Islam Pedoman Hidup: Adab-adab Bersedekah

Selasa, 24 Mei 2016

Adab-adab Bersedekah

Bersedekah merupakan amal shalih yang paling agung, bahkan termasuk amal terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Bersedekah juga merupakan salah satu sebab di lindungi seseorang dari adzab kubur dan mendapat naungan Allah pada hari kiamat. Apalagi jika orang yang mengeluarkan sedekah itu memperhatikan adab-adabnya.

Diantara adab-adab bersedekah adalah sebagai berikut:

1.  Ikhlas dalam Bersedekah

Seseorang wajib mengikhlaskan niat karena Allah semata didalam bersedekah dan mencari keridhaan-Nya serta kedekatan disisi-Nya, baik sedekah wajib maupun sedekah mustahab (sunnah). Jika keikhlasan tidak ada, maka sedekah akan batal dan dapat menggugurkan pahalanya. Sebagian orang bersedekah dengan tujuan riya' dan su'ah serta berbangga-bangga untuk menyombongkan diri agar ia dikenal dengan sedekahnya. Bahkan ia berusaha menonjolkan hal itu. Orang-orang seperti ini akan di sisa ada hari Kiamat dengan siksa yang sangat berat.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang pertama kali dipanaskan dengan (tubuh) mereka api Neraka pada hari kiamat ada tiga golongan..."
Kemudian Beliau bersabda, "Dan hadirkan yang bersedekah."
sampai dengan sabda Nabi, "Allah berkata, "Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau bersedekah agar dikatakan dermawan. Begitulah (kenyataan) yang telah dikatakan..." (HR. Muslim no.1095, dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

2.  Mempelajari Kewajiban-kewajiban dalam Bersedekah

Seorang Muslim wajib mempelajari tentang sedekah-sedekah yang diwajibkan aas dirinya, mempelajari ukuran-ukurannya dan kepada siapa sedekah itu harus diberikan, serta hal lain-lain yang akan meluruskan ibadahnya tersebut. Hal itu dilakukan sebelum ia melakukan sedekah, walaupun ia harus bertanya kepada ahli ilmu. Sebab ia tidak akan terhitung melaksanakan kewajiban didalam ibadah hingga ia melakukannya sesuai dengan yang di syari'atkan Allah Subhanhu wa ta'ala. Selain itu, agar tidak mengeluarkan sesuatu dari jenis harta yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya atau ia tidak memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan hal-hal semacam itu.

3.  Tidak Menunda-nunda Sedekah yang Wajib Hingga Keluar Waktunya

Jika telah wajib seseorang muslim untuk mengeluarkan zakat atas hartanya, tanamannya, perniagaannya, atau yang lainnya dari harta sedekah yang wajib, maka ia wajib mengeluarkannya pada waktunya. Tidak boleh ia menundanya tanpa adanya udzur. Hal itu tidak boleh sama sekali. Siapa yang menunda hingga keluar dari waktunya tanpa udzur, niscaya ia akan menghadapi kemarahan Allah Subhanahu wa ta'ala.

4.  Mendahulukan Sedekah yang Wajib daripada yang Mustahab (Sunnah)

Wajib atas seorang Muslim, apabila ia harus mengeluarkan zakat yang wajib dan telah tiba waktunya, agar mendahulukannya daripada sedekah yang mustahab. Itulah hukum asalnya. Sebab, menunaikan sedekah yang wajib termasuk rukun Islam. Allah Subhanahu wa ta'ala tidak akan menerima amalan-amalan yang sunnah hingga ia mengamalkan amalan wajib. Amalan yang disukai Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan menunaikan kewajiban, sebagaimana yang disebutkan didalam hadits qudsi: "...dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan atasnya..." (HR. al-Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Barangsiapa yang telah mendahulukan sedekah yang mustahab atas sedekah yang wajib maka ia berada dalam kesalahan yang besar. Ia melakukan hal itu disebabkan kejahilan terhadap syari'at dan karena kekurangan ilmunya tentang hal-hal yang disukai Allah Subhanahu wa ta'ala.

