Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel dari seorang ikhwah di sini.
Nampaknya ikhwah kita ini sedang prihatin dengan kondisi sebagian
Salafiyyun yang mengalami keretakan hubungan. Lantas beliau ini membuat
satu jalan keluar pada tulisan tersebut yang menurut beliau ini dapat
menjadi solusi terbaik. Saya petik di antara point pentingnya :
Selanjutnya yang ingin kami pertanyakan wahai ikhwah salafiyin, kepada engkau yang berada di barisan pembela jumiyyah hizbiyah ihyautturots sebarisan dengan ustadz Firanda as Soronji, kejelekan dan kesesatan yayasan itu secara hakiki dan kenyataannya yang ada di pusatnya di kuwait sana adalah hal nyata yang tak terbantahkan lagi. Lantas apa yang membuatmu masih membelanya padahal menjauhinya adalah perkara yang dapat menyatukan kita. Bacalah risalah ustadz Asykari yang menyingkap syubhat dalam buku lerai pertikaian itu. Yang paling mungkin, alasan terakhir antum adalah bahwa ini adalah masalah khilafiyah. Maka kita jawab; jikapun benar ini khilafiyah, maka apakah antum menghalalkan khilafiyah yang akan menyebabkan perpecahan salafiyin? Padahal jika antum membuang jauh-jauh alasan itu dan mendahulukan kewajiban persatuan, maka sungguh barisan akan bersatu. Bahkan bagi kami ini bukanlah masalah khilafiyah yang dibolehkan yang dapat membatalkan wajibnya persatuan!Lantas kami ajukan juga kepada engkau para pentahdzir yang membabi buta dengan lisan dan penamu sebagaimana ustadz Muhammad Afifudin as Sidayu (beliaulah yang sangat tampak bagi kami dalam hal ini), sudahkah antum mengetahui dengan yakin akan apa yang antum katakan dan tulis dalam tahdzir antum sebagaimana kenyataannya yang ada saat ini? ataukah antum hanya berkata dengan dzhon atau hanya kenyataan masa lalu yang telah basi? haatu burhaanakum inkuntum shoodiqiin! Lantas jika kita uraikan satu per satu tuduhan dan apa-apa yang telah engkau sebutkan tentang saudaramu, maka kita pasti dapati kejelasannya dengan bertabayun, tatsabut dan menilai bukti-bukti. Namun karena di sisimu tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan dan dapat diterima, maka apakah kami harus mengambil perkataanmu? Jikapun engkau memiliki bukti-bukti bahwa dahulu demikian dan dahulu demikian, lantas apakah engkau telah haqqul yaqin bahwa keadaan mereka saat ini masih demikian seperti yang engkau katakan? Sementara kaidah syariat telah jelas bahwa yang menuduh wajib mendatangkan bukti, jika tidak ada bukti maka tuduhan hanyalah fitnah belaka.
Abul-Jauzaa’ berkata :
Sekilas tulisan
di atas adalah baik. Namun jika kita cermati benar, maka ini hanyalah
pengulangan kalimat lama dengan kemasan yang sedikit berbeda. Dikatakan
bahwa para asatidzah dan ikhwan salafiyyun yang tidak meng-hajr Ihyaa
At-Turats dianggap sebagai pembela yayasan Hizbiy. Maksimal hujjah
mereka – sebagaimana dikatakan oleh saudara kita ini –
adalah masalah khilafiyyah, berdasar analisis Ustadz Askari (?!?!). Jalan keluarnya : Putus hubungan dengan Ihyaa At-Turats.
Sungguh, anak kambing hanyalah lahir dari induk kambing…. betapa sama hari ini dengan hari kemarin !
Apa bedanya yang
engkau katakan dengan yang ‘mereka’ katakan wahai saudaraku
? Solusi yang engkau tawarkan pada hakekatnya sama dengan solusi yang
mereka tawarkan. Sikap bara’-mu tidaklah berbeda dengan sikap bara’ mereka
terhadap ikhwan yang tidak sejalan denganmu. Padahal apa yang ditulis
Ustadz Firanda yang engkau katakan sebagai pembela jum’iyyah
hizbiyyah adalah sangat jelas. Jelas bagi orang yang pernah membaca
bukunya (bukan sekedar membaca ulasan di website ‘mereka’).
