Segala puji hanya bagi Allah. Semoga shalawat dan
salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang
berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du.
Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa
hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh
yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya
senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan
selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan,
kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati,
padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena itulah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan
untuk menerimanya.
Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits di dalam
Shahihnya (2585), dan hadits ini memiliki hadits-hadits pendukung yang lain.
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
menerima hadiah dan membalasnya.”
Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan
Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila diberi makanan,
beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan, “Shadaqah” maka beliau berkata kepada para
shahabatnya, “Makanlah!” Sedangkan beliau tidak makan. Dan
apabila dikatakan “Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan
tangannya (tanda penerimaan beliau -pent). Lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al
Bukhari [2576] dan Muslim [1077])
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Hendaknya
kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul
Mufrad, lihat Shahihul Jami’ [3004] dan Al
Irwa’ [1601])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
“Penuhilah
undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al
Bukhari dalam Adabul Mufrad dan Shahihul Jami’ Ash Shaghir [158])
Dan dikarenakan sangat pentingnya dan pengaruh hadiah
di dalam perikehidupan kaum muslimin serta perhatian Islam terhadapnya
mengharuskan untuk dijelaskannya perkara-perkara yang berkaitan dengan hadiah
berupa keadaan-keadaan, hukum-hukum, apa-apa saja yang diperbolehkan dari
hadiah tersebut serta yang tidak diperbolehkan.
Pengertian Hadiah (Al-Athiyah, pemberian -pent)
Menurut istilah syar’i, maka hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar
terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya
permintaan dan syarat.
Dan di sana ada sisi keumuman dan kekhususan di
kalangan para ulama antara hibah, pemberian (athiyah) dan shadaqah. Dan poros
definisi di antara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan
kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah
diberikan kepada orang yang fakir dan orang kaya, dan diniatkan untuk meraih
rasa cinta dan membalas budi atas hadiah yang diberikan (sebelumnya -pent).
Dan terkadang pemberian hadiah itu juga bertujuan untuk mencari wajah Allah.
Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di antara keduanya perbedaan dan terkadang
dimaksudkan untuk memuliakan orang yang diberikan hibah atau athiyah saja
dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab tertentu dari sebab-sebab yang ada.
Hukum Hadiah
Diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama -pent) umat
ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung
silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila
dia termasuk di dalam bab ‘Membalas Budi
dan Kebaikan Orang Lain dengan Hal yang Semisalnya’. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang
haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk
dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya. Dan akan datang
sebentar lagi pembahasan tentang macam-macam hadiah dan hukum masing-masing
darinya.
Hukum Menerima Hadiah
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan
bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya atau disunnahkan saja? Dan pendapat
yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada
penghalang syar’i yang
mengharuskan menolaknya, maka wajib menerimanya, dikarenakan dalil-dalil
berikut ini:
1.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Penuhilah undangan, jangan menolak
hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (Telah lewat takhrijnya yaitu di dalam Shahihul Jami’ [158])
2.
Di dalam Ash Shahihain (Al Bukhari dan Muslim -pent.)
dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, ‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab, ‘Ambillah,
apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak
dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau
engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak menginginkannya,
bershadaqahlah dengannya’.”
Salim bin
Abdillah berkata, “Oleh karena
itu, Abdullah (bin Umar -pent.) tidak pernah meminta kepada orang lain
sedikitpun, dan tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya
sedikitpun.” (Shahih At
Targhib No. 835)
Dan di dalam
sebuah riwayat, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah demi
Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Saya tidak akan meminta kepada orang lain
sedikitpun, dan tidaklah aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta
melainkan aku mengambilnya….” (Shahih At Targhib [836])
3.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan sebab yang syar’i sebagaimana akan dijelaskan
sebentar lagi. Oleh karena adanya dalil-dalil ini, maka wajib menerima hadiah
apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
4.
Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan
wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu. Beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Barangsiapa yang Allah datangkan
kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia
menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan
kepadanya.” (Shahih At
Targhib [839])
Dan di dalam
riwayat lain dari Khalid Al Jahnany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
‘Barangsiapa yang sampai kepadanya
sebuah kebaikan dari saudaranya dengan tanpa meminta dan tamak, hendaklah dia
menerimanya dan tidak menolaknya, karena sesungguhnya itu merupakan rezeki yang
Allah Azza wa Jalla kirimkan kepadanya’.” (HR. Ahmad,
Ath Thabrani, Ibnu Hibban, Al Hakim, Shahih At Targhib wat Tarhib [838])
Maka menjadi
kuatlah (pendapat yang mengatakan -pent.) wajibnya menerima hadiah apabila
tidak ada di sana larangan syar’i.
