Sifat ini
merupakan kesempurnaan kewaraan dan kejujuran seseorang. Orang yang jujur tidak
akan berdiri dengan kaki lemah dan goyah di hadapan dirinya ketika telah jelas
kekeliruan padanya. Ia tidak akan membayangkan
hal itu akan mengurangi kedudukannya dan tidak pula melemahkan kewibawaannya.
Bahkan, ia akan bersegera memegang kendali kebenaran dan menggigitnya dengan
gigi gerahamnya. Tentu saja, ini membutuhkan penghapusan hawa nafsu dan
anggapan kesucian diri.
As-salafush-shaalih telah
mengajarkan kepada kita manhaj yang jelas lagi terang dalam permasalahan ini.
Inilah dia ‘Umar bin Al-Khaththaab yang menulis sepucuk surat kepada Abu Muusaa
Al-Asyariy radliyallaahu ‘anhuma yang isinya:




ولا يمنعنَّك
قضاءٌ قضيت فيه اليوم فراجعت فيك رأيك ، فهديت فيه لرشدك أن تراجع فيه الحقَّ ،
فإن الحق قديم لا يبطله شيء ، ومراجعة الحق خير من التمادي في الباطل
“Janganlah satu
keputusan yang telah engkau putuskan padanya pada suatu hari mencegahmu untuk
mengkaji ulang pendapatmu, sehingga engkau mendapatkan petunjuk padanya dengan
rujuknya engkau kepada kebenaran. Karena, kebenaran itu qadiim (telah ada semenjak dulu) yang tidak dibatalkan oleh
apapun. Meninjau ulang kebenaran lebih baik daripada terus-menerus dalam
kebathilan”.[1]
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
من آفات التعصب
الماحقة لبركة العلم: أن يكون طالب العلم قد قال بقول في مسألة ، كما يصدر ممَّن
يفتي ، أو يصنِّف ، أو يناظر غيره ، ويشتهر ذلك القول عنه ، فإنه قد يصعب عليه
الرجوع عنه إلى ما يخالفه ، وإن علم أنه الحق وتبيَّن له فساد ما قاله .ولا سبب
لهذا الاستصعاب إلا تأثير الدنيا على الدين ، فإنه قد يسوِّل له الشيطان أو النفس
الأمارة أن ذلك ينقصه ،ويحط من رتبته ، ويخدش في تحقيقه ، ويغض من رئاسته ،وهذا
تخيل مختل ، وتسويل باطل ، فإن الرجوع إلى الحق يوجب له من الجلالة والنبالة وحسن
الثناء ما لا يكون في تصميمه على الباطل ، بل ليس في التصميم على الباطل إلا محض
النقص له والإزراء عليه بالاستصغار لشأنه .
فإن منهج الحق واضح المنار يفهمه أهل العلم ، ويعرفون براهينه ، ولا سيما عند
المناظرة ، فإذا زاغ عنه زائغ تعصباً لقول قد قاله أو رأي رآه ، فإنه لا محالة
يكون عند من يطلع على ذلك من أهل العلم لأحد الرجلين : إما متعصب مجادل مكابر ، إن
كان له من الفهم والعلم ما يدرك به الحق ويتميَّز به الصواب . أو جاهل فاسد الفهم
باطل التصور ، إن لم يكن له من العلم ما يتوصل به إلى معرفة بطلان ما صمَّم عليه
وجادل عنه . وكلا هذين المطعنين فيه غاية الشين
“Termasuk di antara penyakit-penyakit yang ditimbulkan
oleh ta’ashub (fanatik) yang menghapuskan barakah ilmu adalah : Seorang
penuntut ilmu ketika telah mengatakan satu perkataan dalam satu permasalahan,
seperti yang dilakukan oleh orang yang berfatwa, penulis, atau pendebat yang
mendebat orang lain (dengan perkataannya itu); lalu perkataannya itu menjadi
terkenal berasal darinya. Maka, kadang-kadang itu menjadikan dirinya sulit
untuk rujuk pada sesuatu yang menyelisihinya, meski ia mengetahui hal itu benar
dan jelas baginya kekeliruan apa yang dikatakannya. Tidak lain penyebabnya adalah faktor keduniaan yang memasuki agama.
Sungguh, setan dan hawa nafsu telah menggoda dirinya bahwa rujuk kepada
kebenaran akan mengurangi kehormatannya, menurunkan kedudukannya, menodai usaha
pentahqiqannya dan sebagian kepemimpinannya. Ini adalah khayalan orang gila dan
godaan yang bathil. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran akan mengkonsekuensikan
kehormatan, kemuliaan, dan pujian yang baik pada dirinya yang semuanya itu
tidak akan dicapai jika ia tetap berada dalam kebathilan. Bahkan, sikap tetap
berada dalam kebathilan hanya akan menghasilkan perendahan, peremehan, dan
penghinaan terhadap dirinya.
