Islam Pedoman Hidup: Sikap Pertengahan yang Tidak Pertengahan

Rabu, 24 Februari 2016

Sikap Pertengahan yang Tidak Pertengahan

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel dari seorang ikhwah di sini. Nampaknya ikhwah kita ini sedang prihatin dengan kondisi sebagian Salafiyyun yang mengalami keretakan hubungan. Lantas beliau ini membuat satu jalan keluar pada tulisan tersebut yang menurut beliau ini dapat menjadi solusi terbaik. Saya petik di antara point pentingnya :
Selanjutnya yang ingin kami pertanyakan wahai ikhwah salafiyin, kepada engkau yang berada di barisan pembela jumiyyah hizbiyah ihyautturots sebarisan dengan ustadz Firanda as Soronji, kejelekan dan kesesatan yayasan itu secara hakiki dan kenyataannya yang ada di pusatnya di kuwait sana adalah hal nyata yang tak terbantahkan lagi. Lantas apa yang membuatmu masih membelanya padahal menjauhinya adalah perkara yang dapat menyatukan kita. Bacalah risalah ustadz Asykari yang menyingkap syubhat dalam buku lerai pertikaian itu. Yang paling mungkin, alasan terakhir antum adalah bahwa ini adalah masalah khilafiyah. Maka kita jawab; jikapun benar ini khilafiyah, maka apakah antum menghalalkan khilafiyah yang akan menyebabkan perpecahan salafiyin? Padahal jika antum membuang jauh-jauh alasan itu dan mendahulukan kewajiban persatuan, maka sungguh barisan akan bersatu. Bahkan bagi kami ini bukanlah masalah khilafiyah yang dibolehkan yang dapat membatalkan wajibnya persatuan!
Lantas kami ajukan juga kepada engkau para pentahdzir yang membabi buta dengan lisan dan penamu sebagaimana ustadz Muhammad Afifudin as Sidayu (beliaulah yang sangat tampak bagi kami dalam hal ini), sudahkah antum mengetahui dengan yakin akan apa yang antum katakan dan tulis dalam tahdzir antum sebagaimana kenyataannya yang ada saat ini? ataukah antum hanya berkata dengan dzhon atau hanya kenyataan masa lalu yang telah basi? haatu burhaanakum inkuntum shoodiqiin! Lantas jika kita uraikan satu per satu tuduhan dan apa-apa yang telah engkau sebutkan tentang saudaramu, maka kita pasti dapati kejelasannya dengan bertabayun, tatsabut dan menilai bukti-bukti. Namun karena di sisimu tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan dan dapat diterima, maka apakah kami harus mengambil perkataanmu? Jikapun engkau memiliki bukti-bukti bahwa dahulu demikian dan dahulu demikian, lantas apakah engkau telah haqqul yaqin bahwa keadaan mereka saat ini masih demikian seperti yang engkau katakan? Sementara kaidah syariat telah jelas bahwa yang menuduh wajib mendatangkan bukti, jika tidak ada bukti maka tuduhan hanyalah fitnah belaka.

Abul-Jauzaa’ berkata :
Sekilas tulisan di atas adalah baik. Namun jika kita cermati benar, maka ini hanyalah pengulangan kalimat lama dengan kemasan yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa para asatidzah dan ikhwan salafiyyun yang tidak meng-hajr Ihyaa At-Turats dianggap sebagai pembela yayasan Hizbiy. Maksimal hujjah mereka – sebagaimana dikatakan oleh saudara kita ini – adalah masalah khilafiyyah, berdasar analisis Ustadz Askari (?!?!). Jalan keluarnya : Putus hubungan dengan Ihyaa At-Turats.
Sungguh, anak kambing hanyalah lahir dari induk kambing…. betapa sama hari ini dengan hari kemarin !
