Pelajaran Manhaj dari Surat al-Fatihah
Di dalam surat al-Fatihah terkandung pelajaran tentang
manhaj atau cara beragama yang benar di dalam Islam. Manhaj yang benar itu
adalah mengikuti salafus shalih; para pendahulu yang salih dari umat ini yaitu
para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Di dalam surat al-Fatihah kita berdoa kepada Allah (yang
artinya), “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.” Siapakah orang-orang
yang berjalan di atas jalan yang lurus itu? Allah berfirman (yang artinya), “Yaitu
jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” Siapakah yang
dimaksud ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ itu? Mereka itu adalah
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Yaitu
para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang salih.” (an-Nisaa’ : 69)
(lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih oleh
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 7-8).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka
itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Dan anda setiap raka’at selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk
kepada jalan mereka itu.” (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal.
17).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran
shirothol mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul
‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau.” ‘Ashim berkata, “Kami pun
menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa
yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139).
Jalan yang lurus ini juga disebut dengan jalan kaum beriman.
Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan ancaman keras bagi orang-orang yang
menyimpang dari jalan kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain
jalan kaum beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam
kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam,
dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”
(an-Nisaa’ : 115).
Para sahabat yaitu yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan
Anshar mereka itulah teladan bagi kaum beriman sesudah mereka. Jalan yang
mereka tempuh adalah jalan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang
yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan
juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian mencela para sahabatku! Sesungguhnya seandainya salah seorang diantara
kalian memberikan infak sebesar gunung Uhud berupa emas maka hal itu tidak bisa
menyaingi infak mereka yang hanya satu mud, bahkan setengahnya saja tidak.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka
mereka itulah teladan bagi umat ini. Dan manhaj mereka itu adalah jalan yang
mereka tempuh dalam hal aqidah, dalam hal mu’amalah, dalam hal akhlak, dan
dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang diambil dari al-Kitab dan
as-Sunnah karena kedekatan mereka dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Mereka mengambilnya dari
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka itu adalah sebaik-baik
kurun, dan manhaj mereka adalah manhaj yang terbaik.” (lihat Manhajus
Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 2-3).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga
menasihatkan, “Dan tidak mungkin mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan
cara mempelajari madzhab mereka, manhaj mereka, dan jalan yang mereka tempuh.
Adapun semata-mata menyandarkan diri kepada salaf atau salafiyah tanpa disertai
pemahaman tentang hakikat dan manhajnya maka hal ini tidak bermanfaat sama
sekali. Bahkan bisa jadi justru menimbulkan mudharat. Oleh sebab itu harus
mengenal hakikat manhaj salafush shalih.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa
Haajatul Ummah ilaih, hal. 3).
Di dalam surat al-Fatihah, Allah pun telah menjelaskan
kepada kita bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah dengan memadukan antara
ilmu dan amal. Sebab hakikat jalan yang lurus ini adalah mengenali kebenaran
dan beramal dengannya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah
dalam tafsirnya Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).
Oleh sebab itu kemudian dijelaskan dalam lanjutan ayat (yang
artinya), “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai.” Mereka itu adalah
orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang Yahudi. Dimana mereka
telah mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Setiap
orang yang meniti jalan kaum Yahudi dari kalangan umat ini -setiap orang yang
mengenali kebenaran tetapi tidak mengamalkannya- maka dia berada di atas jalan
kaum Yahudi -di atas jalan orang-orang yang dimurkai- karena dia telah
mengenali kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya. Dia mengambil ilmu
tetapi meninggalkan amal. Dan setiap orang yang berilmu tetapi tidak
mengamalkan ilmunya maka dia termasuk golongan orang-orang yang dimurkai (lihat
Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8).
Jalan yang lurus ini ditegakkan di atas ilmu. Tidak cukup
bermodalkan semangat untuk beramal apabila tidak disertai dengan landasan ilmu.
Oleh sebab itu dalam lanjutan ayat Allah berfirman (yang artinya), “Dan
bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Mereka itu adalah orang-orang
yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka beribadah
dan mendekatkan diri kepada Allah namun tidak di atas jalan yang benar. Tidak
berada di atas manhaj yang lurus. Tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan
as-Sunnah. Yaitu berada di atas kebid’ahan. Padahal setiap bid’ah itu adalah
sesat. Hal ini sebagaimana keadaan yang ada pada kaum Nasrani dan orang-orang
yang mengikuti jalan mereka; yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah
tetapi tidak di atas jalan yang benar dan tidak di atas manhaj yang lurus. Maka
orang semacam itu adalah tersesat. Dia menyimpang dari jalan yang benar dan
amalnya menjadi sia-sia (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah
ilaih, hal. 8-9).
