahudi, Nashrani, atau memeluk agama
selain Islam : Hindu, Budha, dan lainnya, atau tidak memeluk agama sama
sekali), maka di dunia ini dihukumi dan disikapi sebagai orang-orang kafir.
Kita wajib meyakini kebatilan semua agama selain Islam.
Meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan para pemeluknya, dan
membenci mereka karena Allah, disebabkan kekafiran mereka. Hal itu
termasuk mengingkari thaghut, yang merupakan salah satu rukun laa
ilaaha illallah. Allah berfirman
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat. [Al Baqarah : 256].
Dia juga berfirman,
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا
بِاللهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka,”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja.” [Al Mumtahanah : 4].
Dengan
tegas Allah mengkafirkan ahlul kitab dan orang-orang musyrik di
berbagai tempat dalam Al Qur’an. Antara lain Dia berfirman,
لَّقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ
إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهُُ وَاحِدُُ وَإِن لَّمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ
لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan:”Bahwanya Allah salah satu dari
yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang berhak disembah)
selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka
katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih. [Al Maaidah : 73]
Barangsiapa
tidak mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah, maka
hendaklah mengoreksi kembali aqidahnya. Ketika menyebutkan 10 perkara
yang membatalkan Islam, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
antara lain menyatakan,“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.”
Ketiga : Sedangkan orang-orang yang dhahirnya Islam, jika pada mereka didapatkan unsur kemusyrikan atau kekafiran, maka tidak dikafirkan secara langsung. Dapat
dikafirkan setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yaitu dengan
terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan tidak ada
penghalang-penghalang kekafiran.
Syarat-syarat kekafiran yang dimaksud ialah : ilmu, qashd (sengaja, niat) dan ikhtiyar (sukarela, pilihan dan kemauan sendiri).
Adapun penghalang-penghalang kekafiran berupa hal-hal sebaliknya di atas, yaitu : kebodohan, tidak sengaja (keliru, lupa, salah memahami nash, dan semacamnya), dan terpaksa. [3]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung mengkafirkan Mu’adz bin
Jabal, ketika ia bersujud kepada beliau. Padahal bersujud kepada selain
Allah merupakan kemusryikan. Hal itu karena Mu’adz tidak mengetahui,
bahwa bersujud kepada beliau adalah kemusyrikan.
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ
الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا
هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ
لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ
نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ
يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا
Dari
Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata, ketika Mu’adz datang dari Syam, dia
bersujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,“Apa ini, wahai Mu’adz?!”
Mu’adz menjawab,“Aku mendatangi kota Syam, aku mendapati mereka
bersujud kepada uskup-uskup dan panglima-panglima perang mereka. Maka
aku menginginkan dalam hatiku, agar kami melakukannya terhadap anda.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah
kamu lakukan! Sesungguhnya jika aku memerintahkan seseorang untuk
bersujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan isteri agar sujud
kepada suaminya.” [HR Ibnu Majah no. 1853. Syeikh Al Albani mengumpulkan dan membicarakan jalan-jalan hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil 7/55-58]
Demikian
juga orang yang tertutup akalnya karena sangat gembira atau lainnya;
tidak menjadi kafir ketika mengucapkan perkataan yang mengandung unsur
kekafiran dengan tidak sengaja. Sebagaimana hadits di bawah ini,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَلَّهُ
أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ
أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ
مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى
شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ
فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ
بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ
عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Sesungguhnya
Allah lebih sangat gembira terhadap taubat hambaNya ketika dia
bertaubat kepadaNya, daripada (gembiranya) salah seorang di antara kamu
yang berada di atas kendaraannya (untanya) di sebuah tanah gersang yang
tidak ada air. Lalu untanya itu kabur darinya. Padahal di atas unta itu
terdapat makanan dan minumannya. Sehingga dia telah berputus-asa dari
untanya tersebut. Lalu dia mendatangi sebuah pohon, kemudian berteduh
di bawah naungannya, dia telah berputus-asa dari untanya tersebut.
Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba dia mendapatkan untanya
berdiri di dekatnya, maka dia memegangi kendalinya, lalu berkata karena
sangat gembiranya,“Wahai Allah, Engkau adalah hamba-ku, dan aku adalah
Rabb-Mu.” Dia keliru (mengucapkan kalimat) karena sangat gembira. [4]
Dan dalil-dalil lainnya tentang masalah ini.