Apa bedanya yang engkau katakan dengan yang ‘mereka’ katakan wahai saudaraku ? Solusi yang engkau tawarkan pada hakekatnya sama dengan solusi yang mereka tawarkan. Sikap bara’-mu tidaklah berbeda dengan sikap bara’ mereka terhadap ikhwan yang tidak sejalan denganmu. Padahal apa yang ditulis Ustadz Firanda yang engkau katakan sebagai pembela jum’iyyah hizbiyyah adalah sangat jelas. Jelas bagi orang yang pernah membaca bukunya (bukan sekedar membaca ulasan di website ‘mereka’). Yaitu : Bagaimana seharusnya Salafiyyin bersikap pada satu permasalahan yang diperselisihkan para ulama.
Justru orang yang engkau rujuk tulisannya itulah yang sebenarnya tidak menangkap esensi apa yang beliau maksudkan. Malah menuduh orang yang dikritiknya berhujjah dengan khilafiyyah…… Aneh !!
Menyedihkannya, engkau pun mengikuti atsar si burung gagak (fakta.blogsome). Sungguh, engkau pun tahu, bahwa tidaklah burung gagak terbang melainkan akan mengantarkanmu ke onggokan bangkai.....
Saya harap engkau dapat membuka sedikit cakrawala pandangmu wahai saudaraku…. Jujurlah padaku jika saya tanya kepadamu : “Apakah dalam permasalahan Ihya’ At-Turats ini para ulama sudah bersepakat (ijma’) tentang kebid’ahan/kehizbiyyannya dan tidak boleh bermuamalah dengannya ?”. Jika engkau menjawab bahwa perkara ini telah ijma’, maka engkau telah berdusta. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Memang benar…. Syaikh Rabi’, Syaikh ‘Ubaid, mayoritas murid-murid Syaikh Muqbil, dan yang lainnya menyatakan kehizbiyyahannya dan melarang bermuamalah dengan mereka. Namun di sisi lain, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Alusy-Syaikh, Syaikh ‘Abdurrazzaq, Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad, dan yang lainnya berpendapat beda. Padanya banyak kebaikan dan manfaat bagi umat Islam. Hal itu sama sekali tidak menafikkan adanya beberapa kesalahan. Namun kesalahan itu bukan kesalahan yang mesti disikapi dengan hajr. Boleh bermuamalah dengan mereka dengan pertimbangan kemaslahatan (syar’iy). Oleh karena itu, kewajiban yang mesti dilakukan adalah saling nasihat-menasihati. Sikap arogansi tidaklah bisa menutup kenyataan ini. Banyak bukti yang bisa engkau dapatkan jika engkau berselancar di internet….. Di antaranya :
Jika engkau menyadari bahwa perkara ini adalah perkara yang diperselisihkan, lantas… bagaimana kita menyikapinya ? Apakah kita akan membabi-buta memaksakan orang lain agar sama dengan kita ? Atau,…. kita akan tetap saling hormat-menghormati dalam keberbedaan – karena memang masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah yang membuka ruang perbedaan pendapat ? Silakan saja engkau memilih salah satu pendapat di antara dua pendapat tersebut yang menurutmu paling raajih. Tapi, tidak bijak kiranya jika kemudian engkau ‘memaksakan’ saudaramu yang lain mengikuti pendapatmu dengan alasan persatuan (?!?). Apa bedanya kemudian jika ada orang yang mengatakan solusi persatuan adalah agar engkau juga bermuamalah dengan Ihya’ At-Turats seperti kami ? Apa yang engkau katakan bukanlah persatuan, tapi penyeragaman.