Hukum Menolak Hadiah
Setelah jelas bagi kita wajibnya menerima hadiah, maka
tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan udzur syar’i. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau, “Jangan kalian menolak hadiah.” (Telah lewat takhrijnya)
Dan terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak hadiah
dikarenakan satu sebab dari sebab-sebab yang ada. Di antaranya:
1.
Di dalam Ash Shahihain dari hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau memberi
hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menolaknya. Maka
tatkala beliau melihat ada sesuatu di raut wajah Ash Sha’bu, beliau berkata,
“Ketahuilah, sesungguhnya kami tidak
menolaknya, hanya saja kami dalam keadaan sedang berihram.” (HR. Al Bukhari [2573], Muslim
[1193])
Ibnu Hajar
berkata, “Di dalam hadits
ini ada dalil bahwasanya tidak boleh menerima hadiah dan tidak halalnya hadiah
(ketika ihram, -pent.).”
2.
Dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata, “Ummu Hafid,
bibinya Ibnu Abbas pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tepung aqith,
minyak samin dan daging dhab (sejenis biawak -ed.). Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam
makan tepung aqith dan minyak samin, namun meninggalkan daging dhab dikarenakan
merasa jijik.” (HR. Al
Bukhari [2575], dan Muslim hal. 1544)
Dan dalam
hadits ini ada beberapa faidah:
• Bolehnya
menerima hadiah dari para wanita apabila aman dari fitnah.
• Bolehnya menolak hadiah dikarenakan suatu sebab.
• Seseorang yang
memberi hadiah tidak boleh merasa sedih apabila hadiahnya ditolak, dan
hendaknya dia memberi udzur bagi orang yang menolaknya. Atau tidak boleh merasa
berduka, selama alasannya jelas.
3.
Dan di dalam Abu Dawud, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Demi Allah, saya tidak akan menerima
hadiah dari seorang pun setelah hari ini kecuali dia seorang Muhajir Quraisy,
atau seorang Anshar, atau seorang dari suku Daus atau seorang dari suku Tsaqif.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Shahih
Adabul Mufrad [464], Ash Shahihah [1684])
Dan pernah ada
seorang arab gunung memberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor unta lalu beliau menggantinya, maka sang
badui ini memarahi beliau, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menambahnya dan bersabda,
“Apakah kamu telah ridha?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Lalu ditambah
lagi oleh beliau hingga beliau menggantinya dengan enam ekor unta.” (Silakan merujuk riwayat-riwayat
ini dalam Jami’ul Ushul
[11/611])
Dan di dalam
hadits ini ada dalil yang menunjukkan bolehnya menolak hadiah apabila dia
khawatir muncul fitnah dari hadiah tersebut, atau terdapat penghinaan terhadap
orang yang mengambil hadiah tersebut. Dan demikian pula Sulaiman ‘alahissalam menolak hadiah Ratu
Balqis dikarenakan ia merupakan suap-menyuap di dalam perkara agama agar
Sulaiman ‘alaihissalam
diam darinya dan membiarkan dia beribadah kepada matahari. Apabila hadiah
tersebut berupa suap-menyuap untuk membatalkan kebenaran dan melegalkan
kebatilan, maka tidak boleh diterima ketika itu.
Dan demikian
pula apabila hadiah tersebut diperuntukkan bagi para pemimpin, para menteri,
dan para pejabat, agar mereka memberimu sesuatu yang bukan menjadi hakmu, atau
mereka memaafkan kamu dari sesuatu yang tidak pantas untuk mereka maafkan, maka
ketika itu haram bagimu memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerima hadiah
tersebut dikarenakan itu merupakan suap-menyuap, dan sungguh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah melaknat
orang yang menyuap dan orang yang menerima suap di dalam hukum.” (Shahihul
Jami’ [5093])
Dan demikian
pula apabila hadiah tersebut berupa barang curian atau barang haram. Maka tidak
boleh diterima karena yang demikian itu termasuk makan barang haram dan
termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.