Dengan
demikian kita mengetahui, bahwa “barangsiapa yang telah pasti
keislamannya, maka keislaman tersebut tetap ada padanya, sehingga
hilang dengan sesuatu yang meyakinkan”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seseorang
pun, tidaklah berhak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin,
walaupun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai
ditegakkan hujjah (argumen) atasnya dan jalan yang benar jelas baginya.
Karena orang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka
keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan. Bahkan
keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan
syubhat (kesamaran).” [Majmu’ Fatawa 12/465-466].
Beliau juga menyatakan,“Pengkafiran
terhadap seseorang tertentu dan kebolehan membunuhnya, terhenti pada
sampainya hujjah kenabian; yang barangsiapa menyelisihinya menjadi
kafir. Karena tidaklah setiap orang yang bodoh terhadap sesuatu dari
agamanya ini, lalu dia menjadi kafir.” [Ar Raddu ‘Alal Bakri, hal. 258].
Keempat
: Bahwa siksaan Allah di dunia dan akhirat ditimpakan setelah
kedatangan hujjah (argumen) Allah, berupa diutusnya rasul Allah. Dia
berfirman,
وَمَاكُنَّا مُعَذَّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al Isra : 15]
Imam Ibnu Katsir berkata,“(Ayat
ini) memberitakan keadilan Allah Ta’ala. Bahwa Dia tidak akan menyiksa
seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dengan diutusnya
para rasul kepadanya.”
Demikian juga firmanNya,
رُّسُلاً
مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ
حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. [An Nisa : 165].
Ayat-ayat
di atas dan yang semisalnya menunjukkan, bahwa Allah tidak akan
menyiksa terhadap perbuatan kekafiran ataupun lainnya, sampai tegak
hujjah kepada orang yang melakukan perbuatan itu. Tegaknya hujjah itu
dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan ketiadaan
penghalang-penghalangnya.
Demikian pula dalil-dalil dari As Sunnah menunjukkan apa yang telah ditunjukkan oleh Al Qur’an.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi
(Allah) yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun dari umat
ini -baik Yahudi atau Nashrani- mendengar tentang aku, kemudian dia
mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali
dia termasuk penduduk neraka. [5]
An Nawawi rahimahullah berkata,“Di
dalam hadits ini terdapat dalil terhapusnya seluruh agama dengan
risalah Nabi kita Muhammad. Dan di dalam pemahaman hadits ini, bahwa
orang yang tidak kesampaian dakwah Islam, maka dia ma’dzur (dima’afkan).” [6].
Maka
jelaslah bahwa, di dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan udzur kepada orang-orang Yahudi dan Nashara yang tidak mendengar tentang beliau,
sehingga mereka tidak wajib masuk neraka, sebagaimana orang-orang yang
mendengar tentang beliau, tetapi tidak beriman kepada beliau, maka
mereka wajib masuk neraka.” [7].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata,“Maka
benarlah, bahwasannya tidaklah seseorang menjadi kafir sehingga sampai
kepadanya perkara (perintah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [8].
Oleh
karena itulah orang-orang kafir yang tidak kesampaian dakwah yang
dibawa oleh para Rasul, pada hari kiamat tidak langsung disiksa, tetapi
mereka diuji. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Empat (jenis manusia) akan berhujjah (membela diri) pada hari kiamat : orang tuli yang tidak mendengar apa-apa, orang yang dungu, orang yang pikun, dan orang yang mati di zaman fatrah (tidak mendapati Rasul yang diutus).
Adapun orang yang tuli akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar apa-apa.’
Orang yang dungu akan berkata,‘Wahai
Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham
sedikitpun, dan anak-anak kecil melempariku dengan kotoron hewan.’
Orang yang pikun akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun.’
Dan orang yang mati di zaman fatrah akan berkata,’Wahai Rabb, tidak ada RasulMu yang mendatangiku.’
Maka
mereka semua diambil perjanjian yang berisi, bahwa mereka semua
benar-benar akan mentaatiNya. Kemudian mereka diperintahkan untuk
memasuki neraka. Maka barangsiapa memasukinya, neraka itu menjadi
dingin dan menyelamatkan. Dan barangsiapa yang tidak memasukinya, dia
diseret ke dalamnya.” [9].
Kelima
: Kita tidak boleh menyatakan, bahwa seseorang tertentu sebagai
penduduk surga atau neraka, kecuali dengan nash (dalil wahyu) Al Qur’an
dan As Sunnah.