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami
kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu
orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka
menyangka bahwa dirinya telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi :
103-104).
Ayat tersebut dijelaskan oleh para ulama bersifat umum
mencakup kaum Yahudi dan Nasrani bahkan juga kaum Khawarij dan siapa saja yang
beribadah kepada Allah tidak di atas jalan yang benar dimana dia mengira bahwa
dia berada di atas kebenaran dan menyangka bahwa amalnya pasti diterima padahal
sesungguhnya dia telah keliru dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, 5/201-202).
Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa menyimpang dari
jalan yang lurus ini -baik dalam hal ilmu ataupun amalan- maka hal itu memiliki
dampak yang sangat membahayakan. Akibat terburuknya adalah keluar dari jalan
Islam dan terjerumus dalam syirik dan kekafiran. Oleh sebab itulah sangat wajar
apabila kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah meminta petunjuk menuju
jalan yang lurus ini di dalam setiap raka’at sholat kita. Karena begitu
besarnya kebutuhan kita terhadap hidayah itu. Tanpa hidayah maka seorang hamba
pasti celaka dan binasa.
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata,
“…Kebutuhan hamba kepada hidayah ini lebih besar daripada kebutuhannya kepada
makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu adalah bekal kehidupannya
yang fana. Adapun hidayah menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya
yang kekal dan abadi.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152).
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata,
“Adapun firman-Nya (yang artinya), ‘yang Engkau berikan nikmat kepada
mereka’ maka ia memberikan pelajaran bahwasanya berjalannya seorang hamba
di atas jalan yang lurus itu merupakan nikmat dari Allah. Kalaulah bukan karena
nikmat dari Allah untuk berjalan di jalan lurus itu maka dia tidak akan bisa
berjalan dan meniti di atasnya, akan tetapi hal itu semata-mata karena Allah
karuniakan nikmat kepadanya.” (lihat Min Hidayat Surah al-Fatihah, hal.
30).
Semua orang menjadi merugi dan celaka apabila tidak
mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah. Karena dengan hidayah itulah mereka
bisa beriman dan beramal salih. Tanpa hidayah dari Allah maka tidak ada seorang
pun yang bisa beriman, beramal, ataupun berdakwah dan bersabar. Padahal iman,
amal salih, dakwah, dan kesabaran adalah kunci-kunci kebahagiaan.
Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya
manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman,
beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk
menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3).
Jalan yang lurus ini adalah jalan para nabi, jalan yang
ditempuh oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa
patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang
musyrik. Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan
menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl : 120-121).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus
itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas
syari’at yang diridhai.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 4/611).
Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata,
“Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang
menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab
yang diturunkan-Nya ialah al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim al-Khalil ‘alahis
salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul
sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam
tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’ Syarh
al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14).
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata,
“al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa
ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak
disembah selain Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 11)
Qatadah rahimahullah berkata, “al-Hanifiyah itu
adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
1/448 oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah).
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus
seorang nabipun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada
sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’
: 25).
Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan
kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl :
123).
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya
sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus,
agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk
golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada
Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi
mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada
selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330).
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi
kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.
Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian
dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah :
4).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah
disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara
kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan
berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman
kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan
beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan
segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87).
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah mendapatkan
sekian banyak sanjungan dan pujian dari Allah. Beliau yang menegakkan dakwah
tauhid ini kepada kaumnya dan menghadapi berbagai macam hambatan dan rintangan
dengan penuh kesabaran. Ibrahim yang dinyatakan oleh Allah berada di atas jalan
yang lurus. Namun, lihatlah bagaimana beliau ‘alaihis salam sangat
merasa takut kalau dirinya terjerumus dalam syirik dan penyembahan berhala.