Dan telah lewat
di antara kita hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah
bahwasanya dia memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai
liar, sedangkan beliau dalam keadaan ihram, maka beliau menolaknya dikarenakan
tidak boleh seorang yang ihram untuk berburu ketika dia beribadah.
Begitu juga
apabila yang memberi hadiah tersebut menganggap hadiahnya sebagai hutang bagimu
dan kamu tidak menginginkan untuk menanggung hutang tersebut, baik secara syar’i maupun secara kebiasaan, maka
boleh bagimu untuk menahan diri dari mengambilnya disertai dengan meminta
udzur. Dan demikian pula bila sang pemberi hadiah tersebut adalah seorang yang
suka mengungkit-ungkit pemberiannya dan menceritakannya, maka tidak boleh
diterima hadiah itu darinya.
Kesimpulannya,
hukum asal adalah wajib menerima hadiah dan tidak boleh menolaknya kecuali
apabila didapati larangan syar’i atau udzur
maka boleh menolaknya.
Macam-macam Hadiah yang Tidak Boleh Ditolak
Telah lewat bersama kita dalil-dalil secara umum yang
menunjukkan tidak bolehnya menolak hadiah. Akan tetapi telah datang dalil-dalil
khusus yang menunjukkan tidak bolehnya menolak sebagian hadiah disebabkan zat
hadiah tersebut. Di antaranya:
1.
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tiga perkara yang tidak boleh
ditolak: bantal-bantal, minyak wangi, dan susu.” (HR. At Tirmidzi dari Umar, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [3046] dan Ash Shahihah [619] dan
Shahih At Tirmidzi [2241])
Ath Thibi
rahimahullah berkata, “Beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
menginginkan bahwasanya tamu itu dimuliakan dengan memberikan bantal, minyak
wangi, dan susu. Dan itu merupakan hadiah yang sedikit jumlahnya, maka tidak
sepantasnyalah ditolak.” (Tuhfatul Ahwadzi [8/61], hadits no. 2942)
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa
ditawari raihan, maka jangan menolaknya, sebab raihan itu mudah dibawa lagi
harum baunya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Shahihul Jami’ [6268])
Ibnu Atsir
berkata di dalam An Nihayah, “Ar Raihan
adalah setiap tumbuhan yang harum baunya yang termasuk dari jenis wewangian.”
2.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah menolak minyak wangi.”
Membalas Pemberian Hadiah (yaitu membalas kebaikan
orang yang memberi hadiah dengan hadiah semisalnya)
Disunnahkan membalas pemberian hadiah dengan yang
semisalnya atau dengan sesuatu yang lebih afdhal dari hadiah tersebut, maka
apabila dia tidak mampu untuk membalasnya, hendaknya dia menyanjung sang
pemberi hadiah dan mendoakan kebaikan untuknya dengan ucapan, “Jazaakallahu khairan (semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan),” atau yang
selainnya dari doa-doa yang ada.
1.
Di dalam Shahih Al Bukhari (2585), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan
membalasnya.”
2.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang meminta
perlindungan kepada kalian dengan nama Allah, maka lindungilah dia. Dan
barangsiapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah, maka berilah dia. Dan
barangsiapa mengundang kalian, maka penuhilah undangan tersebut. Barangsiapa
berbuat kebajikan pada kalian. Maka balaslah dengan semisalnya. Lalu jika
kalian tidak mendapati sesuatu yang semisalnya yang bisa kalian berikan, maka doakanlah
dia dengan kebaikan hingga kalian memandang bahwasanya kalian sungguh telah
membalasnya dengan semisalnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [6021])
3.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa diberikan sesuatu lalu
dia mendapati (suatu untuk membalasnya -pent.), hendaknya dia membalas
dengannya. Dan barangsiapa yang tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya
-pent.) hendaknya ia menyanjungnya. Apabila dia telah menyanjungnya, sungguh ia
telah berterima kasih kepadanya.” (HR. Abu Daud,
At Tirmidzi, Shahih Al Bukhari, Al Adabul Mufrad lil Bukhari, Shahihul Jami’ [6065], dan Ash Shahihah [617])
4.
Dikeluarkan oleh Al Imam Ath Thabrani dari Al Hakam
bin Umair, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa memberikan sesuatu
kepada kalian berupa kebajikan, maka balaslah dengan semisalnya. Kalau kalian
tidak mendapati (apapun untuk membalasnya -pent.) maka doakanlah kebaikan
untuknya.” (Shahihul Jami’ [5937], Shahihut Targhib)
5.