Sebagian ‘mereka’ dengan lancarnya menulis bahasan : Bagaimana Menyikapi Perselisihan di Antara Ulama. Banyak contoh yang ‘mereka’ bawakan. Namun saat masuk pembahasan Ihya’ At-Turats,…. bahasan tersebut lenyap tertelan bumi. Sikap toleransi dan hormat-menghormati itu tidaklah sebatas perkara zakat perhiasan, jari telunjuk saat tasyahud, atau qadla dan fidyah bagi wanita hamil. Tentu kita masih ingat sikap kaku sebagian ikhwah salafiyyin[1] tentang masalah Pemilu – bahkan itu masih terjadi sampai saat ini. Mereka secara fanatik berpegang pada satu pendapat ulama yang melarang ikut serta dalam Pemilu secara mutlak, dan kemudian menjadikan orang yang berseberangan dengannya sebagai orang yang ‘berbeda’ manhaj. Ringkasnya : Keluar/menyelisihi manhaj salaf. Padahal, banyak ulama yang mempunyai fatwa berbeda dimana mereka membolehkan kaum muslimin ikut serta dalam Pemilu, baik dengan kebolehan yang bersifat mutlak atau bersyarat. Tidak ragu lagi bahwa sikap seperti ini adalah sikap yang keliru lagi arogan. Tidak menjadi masalah jika kita me-rajih-kan satu pendapat dengan mengkritisi pendapat yang berseberangan. Yang jadi masalah adalah seperti yang tadi……. pemaksaan pendapat dan anggapan menyelisihi manhaj sehingga timbul ekses perselisihan dan perpecahan karena diikuti sikap bara’ dan hajr (yang tidak pada tempatnya). Tragisnya, itu dialami oleh ikhwah Salafiyyun !! Asy-Syaikh Prof. Dr. Saalih bin Ghaanim As-Sadlan hafidhahullah berkata :
لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست بهذا الضيق الاجتهادي.
Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyadl].
Perhatikanlah !! Bukankah kritik yang dilontarkan oleh Syaikh As-Sadlaan itu terjadi di antara kita ? Solusi rabbaniy yang diberikan dalam permasalahan ini bukan untuk menyuruh semua orang untuk meninggalkan Pemilu agar tidak terjadi perselisihan dan perpecahan. Tapi, bagaimana seharusnya menjaga adab-adab dalam perbedaan pendapat. Silakan masing-masing memegang pendapat yang dianggap raajih dari para ulama. Sifat pe-rajih-an dan penyikapan dalam satu masalah bukanlah satu hal yang harus diseragamkan.
Pun halnya jika di-qiyas-kan dengan hal yang sedang kita bicarakan. Janganlah sebagian di antara kita terlalu fanatik dengan satu pendapat yang dengan itu menuduh saudaranya yang tidak sependapat dengannya sebagai orang yang menyimpang dari manhaj. Sururiyyun…Mumayyi’uun… Padahal saudaranya itu juga bersikap berdasarkan penjelasan ulama dan kemudian mengambilnya sesuai dengan apa yang ia anggap kuat (raajih). Oleh karena itu, solusinya adalah menjaga adab-adab khilaf. Bersikap bijak dan tidak memaksakan diri. Tidak pula berprinsip :
من ليس معنا فهو علينا
“Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami”.
Tidakkah ‘mereka’ sadar, sikap kaku ‘mereka’ kini menuai hasil bahwa mereka di-hajr oleh ‘saudara’ mereka sendiri. Misalnya dalam masalah mendirikan yayasan dalam dakwah. Salah satu ulama mengatakan bahwa menggunakan sarana yayasan dalam dakwah itu bid’ah dan menyerupai dakwah hizbiyyah. Namun jumhur ulama mengatakan boleh. Akhirnya, pihak yang memegang kebid’ahan yayasan menyerang ‘mereka’ yang berpendapat bolehnya. Dituduhlah ‘mereka’ sebagai hizbiyyun. Sungguh memprihatinkan ! padahal, dulunya mereka satu kolega atau satu ma’had. ‘Mereka’ pun menangkis balik kepada si penuduh bahwa perkara ini adalah perkara yang dikhilafkan oleh para ulama. Bantah sana-bantah sini dan akhirnya…… terjadi perpecahan.