Beliau berdoa (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari
menyembah patung.” (Ibrahim : 35)
Apabila orang seperti beliau memiliki rasa takut yang
sedemikian besar terhadap syirik -yang itu merupakan bentuk penyimpangan
terburuk dari jalan yang lurus- maka bagaimanakah lagi dengan orang-orang yang
berada di bawah kedudukan beliau? Apakah kita pantas untuk merasa aman dari
kesesatan dan penyimpangan?! Demi Allah, wahai saudaraku, tidak ada yang bisa
menjaga kita untuk tetap berjalan di atas kebenaran kecuali hanya Allah saja…
Doa Memohon Hidayah
Di dalam al-Fatihah kita juga dibimbing untuk berdoa kepada
Allah dengan doa yang sangat agung, yaitu memohon limpahan hidayah. Hidayah
untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus, jalan yang benar. Sehingga orang
itu akan bisa keluar dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya yang
terang-benderang dan pada akhirnya sukses meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kebutuhan hamba terhadap hidayah ini jauh lebih besar daripada kebutuhannya
terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman adalah bekal
kehidupannya yang fana, sementara hidayah menuju jalan lurus adalah bekal
menuju kehidupan yang abadi. Doa ini -ihdinash shirathal mustaqim- berisi
permintaan untuk tegar di atas hidayah dan juga permohonan untuk mendapatkan
tambahan hidayah (lihat Min Kunuz al-Qur’an oleh Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah).
Hidayah yang kita mohon setiap hari ini mencakup dua bentuk
hidayah; hidayah berupa bimbingan dan arahan, serta hidayah berupa bantuan dan
pertolongan. Hidayah yang pertama biasa disebut dengan hidayatul irsyad wal
bayan, sedangkan hidayah yang kedua dikenal dengan istilah hidayatut taufiq wal
ilham. Dengan bahasa lain, kita meminta kepada Allah agar diberi ilmu dan juga
amal. Kita memohon kepada Allah agar bisa mengenali kebenaran dan tunduk
mengikutinya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 24).
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan.
Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah
mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-.
Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti
jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal
itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas
jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi,
shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah
ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang
yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu
dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan
meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil
amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 25).
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang
lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar
seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka
berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang
terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang
mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi
aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru
melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang berilmu diantara kita maka
padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara
orang-orang yang gemar beribadah diantara kita maka padanya terdapat keserupaan
dengan Nasrani.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152-153).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
“Di dalamnya -surat al-Fatihah- juga terkandung bantahan bagi Yahudi; mereka
itu adalah golongan almaghdubi ‘alaihim -kaum yang dimurkai- dan juga bantahan
bagi siapa pun yang mengikuti jalan hidup mereka; yaitu orang yang berilmu
tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi
Nasrani yang suka beribadah kepada Allah tanpa mengikuti petunjuk.” (lihat
Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 10-11).
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “…
Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak
akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa
bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela
orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).
Dengan dua bentuk hidayah inilah -ilmu dan amal- seorang
akan berjalan di atas kebenaran dan menggapai keselamatan. Oleh sebab itu setan
berusaha merusak manusia dalam hal ilmu ataupun dalam hal amalnya. Apabila
rusak ilmunya maka orang itu menjadi sesat, dan apabila rusak amalnya maka
orang itu menjadi dimurkai Allah. Sehingga setan berusaha menebar fitnah
syubhat untuk merusak ilmu, dan menebar fitnah syahwat untuk merusak amal
manusia. Karena itulah kita juga dibimbing untuk berdoa setiap pagi seusai
sholat subuh dengan membaca doa yang berbunyi ‘allahumma inni as’aluka
‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan’ (yang
artinya), “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang
baik, dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani)
(lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min
Hidayat Surah al-Fatihah, hal. 32-33).
Rangkuman Faidah Ilmu Surat al-Fatihah
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, berikut ini kami sajikan
ringkasan penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengenai
faidah-faidah yang terkandung dalam surat al-Fatihah.