Yaitu : Bagaimana seharusnya Salafiyyin bersikap pada satu permasalahan
yang diperselisihkan para ulama.
Justru orang
yang engkau rujuk tulisannya itulah yang sebenarnya tidak menangkap
esensi apa yang beliau maksudkan. Malah menuduh orang yang dikritiknya
berhujjah dengan khilafiyyah…… Aneh !!
Menyedihkannya, engkau pun mengikuti atsar si
burung gagak (fakta.blogsome). Sungguh, engkau pun tahu, bahwa tidaklah
burung gagak terbang melainkan akan mengantarkanmu ke onggokan
bangkai.....
Saya harap
engkau dapat membuka sedikit cakrawala pandangmu wahai
saudaraku…. Jujurlah padaku jika saya tanya kepadamu :
“Apakah dalam permasalahan Ihya’ At-Turats ini para ulama
sudah bersepakat (ijma’) tentang
kebid’ahan/kehizbiyyannya dan tidak boleh bermuamalah dengannya
?”. Jika engkau menjawab bahwa perkara ini telah ijma’,
maka engkau telah berdusta. Para ulama telah berselisih pendapat
mengenai hal ini. Memang benar…. Syaikh Rabi’, Syaikh
‘Ubaid, mayoritas murid-murid Syaikh Muqbil, dan yang lainnya
menyatakan kehizbiyyahannya dan melarang bermuamalah dengan mereka.
Namun di sisi lain, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
Syaikh Shalih Alusy-Syaikh, Syaikh ‘Abdurrazzaq, Syaikh
‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad, dan yang lainnya berpendapat beda.
Padanya banyak kebaikan dan manfaat bagi umat Islam. Hal itu sama
sekali tidak menafikkan adanya beberapa kesalahan. Namun kesalahan itu
bukan kesalahan yang mesti disikapi dengan hajr. Boleh bermuamalah
dengan mereka dengan pertimbangan kemaslahatan (syar’iy).
Oleh karena itu, kewajiban yang mesti dilakukan adalah saling
nasihat-menasihati. Sikap arogansi tidaklah bisa menutup kenyataan ini.
Banyak bukti yang bisa engkau dapatkan jika engkau berselancar di
internet….. Di antaranya :
Jika engkau
menyadari bahwa perkara ini adalah perkara yang diperselisihkan,
lantas… bagaimana kita menyikapinya ? Apakah kita akan
membabi-buta memaksakan orang lain agar sama dengan kita ?
Atau,…. kita akan tetap saling hormat-menghormati dalam
keberbedaan – karena memang masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah yang
membuka ruang perbedaan pendapat ? Silakan saja engkau memilih salah
satu pendapat di antara dua pendapat tersebut yang menurutmu paling raajih.
Tapi, tidak bijak kiranya jika kemudian engkau ‘memaksakan’
saudaramu yang lain mengikuti pendapatmu dengan alasan persatuan (?!?).
Apa bedanya kemudian jika ada orang yang mengatakan solusi persatuan
adalah agar engkau juga bermuamalah dengan Ihya’ At-Turats
seperti kami ? Apa yang engkau katakan bukanlah persatuan, tapi
penyeragaman.
Sebagian ‘mereka’ dengan lancarnya menulis bahasan : Bagaimana Menyikapi Perselisihan di Antara Ulama.