Dan dari Usamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang diberikan sesuatu
kebaikan, lalu dia ucapkan ‘Jazakallahu
khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Maka sungguh dia benar-benar telah
berterimakasih kepadanya.” (HR. At
Tirmidzi dan yang selainnya, Shahihut Targhib wat Tarhib [955])
Dari
hadits-hadits ini nampak jelas bagi kita bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam membalas
pemberian hadiah dengan semisalnya dan bahwasanya sudah sepantasnya
berterimakasih kepada si pemberi hadiah, memujinya dan mendoakan kebaikan
untuknya, dikarenakan tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah, orang yang
tidak berterimakasih kepada manusia.
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah diberi hadiah berupa seekor kambing, beliau bersabda,
“Bagi-bagikan ia.” Apabila si pembantu telah kembali maka ‘Aisyah bertanya
kepadanya, “Apa yang mereka katakan?” Si pembantu menjawab, “Mereka mengucapkan ‘Barakallahu fiikum (semoga Allah
memberkahi kalian)’.” Lalu ‘Aisyah mengucapkan, “Wa fii him
barakallah (dan semoga Allah memberkahi mereka), kita membalas mereka dengan
semisal apa yang mereka ucapkan, dan semoga pahala kita tetap bagi kita.” (Shahih Al Kalimut Thayyib [185])
Hukum Meminta Kembali Hadiah (yang telah diberikan
-pent.), Tidak Boleh kecuali Orang Tua kepada Anaknya
1.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Orang yang meminta kembali hibahnya
itu seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2589],
Muslim [3622])
Al Imam Al
Bukhari memberikan keterangan di dalam Shahihnya, “Bab Tidak Halal bagi Seseorang untuk Meminta Kembali Hibah dan Shadaqahnya.”
Ibnu Hajar
rahimahullah berkata di dalam Fathul Bari (5/235), “Jumhur ulama berpendapat haram meminta kembali suatu hibah (pemberian)
setelah diserahterimakan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.”
2.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak ada menurut kami permisalan
yang lebih jelek daripada seorang yang meminta kembali hibahnya diserupakan
seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2622])
Ibnu Hajar
berkata, “Maksudnya ialah tidak pantas bagi kita -wahai segenap kaum mukminin-
bersifat dengan sifat yang tercela yang kita diserupakan di dalamnya dengan
hewan yang paling hina pada keadaan yang paling hina… Barangkali ini lebih
mengena di dalam pelarangan terhadap hal yang demikian itu dan lebih
menunjukkan pengharaman daripada seandainya beliau mengatakan semisal,
“Janganlah
kalian meminta kembali hibah yang telah diberikan.” (Shahih, 5/235)
Imam An Nawawi
berkata, “Hadits ini jelas-jelas mengharamkan meminta kembali hibah (shadaqah)
setelah diserahterimakan. Ini dibawa kepada hibah yang diperuntukkan kepada
orang lain. Adapun apabila dia memberikan hibah tersebut kepada anaknya dan
anak cucunya, maka boleh bagi dia meminta kembali hibah tersebut.
Sebagaimana ditegaskan di dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Dan tidak
boleh meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada saudara, paman, dan
selain mereka dari kalangan dzawil arham (orang-orang yang memiliki hubungan
persaudaraan dengannya). Ini merupakan madzhab Imam Asy Syafi’i, pendapat ini diucapkan pula oleh
Imam Malik dan Al Auza’i.” (Syarah Muslim, 11/71)
Saya katakan
bahwa sungguh telah shahih hadits-hadits yang secara tegas mengharamkan meminta
kembali hadiah yang telah diberikan, kecuali orang tua terhadap apa yang dia
berikan kepada anaknya. Dan di antaranya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi seseorang memberikan sebuah hibah
lalu memintanya kembali kecuali orang tua yang memberi hadiah kepada anaknya.