Pada kalimat yang berbunyi ‘alhamdulillahi Rabbil
‘alamin’ terkandung faidah :
· Pujian kepada Allah
· Kesempurnaan sifat-sifat Allah
· Kesempurnaan nikmat-nikmat-Nya kepada segenap hamba
· Penetapan uluhiyah/sifat ketuhanan pada diri Allah, hanya Allah sesembahan yang haq
· Pujian yang mutlak dan sempurna hanya layak diberikan kepada Allah
· Penetapan rububiyah Allah. Rabb ialah yang mencipta, menguasai, dan mengatur
· Dalil bahwa seluruh alam sangat membutuhkan kepada Allah
· Malaikat, para rasul, dan wali tidak memiliki hak dalam mengatur dan mencipta alam
· Tidak boleh berdoa dan memohon keselamatan kepada selain Allah
· Dalil bahwa alam semesta ini adalah sesuatu yang baru dan sebelumnya tidak ada
· Seluruh alam adalah tanda/bukti yang menunjukkan keberadaan Allah
· Penetapan tauhid uluhiyah; hanya Allah yang berhak disembah
· Iman kepada takdir Allah
· Pada kalimat yang berbunyi ‘arrahmanirrahiim’ terkandung faidah :
· Penetapan sifat rahmat pada diri Allah
· Dalil yang menunjukkan keluasan rahmat Allah
· Allah menyampaikan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
· Rahmat Allah ada yang diberikan kepada semua orang dan ada yang khusus bagi kaum beriman
· Bantahan bagi orang yang mengingkari sifat rahmat pada diri Allah
· Penetapan tauhid asma’ wa shifat
· Pada kalimat yang berbunyi ‘maaliki yaumid diin’ terkandung faidah :
· Penetapan adanya hari pembalasan (hari kiamat)
· Kekuasaan Allah pada hari kiamat akan tempak dengan jelas bagi seluruh manusia
· Pada hari kiamat tiada lagi raja yang berkuasa selain Allah
· Iman kepada hari akhir
· Penetapan adanya balasan dan hisab atas amal
· Targhib/motivasi untuk beramal salih dan tarhib/peringatan dari melakukan keburukan
· Kesempurnaan hikmah Allah dengan adanya hari pembalasan atas amal umat manusia
· Kesempurnaan keadilan Allah
· Pada kalimat yang berbunyi ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung faidah :
· Perendahan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan
· Kebutuhan manusia untuk beribadah dan memohon pertolongan Allah
· Mengikhlaskan/memurnikan ibadah kepada Allah semata
· Terkandung makna dari kalimat laa ilaha illallah
· Wajibnya mengikuti syari’at rasul
· Ibadah hanya akan diterima jika bersih dari kesyirikan
· Memohon pertolongan semata-mata kepada Allah
· Menghadirkan perasaan memohon pertolongan kepada Allah di saat beribadah
· Tiga hal yang dibutuhkan dalam ibadah; ikhlas, mutaba’ah, dan isti’anah
· Ibadah adalah hak Allah dan pertolongan adalah bagian untuk hamba
· Boleh meminta pertolongan kepada orang dalam hal yang dikuasai manusia
· Berbicara dengan mengubah metode pembicaraan lebih menggugah kesadaran
· Persatuan umat dalam hal ibadah dan memohon pertolongan kepada Allah
· Kesetaraan imam dan makmum dalam menghamba kepada Allah
· Selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam urusan sekecil apapun
· Hendaklah mengucapkan insya Allah ketika berencana untuk melakukan sesuatu
· Pada kalimat yang berbunyi ‘ihdinash shirathal mustaqim’ terkandung faidah :
· Hidayah terbagi dua; hidayah berupa ilmu dan hidayah berupa taufik
· Berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus
· Setiap insan selalu membutuhkan Allah, oleh sebab itu tidak layak untuk merasa ujub
· Hidayah perlu dicari bukan hanya ditunggu dengan berdiam diri
· Agama Islam ini luas sehingga bisa menampung siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya (tentu saja dengan mematuhi aqidah dan syari’at di dalamnya, pen)
· Islam adalah agama yang menyeluruh dan lengkap mengatur segala sisi kehidupan
· Bantahan pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan hamba dengan Allah
· Islam mengatur muamalah antar sesama, buktinya ayat terpanjang membahas tentang hutang
· Islam juga mengatur bagaimana sikap manusia terhadap binatang
· Selain jalan yang lurus ada jalan-jalan lain yang tidak lurus dan menyimpang
· Agama Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengandung penyimpangan
· Kesempurnaan hikmah Allah dengan menetapkan jalan yang lurus ini
· Tiada pemberi hidayah yang sejati kecuali Allah