Banyak contoh yang ‘mereka’ bawakan. Namun saat masuk
pembahasan Ihya’ At-Turats,…. bahasan tersebut lenyap
tertelan bumi. Sikap toleransi dan hormat-menghormati itu tidaklah
sebatas perkara zakat perhiasan, jari telunjuk saat tasyahud, atau qadla dan fidyah bagi wanita hamil. Tentu kita masih ingat sikap kaku sebagian ikhwah salafiyyin[1] tentang
masalah Pemilu – bahkan itu masih terjadi sampai saat ini. Mereka
secara fanatik berpegang pada satu pendapat ulama yang melarang ikut
serta dalam Pemilu secara mutlak, dan kemudian menjadikan orang yang
berseberangan dengannya sebagai orang yang ‘berbeda’
manhaj. Ringkasnya : Keluar/menyelisihi manhaj salaf. Padahal, banyak
ulama yang mempunyai fatwa berbeda dimana mereka membolehkan kaum
muslimin ikut serta dalam Pemilu, baik dengan kebolehan yang bersifat
mutlak atau bersyarat. Tidak ragu lagi bahwa sikap seperti ini adalah
sikap yang keliru lagi arogan. Tidak menjadi masalah jika kita me-rajih-kan
satu pendapat dengan mengkritisi pendapat yang berseberangan. Yang jadi
masalah adalah seperti yang tadi……. pemaksaan pendapat
dan anggapan menyelisihi manhaj sehingga timbul ekses perselisihan dan
perpecahan karena diikuti sikap bara’ dan
hajr (yang tidak pada tempatnya). Tragisnya, itu dialami oleh ikhwah
Salafiyyun !! Asy-Syaikh Prof. Dr. Saalih bin Ghaanim As-Sadlan hafidhahullah berkata :
لابد من التأكد من
كون المسألة معلومة من الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن
لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من
يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع
معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من
الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست بهذا
الضيق الاجتهادي.
“Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena
terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri
seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam
mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang
mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara
pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta
dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan
terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum
sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya
permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini
(yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyadl].
Perhatikanlah !! Bukankah kritik yang dilontarkan oleh Syaikh As-Sadlaan itu terjadi di antara kita ? Solusi rabbaniy yang
diberikan dalam permasalahan ini bukan untuk menyuruh semua orang untuk
meninggalkan Pemilu agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan.
Tapi, bagaimana seharusnya menjaga adab-adab dalam perbedaan pendapat.
Silakan masing-masing memegang pendapat yang dianggap raajih dari para
ulama. Sifat pe-rajih-an dan penyikapan dalam satu masalah bukanlah satu hal yang harus diseragamkan.
Pun halnya jika di-qiyas-kan
dengan hal yang sedang kita bicarakan. Janganlah sebagian di antara
kita terlalu fanatik dengan satu pendapat yang dengan itu menuduh
saudaranya yang tidak sependapat dengannya sebagai orang yang
menyimpang dari manhaj. Sururiyyun…Mumayyi’uun…
Padahal saudaranya itu juga bersikap berdasarkan penjelasan ulama dan
kemudian mengambilnya sesuai dengan apa yang ia anggap kuat (raajih). Oleh karena itu, solusinya adalah menjaga adab-adab khilaf. Bersikap bijak dan tidak memaksakan diri. Tidak pula berprinsip :
من ليس معنا فهو علينا
“Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami”.
Tidakkah
‘mereka’ sadar, sikap kaku ‘mereka’ kini menuai
hasil bahwa mereka di-hajr oleh ‘saudara’ mereka sendiri.
Misalnya dalam masalah mendirikan yayasan dalam dakwah. Salah satu
ulama mengatakan bahwa menggunakan sarana yayasan dalam dakwah itu
bid’ah dan menyerupai dakwah hizbiyyah. Namun jumhur ulama
mengatakan boleh. Akhirnya, pihak yang memegang kebid’ahan
yayasan menyerang ‘mereka’ yang berpendapat bolehnya.
Dituduhlah ‘mereka’ sebagai hizbiyyun. Sungguh
memprihatinkan ! padahal, dulunya mereka satu kolega atau satu ma’had.
‘Mereka’ pun menangkis balik kepada si penuduh bahwa
perkara ini adalah perkara yang dikhilafkan oleh para ulama. Bantah
sana-bantah sini dan akhirnya…… terjadi perpecahan.
Jika
‘mereka’ bisa berargumentasi bahwa permasalahan mendirikan
yayasan dakwah adalah perkara ijtihadiyyah – dan kebolehannya
merupakan pendapat jumhur ulama – , mengapa mereka tidak bisa
bersikap yang sama dalam kasus Ihyaa’ At-Turats ? Sungguh, tabiat
manusia memang senang jika orang lain memaklumi dirinya, namun kurang
bisa memaklumi orang lain.