Dan perumpamaan seseorang yang memberikan suatu pemberian kemudian memintanya
kembali seperti anjing memakan makanan, maka apabila telah kenyang, ia
muntahkan kemudian ia jilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari, Al Arba’ah [Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah], Shahihul Jami’ [7655])
Dan beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Tidak boleh bagi seseorang meminta kembali hibahnya
kecuali orang tua kepada anaknya. Dan seorang yang meminta kembali hibahnya
seperti seorang yang memakan kembali muntahnya.” (Shahih Muslim, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [7686])
Kemudian di
sana ada beberapa keadaan diperbolehkan hadiah itu ditolak dan dimintakan
kembali:
Ibnu Hajar
menyebutkan bahwa Imam Ath Thabari berkata, “Dikhususkan dari keumuman hadits ini beberapa hal:
a. Seorang yang
memberikan hibah dengan syarat meminta imbalan kembali.
b. Orang yang
memberi tersebut adalah orang tua, sedangkan yang diberi itu adalah anaknya.
c. Hibah yang
belum diserahterimakan.
d. Pemberian yang
dikembalikan oleh ahli waris kepada orang yang menghibahinya, dikarenakan telah
tetapnya hadits-hadits yang mengecualikan semua itu.”
Hukum Mengungkit-ungkit Hadiah (yang telah diberikan)
Allah Ta’ala berfirman,
“Perkataan yang
baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al Baqarah: 263-264)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tiga golongan
yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan Allah tidak mau
melihat mereka dan juga tidak mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang
pedih.” Abu Dzar
berkata, “Betapa celaka
dan ruginya mereka. Siapakah mereka ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Seorang yang
musbil (orang yang memanjangkan celana/sarungnya melebihi mata kakinya), orang
yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang menjual barang
dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim,
106)
Dan di dalam riwayat Muslim yang lain,
“Seorang yang
suka mengungkit-ungkit pemberian yang tidaklah dia memberikan sesuatu melainkan
dia mengungkit-ungkitnya.”
Maka jelaslah bagi kita mengungkit-ungkit di dalam
pemberian hadiah, termasuk dari dosa-dosa besar.
Hukum Hadiah yang Tidak Dikenal, yaitu yang Pemiliknya
Tidak Diketahui
Hukumnya diperbolehkan kecuali ada dugaan kuat bahwa
pemiliknya atau yang orang yang memaksudkan hadiah tersebut keliru untuk siapa
hadiah tersebut diberikan.
Hukum Bila Orang yang Diberikan Hadiah Tersebut
Meninggal Sebelum Sampainya Hadiah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadiah tersebut tidak
berpindah kepada orang yang diberi, kecuali dia atau wakilnya telah menerima
hadiah tersebut. ‘Abidah As
Salmani berkata, “Apabila hadiah
tersebut telah dibagi-bagikan maka untuk ahli warisnya. Dan apabila belum
dibagi-bagikan, maka dikembalikan kepada orang yang memberikan hadiah tersebut.”
Dan yang benar adalah pendapat jumhur bahwasanya
apabila ia, wakilnya, atau utusannya telah menerima hadiah itu, maka ia
diperuntukkan bagi ahli waris si penerima. Dan demikian pula apabila si pemberi
telah menjanjikan hadiah tersebut kepada si penerima sebelum si penerima wafat.
(Silakan rujuk Fathul Bari, 5/221-222)
Hadiah untuk Kerabat yang Terdekat Itu Lebih Utama
(kedekatan dari sisi nasab dan bertetangga)
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan bahwa Maimunah
radhiyallahu ‘anha pernah
suatu kali memerdekan seorang budak wanita, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,
“Ketahuilah
sesungguhnya kamu jika memberikannya kepada paman-pamanmu (dari pihak ibu)
niscaya kamu akan mendapatkan pahala yamg lebih besar.” (HR. Al Bukhari [2592], dan Muslim [999])
Dan di dalam Shahih Al Bukhari (2595) diriwayatkan
dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha bahwa
beliau berkata,
“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga, maka siapakah di
antara keduanya yang lebih layak aku berikan hadiah?”
Beliau menjawab,
“Kepada yang
lebih dekat pintunya darimu.”
Maka bisa diambil faedah dari dua hadits ini bahwa
kerabat itu lebih didahulukan di dalam pemberian hadiah daripada orang asing.
Dan apabila para kerabat itu setara dalam tingkat kekerabatannya, maka
didahulukan yang paling dekat pintunya. Dan ini semua apabila mereka sama-sama
membutuhkan. Wallahu a’lam.
Sumber: Menebar
Cinta dengan Hadiah karya Ibrahim bin Abdillah Al Mazru’i (penerjemah: Ibnu Musa Al Bankawy), penerbit: Al
Husna, Jogyakarta. Hal. 9-12, 14-15, dan 19-51.