Sesungguhnya manhaj
kebenaran adalah seperti mercusuar terang yang dipahami para ulama dan
diketahui penjelasan-penjelasannya, khususnya saat berdiskusi. Apabila
ada seseorang yang menyeleweng darinya karena kefanatikan terhadap satu
perkataan atau pendapat yang ia pegang; maka para ulama yang melihatnya sebagai
salah satu dari dua jenis orang: (1) orang yang fanatik, suka berdebat, lagi
arogan meskipun ia mempunyai pemahaman dan ilmu yang mengantarkannya pada
kebenaran dan memisahkan kebenaran (dari kebathilan); atau (2) orang bodoh yang
memiliki pemahaman rusak dan persepsi yang bathil, dimana ia tidak memiliki
ilmu yang mengantarkannya untuk mengetahui kebathilan yang ia pertahankan dan
ia debatkan. Dua jenis orang tercela ini menyimpan segudang aib/noda”.[2]
Az-Zamakhsyariy rahimahullah berkata:
إياك والمكابرة
والمغالطة وأنهاك عن الأغاليط وأربأ بك عن التخاليط
“Berhati-hatilah kalian
terhadap sikap arogan dan berputar-putar lidah. Hindarilah
kekeliruan-kekeliruan dan waspadalah terhadap pencampur-adukkan”.[3]
Hawa nafsu kadangkala membutakan manusia sehingga
ia tidak menerima kebenaran yang telah jelas lagi terang.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
والواجب على كل
مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، أن يكون أصل قصده توحيد الله بعبادته وحده لا شريك
له وطاعة رسوله ، يدور على ذلك ويتبعه أين وجده ، ويعلم أن أفضل الخلق بعد
الأنبياء هم الصحابة ، فلا ينتصر لشخص انتصاراً مطلقاً عاماً إلا لرسول الله صلى
الله علىه وسلم ، ولا طائفة انتصاراً مطلقاً عاماً إلا للصحابة –رضي الله عنهم
أجمعين-، فإن الهدى يدور مع الرسول حيث دار ، ويدور مع أصحابه دون أصحاب غيره حيث
داروا ، فإذا أجمعوا لم يُجمعوا على خطأ قط ، بخلاف أصحاب عالم من العلماء ، فإنهم
قد يُجمعون على خطأ ، بل كل قول قالوه ولم يقله غيرهم من الأمة لا يكون إلا خطأ ،
فإن الدين الذي بعث الله به رسوله ليس مُسلَّماً إلى عالم واحد وأصحابه ، ولو كان
كذلك لكان ذلك الشخص نظيراً لرسول الله صلى الله علىه وسلم وهو شبيه بقول الرافضة
في الإمام المعصوم
“Wajib bagi setiap
muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah, menjadikan pokok tujuannya adalah mentauhidkan Allah semata dalam
beribadah tidak ada sekutu bagi-Nya, serta mentaati Rasul-Nya. Ia mesti
berputar dalam lingkaran tersebut dan mengikutinya dimanapun ia berada, dengan
mengetahui bahwa seutama-utama makhluk setelah para nabi adalah para shahabat radliyallaahu
‘anhum. Maka, tidak diperbolehkan membela seseorang dengan pembelaan secara
mutlak kecuali Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak
diperbolehkan membela satu golongan dengan pembelaan secara mutlak kecuali
golongan para shahabat radliyallaahu
‘anhum ajma’iin. Hal itu dikarenakan
petunjuk berputar bersama Rasulullah dan para shahabatnya, bukan selainnya.
Apabila mereka (para shahabat) telah bersepakat (dalam satu perkara), maka
mereka tidak akan bersepakat dalam kekeliruan sedikitpun. Berbeda halnya dengan
shahabat seorang ulama, yang kadang mereka bersepakat dalam kekeliruan. Bahkan,
setiap perkataan yang mereka katakan yang tidak pernah dikatakan oleh umat
selain mereka, adalah satu kekeliruan. Sesungguhnya agama yang Allah utus
dengannya Rasul-Nya tidaklah diterimakan kepada seorang ulama saja dan
shahabat-shahabatnya. Seandainya demikian, niscaya orang tersebut setara dengan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam– dan ini menyerupai perkataan
Raafidlah dalam keyakinan mereka terhadap imam ma’shum mereka”.[4]
Sedikit di antara banyak contoh yang dapat
dibawakan dalam kasus rujuk kepada kebenaran yang ternukil dari para imam kaum
muslimin antara lain adalah:
1. Rujuknya
Ibnul-Anbariy An-Nahwiy rahimahullah.