Bagi mereka yang
menginginkan persatuan – bukan penyeragaman - , khususnya dalam
masalah Ihyaa’ At-Turats, alangkah baiknya jika kita simak
nasihat dari Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah :
“Aku
katakan, tidak boleh bagi Ahlus-Sunnah di Indonesia untuk
berpecah-belah dan saling berselisih disebabkan masalah mu’amalah
dengan Yayasan Ihya’ At-Turats, karena ini termasuk perbuatan
syaithan yang dengannya ia memecah-belah di antara manusia. Namun yang
wajib bagi mereka adalah bersungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu yang
bermanfaat dan amal shalih. Hendaknya mereka meninggalkan sesuatu yang
menimbulkan fitnah. Yayasan Ihya’ At-Turats memiliki kebaikan
yang banyak, bermanfaat bagi kaum muslimin di berbagai penjuru dunia,
berupa berbagai bantuan dan pembagian buku-buku. Karena itu,
perselisihan di sebabkan hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan.
Wajib bagi kaum muslimin, atau wajib bagi Ahlus-Sunnah di sana (di
Indonesia) untk bersepakat dan meninggalkan perpecahan”
[Disampaikan di masjid seusai shalat Dhuhur, Kamis 13 Oktober 2005 M/10
Ramadlan 1426 H – dinukil dari buku Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan oleh Abu ‘Abdil-Muhsin Ibnu ‘Abidin/Firanda Andirja, hal. 256-257; Cet. 1].
Apakah kita
semua telah berpikir bahwa muamalah sebagian asatidzah dan ikhwah
Salafiyyun dengan Ihyaa’ At-Turats tidak ada kemaslahatan ?
Bukalah mata kita lebar-lebar dan objektiflah !!! Betapa banyak
anak-anak yatim yang kurang mampu akhirnya bisa disekolahkan ? Betapa
banyak masjid-masjid akhirnya bisa didirikan ? Bukankah dakwah salaf
ini tersebar salah satunya karena bantuan Yayasan Ihya’ At-Turats
? melalui fasilitas pengiriman da’i, penyebaran buku dan majalah,
serta pendirian stasiun radio. Mungkin satu-satunya kemaslahatan di
mata ‘mereka’ hanyalah jika kita memutuskan hubungan dengan
Yayasan Ihya At-Turats,……….. sehingga kemudian
dana tersebut malah tersalurkan kepada hizbiyyin untuk menyokong
aktifitas mereka.
Jika para
masyaikh bisa duduk berdampingan dalam keberbedaan pandangan mereka
atas permasalahan Ihya' At-Turats, mengapa kita tidak ?
Adapun tentang tuduhan membabi-buta dari sebagian asatidzah ‘mereka’ – apalagi para muqallid-nya – bukanlah sesuatu hal yang aneh kita dengar. Wallaahi,
banyak kedustaan di antara tuduhan-tuduhan itu…… Dan yang
paling keji – menurut saya – adalah tuduhan bahwa para
du’at/asatidzah yang tidak sebarisan dengan ‘mereka’
bermental fulus.
Terfitnah karena gelimang dinar Ihya At-Turats. Sehingga, jika mereka
memutuskan untuk tidak bermuamalah dengan At-Turats, dapur mereka pun
tidak lagi mengepul. Allaahul-Musta’an…..
Saya pribadi tidak ingin memperunyam dengan membahas tuduhan-tuduhan membabi-buta itu.
Biarlah tulisan ini sebagaimana keumumannya….. bukan tulisan yang bersifat tafshiliy.
Hanya kepada Allah kita memohon agar diberi petunjuk dan pertolongan dalam menghadapi fitnah ini….
[Abul-Jauzaa’, 25 Ramadlan 1430 H].
Catatan kaki :
[1] Termasuk saya di antaranya – dulu.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/09/sikap-pertengahan-yang-tidak.html
▓