Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin
Menengok
keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang
amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan
masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan
atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini
menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap.
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita
jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu,
kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih
tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut,
meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau
dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap,
maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan
triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya
dengan mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun
mewaspadai bahayanya. (Redaksi).
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((مَنْ
اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا
فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ:
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ
إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ:
((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ:
((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ
فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا
نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
“Barangsiapa
di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan),
lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu,
maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa
pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari
Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah,
copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau
berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.).”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,”Aku katakan sekarang,
(bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu
pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya),
sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia
(boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
TAKHRIJ HADITS
– Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
– Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
– Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu ‘anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
– Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
– Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu ‘anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU ‘ANHU
Beliau
merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin
Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya
sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
di antaranya adalah hadits ini.
Beliau
wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Ada pula
yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata
ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam
lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini
mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi,
atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2].
Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya
bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri
sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian,
kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan
secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi,
kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap
pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan
dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau
orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini
disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas
ini.
MAKNA HADITS
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman
kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan),
lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara
diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar
hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum.
Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi
belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini
merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan
dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika
kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum
Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang
ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta merta dia
merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu
pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara
keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh
mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SYARAH HADITS
Hadits
di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu
mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin
pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ)).
“Barangsiapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan
(gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta
ghulul (korupsi)”.[5]
Asy
Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya
(haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan
(upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa
yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]
Dalam
hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang
dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan
korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama
pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan
dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi
bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian
yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan
kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat
jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah
(al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ
“Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka
pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”
[Ali Imran: 161].
Dalam
ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan pernyataan bahwa,
semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan
rampasan perang.
Menurut
penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ayat ini diturunkan pada
saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal
hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik
mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini
untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu
Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian
diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segala bentuk
khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam
urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun
merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari
perbuatan seperti itu.
Mengenai
besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang
terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan :
“Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka
pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”
Ibnu Katsir mengatakan,”Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]
Selain
itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan
harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, sebagaimana dalam firmanNya:
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [al
Baqarah/2:188]
Juga firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” [an Nisaa`/4 : 29].
Adapun
larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini
sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu
‘anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu ‘anhu di atas.
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang
melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas,
terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu,
setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan
tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu
waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang
menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan :
((غَزَا
نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ
مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا
يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا
وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ
وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ
قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا
مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ
لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا
فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ
بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ
فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ
الْغُلُولُ فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ
فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ
لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا))
“Ada
seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : “Tidak boleh
mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara
ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang
yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya;
tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang
sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”.
Lalu
nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan
diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada
matahari : “Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya
Allah, tahanlah matahari ini untuk kami,” maka tertahanlah matahari itu
hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta
rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api
tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada
kaumnya): “Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul
(mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada
satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku,”
kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada
nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di antara kalian ada (yang
berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at)
kepadaku,” kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke
tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di
antara kalian ada (yang berbuat) ghulul,” maka mereka datang membawa
emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah
api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang
bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.[9]
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang
yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri,
jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat
maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada
pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah
sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah
terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau
memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah
mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :
((أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا))
“Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?”
Kemudian
pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada
khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan :
((فَوَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا
جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ
بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا
لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ))
“(Maka)
Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah
seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya
(harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di
lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara.
Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau
jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara
…” [10]
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
((هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ))
“Hadiah untuk para petugas adalah ghulul”. [11]
4.
Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti
seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga
baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang
berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah
memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam
hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu
pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang
dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah
Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan
mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi
(ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya
:
1.
Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil
korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161
surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu ‘anhu di
atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((…
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا
جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ
بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
…))
“Demi
(Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil
sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari
Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka
(unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu
pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing
itu pun) bersuara …” [13]
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((… فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))
“…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”. [14]
3.
Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak
mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami
dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))
“Barangsiapa
berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga
perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul
(korupsi) dan hutang”. [15]
4.
Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi),
sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)”.[16]
5.
Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu
penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami
dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ
اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ
السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ
يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ
حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))
“Wahai
manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.
Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan
apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,”Wahai
para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dia (Allah)
juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang
baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu,” kemudian beliau
(Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang
lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan
tangannya ke langit (seraya berdo’a): “Ya Rabb…, ya Rabb…,” tetapi
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya
dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan
dikabulkan?”. [17]
Demikian
yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi.
Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir
maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish Shawab.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu ‘Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu ‘anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.
Footnote
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu ‘Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu ‘anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2673-mewaspadai-bahaya-korupsi.html