Jika ‘mereka’ bisa berargumentasi bahwa permasalahan mendirikan yayasan dakwah adalah perkara ijtihadiyyah – dan kebolehannya merupakan pendapat jumhur ulama – , mengapa mereka tidak bisa bersikap yang sama dalam kasus Ihyaa’ At-Turats ? Sungguh, tabiat manusia memang senang jika orang lain memaklumi dirinya, namun kurang bisa memaklumi orang lain.
Bagi mereka yang menginginkan persatuan – bukan penyeragaman - , khususnya dalam masalah Ihyaa’ At-Turats, alangkah baiknya jika kita simak nasihat dari Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah :
Aku katakan, tidak boleh bagi Ahlus-Sunnah di Indonesia untuk berpecah-belah dan saling berselisih disebabkan masalah mu’amalah dengan Yayasan Ihya’ At-Turats, karena ini termasuk perbuatan syaithan yang dengannya ia memecah-belah di antara manusia. Namun yang wajib bagi mereka adalah bersungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Hendaknya mereka meninggalkan sesuatu yang menimbulkan fitnah. Yayasan Ihya’ At-Turats memiliki kebaikan yang banyak, bermanfaat bagi kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, berupa berbagai bantuan dan pembagian buku-buku. Karena itu, perselisihan di sebabkan hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan. Wajib bagi kaum muslimin, atau wajib bagi Ahlus-Sunnah di sana (di Indonesia) untk bersepakat dan meninggalkan perpecahan” [Disampaikan di masjid seusai shalat Dhuhur, Kamis 13 Oktober 2005 M/10 Ramadlan 1426 H – dinukil dari buku Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan oleh Abu ‘Abdil-Muhsin Ibnu ‘Abidin/Firanda Andirja, hal. 256-257; Cet. 1].
Apakah kita semua telah berpikir bahwa muamalah sebagian asatidzah dan ikhwah Salafiyyun dengan Ihyaa’ At-Turats tidak ada kemaslahatan ? Bukalah mata kita lebar-lebar dan objektiflah !!! Betapa banyak anak-anak yatim yang kurang mampu akhirnya bisa disekolahkan ? Betapa banyak masjid-masjid akhirnya bisa didirikan ? Bukankah dakwah salaf ini tersebar salah satunya karena bantuan Yayasan Ihya’ At-Turats ? melalui fasilitas pengiriman da’i, penyebaran buku dan majalah, serta pendirian stasiun radio. Mungkin satu-satunya kemaslahatan di mata ‘mereka’ hanyalah jika kita memutuskan hubungan dengan Yayasan Ihya At-Turats,……….. sehingga kemudian dana tersebut malah tersalurkan kepada hizbiyyin untuk menyokong aktifitas mereka.
Jika para masyaikh bisa duduk berdampingan dalam keberbedaan pandangan mereka atas permasalahan Ihya' At-Turats, mengapa kita tidak ?
Adapun tentang tuduhan membabi-buta dari sebagian asatidzah ‘mereka’ – apalagi para muqallid-nya – bukanlah sesuatu hal yang aneh kita dengar. Wallaahi, banyak kedustaan di antara tuduhan-tuduhan itu…… Dan yang paling keji – menurut saya – adalah tuduhan bahwa para du’at/asatidzah yang tidak sebarisan dengan ‘mereka’ bermental fulus. Terfitnah karena gelimang dinar Ihya At-Turats. Sehingga, jika mereka memutuskan untuk tidak bermuamalah dengan At-Turats, dapur mereka pun tidak lagi mengepul. Allaahul-Musta’an…..
Saya pribadi tidak ingin memperunyam dengan membahas tuduhan-tuduhan membabi-buta itu.
Biarlah tulisan ini sebagaimana keumumannya….. bukan tulisan yang bersifat tafshiliy.
Hanya kepada Allah kita memohon agar diberi petunjuk dan pertolongan dalam menghadapi fitnah ini….


[Abul-Jauzaa’, 25 Ramadlan 1430 H].
Catatan kaki :
[1] Termasuk saya di antaranya – dulu.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/09/sikap-pertengahan-yang-tidak.html