· Pada kalimat yang berbunyi ‘shirathalladziina an’amta ‘alaihim’ terkandung faidah :
· Orang yang diberi nikmat itu mencakup; para nabi, shiddiqin, syuhada’/orang-orang yang mati syahid di jalan Allah dan orang-orang salih
· Allah berikan nikmat kepada mereka dengan tunduk kepada syari’at-Nya
· Perlu mengkaji sejarah perjalanan hidup orang-orang yang diberi nikmat
· Anjuran untuk mengetahui sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
· Nikmat agama jauh lebib agung daripada nikmat keduniaan
· Orang yang meniti jalan yang lurus maka dia sedang berada di dalam kenikmatan
· Allah lah yang berjasa dan memberikan nikmat atas hamba-hamba-Nya
· Hendaknya memuji Allah atas segala amal salih yang telah kita lakukan
· Iman kepada malaikat, karena nabi dan rasul -yang mereka termasuk golongan orang yang diberi nikmat itu- mendapatkan wahyu dari Allah melalui para malaikat
· Pada kalimat yang berbunyi ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin’ terkandung faidah :
· Orang yang dimurkai adalah yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya
· Orang yang sesat adalah yang tidak mengetahui kebenaran sehingga menyimpang
· Yahudi adalah imamnya kaum yang dimurkai dan Nasrani imamnya kaum yang tersesat
· Manusia ada 3 macam; orang yang diberi ilmu dan amal, yang diberi ilmu saja tanpa amal, dan orang yang tidak diberi ilmu sehingga tidak bisa beramal dengan benar
· Besarnya dosa orang yang berilmu tetapi tidak diamalkan, karena Allah murka kepadanya
· Perlunya kita mengetahui kisah perjalanan hidup orang-orang yang dimurkai
· Wajibnya berlepas diri dari jalan orang-orang yang dimurkai dan tersesat
· Larangan bertasyabbuh/meniru-niru kebiasaan orang-orang kafir
· Wajibnya memusuhi dan membenci orang-orang yang dimurkai dan tersesat
· Kedua kelompok itu -baik yang dimurkai atau yang tersesat- adalah sama-sama buruk
· Kewajiban menimba ilmu agar terbebas dari kebodohan
· Kewajiban menunaikan amal dan ibadah agar tidak termasuk kelompok yang dimurkai
· Orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mengikutinya lebih jelek keadaannya daripada orang yang tidak mengetahui kebenaran sama sekali
· Kewajiban untuk menerapkan ilmu yang telah dimiliki
· Kita wajib membenci dan murka kepada orang-orang yang dimurkai oleh Allah
· Kehinaan pada diri orang-orang yang dimurkai
· Penetapan sifat marah/murka pada diri Allah
· Kemurkaan Allah memberikan konsekuensi adanya hukuman dari-Nya
· Sesat adalah sifat tercela sedangkan berilmu adalah sifat kesempurnaan
· Ilmu yang layak mendapatkan pujian secara mutlak adalah ilmu syari’at
· Orang yang tidak tahu tidak layak untuk diberikan hukuman
· Akan tetapi jika orang tersebut malas menimba ilmu sehingga tidak tahu maka dia layak diberi hukuman karena kemalasannya
Kesimpulan :
Surat al-Fatihah adalah induk dan pembuka al-Qur’an. Di
dalamnya telah tekandung macam-macam tauhid, isyarat mengenai
syari’at-syari’at, isyarat mengenai para rasul, malaikat, dan hari akhir.
Demikian pula ia telah menggambarkan berbagai macam kelompok umat manusia.
Semua makna ajaran dalam al-Qur’an telah terangkum di dalam surat ini.
al-Fatihah menyimpan semua syari’at, baik yang berkaitan
dengan ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Baik hal itu yang berkaitan dengan
sesuatu yang dituntut untuk diwujudkan atau sesuatu yang harus dijauhi. Dan
untuk itu semua setiap insan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Intinya
surat ini adalah surat yang sangat penting dan banyak mengandung faidah.
Meskipun demikian tidak selayaknya membaca surat ini pada
setiap kesempatan/acara dalam rangka mencari berkah darinya; karena perbuatan
semacam ini tidak dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun mengobati orang yang sakit dengan membaca surat ini maka hal itu adalah
sesuatu yang diperbolehkan dalam syari’at.
___________________________
Sumber : Ahkam min al-Qur’an al-Karim
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 11 – 50.
Penerbit : Dar Thawiq li Nasyr wa Tauzi’
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel Muslim.or.id