Telah
kami sampaikan, bahwa manusia itu disikapi dengan dhahirnya. Namun
demikian kita tidak boleh menyatakan terhadap orang-orang tertentu
–berdasarkan lahiriyah tersebut- sebagai penduduk neraka atau surga,
kecuali berdasarkan wahyu. Karena hal itu termasuk perkara ghaib. Kita
tidak mengetahuinya.
Kita
dapat mengatakan, bahwa sepuluh sahabat yang ketika masih hidup
mendapat berita gembira sebagai penduduk surga adalah sebagai penduduk
surga. Karena hal itu disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita
tidak boleh menyatakan seseorang tertentu sebagai penduduk surga dengan
tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat
keimanan. Termasuk perkataan sebagian kaum muslimin,“Syahid Fulan………….”
Demikian
juga kita dapat mengatakan, bahwa Fir’aun dan Abu Lahab adalah penghuni
neraka. Karena disebutkan dalam Al Qur’an. Juga ‘Amr bin Luhai Al
Khuza’i sebagai penghuni neraka, karena disebutkan dalam hadits yang
shahih. Tetapi kita tidak boleh mengatakan tentang seseorang tertentu
sebagai penghuni neraka jika tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah
padanya terdapat sifat-sifat kekafiran.
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah berkata dalam aqidah Ahlis Sunnah yang beliau tuliskan, “Dan
kami tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada
surga dan tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin)
pada neraka.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah dengan menyatakan, “Yang
beliau maksudkan, bahwa kita tidak mengatakan terhadap seseorang
tertentu dari ahli kiblat (kaum muslimin), bahwa dia termasuk penduduk
surga atau neraka, kecuali yang telah diberitakan oleh Ash Shadiq (Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [10].
Keenam
: Telah kami sampaikan, bahwa kebodohan (ketiadaan ilmu) merupakan
salah satu penghalang seseorang dikafirkan, sehingga pelakunya
diampuni. Tetapi hal ini bukanlah berlaku secara mutlak. Ada perincian
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlis Sunnah Wal Jama’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Adapun pengkafiran, yang benar ialah :
1. Barangsiapa di antara umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan. Bahkan kesalahannya diampuni.
1. Barangsiapa di antara umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan. Bahkan kesalahannya diampuni.
2. Barangsiapa yang telah jelas terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, lalu dia menentang Rasul setelah petunjuk jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan mukminin, maka dia kafir.
3. Dan barangsiapa yang mengikuti hawa-nafsunya, meremehkan dalam mencari al haq, dan berbicara dengan tanpa ilmu, maka dia bermaksiat lagi berdosa.” [11].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Terdapat
perbedaan antara muqallid -orang tidak berilmu dan ikut-ikutan- yang
mampu untuk mencari ilmu dan mengenal al haq, lalu dia berpaling dari
al haq, dengan muqallid yang sama sekali tidak mampu melakukannya.
Kedua golongan tersebut ada pada kenyataan.
Maka orang yang mampu tetapi berpaling, dia termasuk orang yang meremehkan dan meninggalkan kewajibannya, tidak ada ampunan baginya di sisi Allah.
Adapun orang yang tidak mampu bertanya dan mencari ilmu sama sekali, mereka ada dua kelompok.
Pertama : Orang yang menghendaki petunjuk, mementingkannya dan mencintainya, tetapi tidak mendapatkannya,
dan tidak dapat mencarinya karena tidak ada yang membimbingnya. Hukum
orang ini sama seperti orang-orang yang hidup di zaman fatrah, dan
orang-orang yang tidak kesampaian dakwah.
Kedua : Orang
yang berpaling, tidak ada kemauan terhadap al haq, dan tidak
membicarakan dengan dirinya selain apa yang ada padanya sendiri.
Orang yang pertama akan berkata,“Wahai
Rabb-ku, seandainya aku mengetahui Engkau memiliki agama yang lebih
baik dari agama yang aku peluk, niscaya aku akan beragama dengan
agamaMu itu, dan aku tinggalkan agama yang aku peluk. Tetapi aku tidak
mengetahui kecuali agama yang aku peluk, dan aku tidak mampu
(mendapatkan) agama yang lain. Itulah batas usahaku dan puncak
pengetahuanku.”