At-Tanuukhiy rahimahullah berkata:
كان ابن الأنباري
النحوي يُملي من حفظه ، وما أملى من دفتر قط . حكى الدارقطني : أنه حضره يُصحِّف
في اسم ، قال : فأعظمت له أن يُحمل عنه وهم ، وهبتُه ، فعرَّفت مستمليه ، فلمَّا
حضرت الجمعة الأخرى ، قال الأنباري : إنا صحفنا الاسم الفلاني ، ونبهنا عليه ذلك
الشاب على الصواب
“Dulu
Ibnul-Anbariy An-Nahwiy (pakar ilmu nahwu) senantiasa mendiktekan dari
hapalannya, dan ia tidak pernah mendiktekan dari buku catatannya sedikitpun.
Ad-Daaraquthniy menghikayatkan bahwa ia pernah menghadiri majelisnya dan ketika
itu ia (Ibnul-Anbariy) keliru dalam menyebutkan nama seseorang. Ad-Daaraquthniy
berkata : ‘Karena aku menghormatinya dan tidak ingin mempermalukannya, maka aku
berikan kepadanya kertas koreksiannya dan aku beritahukan kepadanya yang pernah
didiktekannya. Ketika tiba Jum’at berikutnya, Al-Anbariy berkata :
‘Sesungguhnya kami telah keliru menyebutkan nama Fulaan, dan pemuda itu (yaitu
Ad-Daaraquthniy) telah memberitahukan yang benar kepada kami”.[5]
2. Rujuknya Ishaaq bin
Raahawaih rahimahullah.
أن إسحاق ابْن
راهويه ناظر الشافعي، وأَحْمَد بْن حنبل حاضر، فِي جلود الميتة إذا دبغت، فقال
الشافعي: دباغها: طهورها. فقال إسحاق: ما الدليل ؟ فقال الشافعي: حَدِيثُ
الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
عَنْ مَيْمُونَةَ، " أَنَّ النَّبِيَّ، صلى الله علىه وسلم مَرَّ بِشَاةٍ
مَيِّتَةٍ، فَقَالَ: " هَلا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا ". فقال إسحاق:
حديث ابْن عكيم: كتب إلينا رَسُول اللَّهِ، صلى الله علىه وسلم قبل موته بشهر:
" لا تنتفعوا من الميتة بإهاب، ولا عصب ". أشبه أن يكون ناسخا لحديث
ميمونة ؛ لأنه قبل موته بشهر. فقال الشافعي: هَذَا كتاب، وذاك سماع. فقال إسحاق:
إن النبي، صلى الله علىه وسلم كتب إِلَى كسرى، وقيصر، وكان حجة عليهم عند اللَّه.
فسكت الشافعي، فلما سمع ذلك أَحْمَد بْن حنبل ذهب إِلَى حديث ابْن عكيم، وأفتى
بِهِ. ورجع إسحاق إِلَى حديث الشافعي، فأفتى بحديث ميمونة
“Bahwasannya
Ishaaq bin Raahawaih pernah berdebat dengan Asy-Syaafi’iy dalam masalah kulit
bangkai yang disamak, yang waktu itu Ahmad bin Hanbal hadir menyaksikan. Asy-Syaafi’iy
berkata : “Kulit bangkai yang telah disamak suci”. Ishaaq berkata : “Apa
dalilnya ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Hadits Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin
‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Maimuunah : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah melewati bangkai kambing, lalu beliau
bersabda : ‘Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?”.
Ishaaq berkata : “Hadits Ibnu ‘Ukaim :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat
kepada kami sebulan sebelum wafatnya : ‘Janganlah kalian memanfaatkan
bangkai, baik kulit maupun uratnya” – seakan-akan hadits tersebut menghapus
hadits Maimuunah karena itu terjadi sebulan sebelum wafatnya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaafi’iy berkata : “Haditsmu ini berasal dari
kitab, sedangkan hadits Maimuunah berasal dari penyimakan”.
Ishaaq berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah menulis surat kepada Kisraa (raja Persia) dan
Qaishar (raja Romawi), dan surat itu merupakan hujjah atas mereka di sisi
Allah”.
Asy-Syaafi’iy pun terdiam.
Ketika mendengarnya, Ahmad bin Hanbal berpendapat
dengan hadits Ibnu ‘Ukaim dan berfatwa dengannya. Sementara itu Ishaaq malah
rujuk pada hadits yang dibawakan Asy-Syaafi’iy dan berfatwa dengan hadits
Maimuunah”.[6]
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada
manfaatnya.
Wallaahu a’lam bishshawwaab.
[dari buku – Fiqhul-Ta’aamul
ma’al-Akhthaa’ oleh Dr. ‘Abdurrahmaan bin Ahmad Al-Madkhaliy –
abul-jauzaa’ – 31032014 – 22:55]
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/03/rujuk-dari-kekeliruan-apabila-kebenaran.html