Sedangkan orang kedua, dia
ridha terhadap apa yang ada padanya. Tidak mengutamakan selain yang ada
padanya, dan jiwanya tidak mencari yang lainnya. Maka tidak ada
perbedaan, antara ketidak-mampuannya dengan keadaan mampunya (tersebut).
Kedua kelompok di atas sama-sama tidak mempunyai kemampuan.
Tetapi kelompok yang kedua ini tidaklah harus diikutkan (hukumnya)
dengan yang pertama. Karena terdapat perbedaan di antara keduanya.
Yang
pertama, seperti orang yang mencari agama (yang haq) di zaman fatrah,
tetapi dia tidak mendapatkannya, sehingga menyimpang darinya (agama
yang haq) dalam keadaan lemah dan tidak berilmu setelah mengerahkan
segenap usaha untuk mencarinya. Sedangkan yang kedua, seperti orang
yang tidak mencarinya (agama yang haq). Bahkan dia mati di atas
kemusyrikan. (Walaupun) seandainya dia mencarinya, niscaya tidak
mendapatkannya.
Maka
berbeda antara kelemahan orang yang sudah mencari, dengan orang yang
berpaling. Hendaklah anda perhatikan masalah ini. Karena Allah akan
menghukumi di antara hamba-hambaNya pada hari kiamat dengan hukumNya
dan keadilanNya. Dia tidak akan menyiksa, kecuali setelah tegaknya
hujjah terhadap orang itu dengan diutusnya para rasul. Tegaknya hujjah
dengan diutusnya para rasul ini sudah terjadi terhadap seluruh manusia
secara umum.
Tentang
keadaan diri Si Zaid ataupun Si Amr; apakah telah tegak hujjah atau
belum? Maka hal itu satu perkara antara Allah dengan hambaNya, yang
tidak mungkin diketahui secara pasti. Tetapi yang wajib atas hamba
adalah berkeyakinan, bahwa barangsiapa beragama selain agama Islam,
maka dia kafir. Allah tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah
tegaknya hujjah kepadanya dengan diutusnya para rasul. Ini secara umum.
Adapun orang-orang tertentu diserahkan kepada ilmu Allah dan hukumNya,
dalam hukum pahala dan siksa. Adapun hukum dunia, maka berlaku sesuai
dengan perkara lahiriyah.” [12].
Demikian jawaban kami, semoga menghilangkan kebingungan anda.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin I/459, karya Syeikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
[2]. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin I/460
[3]. Lihat Mujmal Masailil Iman Al ‘Ilmiyyah Fii Ushulil ‘Aqidah As Salafiyyah, hal. 17-18, karya bersama lima murid Syeikh Al Albani, Al Qawaidul Mutsla Fii Shifatillah Wa Asmaa-ihil Husna, hal. 148-154, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya
[4]. HR Bukhari, Muslim no. 2766, dari Abu Sa’id Al Khudri
[5]. HR Muslim no. 152, dari Abu Hurairah
[6]. Syarh Nawawi 2/188
[7]. Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, hal. 194, karya Syeikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
[8]. Al Fashlu Fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal 3/302. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, hal. 194
[9]. HR Ahmad dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Syeikh Al Albani. Lihat Shahih Al Jami’ush Shaghir no. 894
[10]. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 426, Takhrij hadits Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[11]. Majmu’ Fatawa 12/180
[12]. Thariqul Hijratain, hal. 412-413, karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah
Footnote
[1]. Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin I/459, karya Syeikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
[2]. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin I/460
[3]. Lihat Mujmal Masailil Iman Al ‘Ilmiyyah Fii Ushulil ‘Aqidah As Salafiyyah, hal. 17-18, karya bersama lima murid Syeikh Al Albani, Al Qawaidul Mutsla Fii Shifatillah Wa Asmaa-ihil Husna, hal. 148-154, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya
[4]. HR Bukhari, Muslim no. 2766, dari Abu Sa’id Al Khudri
[5]. HR Muslim no. 152, dari Abu Hurairah
[6]. Syarh Nawawi 2/188
[7]. Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, hal. 194, karya Syeikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
[8]. Al Fashlu Fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal 3/302. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, hal. 194
[9]. HR Ahmad dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Syeikh Al Albani. Lihat Shahih Al Jami’ush Shaghir no. 894
[10]. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 426, Takhrij hadits Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[11]. Majmu’ Fatawa 12/180
[12]. Thariqul Hijratain, hal. 412-413, karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah
Sumber: https://almanhaj.or.id/2989-orang-bodoh-dimaafkan.html