5.  Mengeluarkan Zakat dari Jenis-jenis Harta yang Telah Ditentukan Syari'at Apabila Telah Wajib Atasnya

Apabila sudah jatuh kewajiban atas seorang Muslim untuk mengeluarkan sedekah (zakat) atas barang tertentu secara syar'i, dan syari'at telah menjelaskan cara mengeluarkan jenis tertentu dari hartanya, seperti zakat fitrah, zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, yaitu satu sha' gandum/ burr atau satu sha' kurma atau satu sha' sya'ir (jewawut) atau sejenisnya, maka seharusnya seorang Mukmin mengeluarkan zakat harta-hata yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam atau hal-hal yang beliau sebutkan didalam nash tersebut. Janganlah ia mengeluarkan pengganti selainnya atas dasar ijtihad sendiri, dengan anggapan bahwa jenis-jenis harta yang lain dapat menggantikan kedudukannya atau lebih bermanfaat dari jenis-jenis tersebut. Sebab, kalaulah demikian halnya, tentu syari'at telah menyebutkannya dan tentu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah mengisyaratkannya, atau telah memilihnya atau memberikan pilihan kepadanya. Maka bagaimana mungkin seorang Mukmin berprasangka bahwasanya perhatian Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah luput dari perkara ini? Apakah syari'at tidak memperhitungkannya?

Mengeluarkan jenis-jenis harta yang telah disebutkan didalam syari'at akan menjauhkan seorang Muslim dari perselisihan-perselisihan pendapat fiqih tentang barang yang digunakan sebagai penggantinya, apakah boleh atau tidak. Sebab, tidak ada orang mengatakan bahwasanya jenis-jenis harta yang dikeluarkan menurut ketetapan syari'at tidak sah. Namun, yang menjadi khilaf (perbedaan pendapat) adalah harta jenis lain, apakah sah atau tidak.

6.  Hendaklah Sedekah itu Dari Hasil yang Baik

Bersedekah dari harta yang halal karena itu merupakan sebab diterimanya sedekah tersebut dan yang akan menghasilkan pahala, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam,

"Tidaklah seseorang yang bersedekah dengan harta yang baik, dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik, melainkan Allah akan mengambil dengan Tangan Kanan-Nya. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh ditelapak tangan Allah 'Azza wa jalla hingga menjadi lebih besar daripada gunung. Sebagaimana seseorang diantara kamu menyamai benihnya atau memelihara anak unta." (HR.Ahmad II/538, an-Nasa'i V/57, at-tirmidzi no.661 dan ia berkata 'Hasan Sahih' dan Ibnu Majah no. 1842 dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu. Lihat kitab Shahiihul Jaami' no. 5600)

Al-fasil adalah unta kecil. Wajib atas orang yang bersedekah untuk mengusahakan agar sedekahnya berasal dari harta yang baik. Kalau tidak demikian, niscaya sedekahnya tidak akan diterima. Sungguh mengherankan, sering kali kami mendengar para penari atau penyanyi yang mendermakan hasil usahanya yang buruk itu untuk amal-amal kebaikan. Demikian pula pedagang obat terlarang, penjual khamr, penerima suap, atau yang lainnya. Mereka mensedekahkan harta yang buruk dari harta dan hasil usaha mereka. Kalaulah mereka benar-benar jujur, niscaya mereka akan meninggalkan apa-apa yang mereka kerjakan itu karena ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan memenuhi perintah-Nya. Namun, kebanyakan dari mereka bertujuan untuk berbangga-bangga, menyombongkan diri, agar orang-orang mengatakan bahwa ia adalah orang yang dermawan.

7.  Memberi Sedekah Kepada Orang-orang yang Membutuhkan

Hendaknya orang-orang yang bersedekah berusaha memberikan sedekahnya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dari kalangan orang-orang fakir, miskin, anak yatim, janda orang yang terlilit hutang, dan orang-orang yang berhak menerima sedekah. Janganlah ia memberikannya kepada orang yang ia ketahui tidak membutuhkannya. Apabila itu sedekah yang wajib (zakat), maka tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Seandainya, yang dimaksud adalah sedekah yang sunnah, maka dianjurkan mendahulukan orang yang pantas menerimanya. Sebab, sedekah itu akan menjaga mereka dari perbuatan yang haram untuk mendapatkan sesuap nasi atau yang lainnya. Allah Subhanahu wa ta'ala telah menjelaskan jenis-jenis orang yang menerima zakat.

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (Qs. At-Taubah: 60)

8.  Mengeluarkan Harta yang Terbaik dalam Bersedekah

Janganlah seseorang sengaja mengeluarkan barang-barang atau makanan yang buruk untuk disedekahkan, atau memilih harta-harta yang buruk didalam bersedekah. Namun hendaklah ia memilih yang bagus. Demikan jika mampu, hendaklah ia memberikan yang paling bagus karena hakikatnya ia menyerahkannya untuk dirinya disisi Allah Subhanahu wa ta'ala.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya..." (Qs. Al-Baqarah: 267)

Demikian seorang yang bersedekah, hendaklah mengeluarkan yang terbaik yang dimilikinya untuk Allah Subhanahu wa ta'ala. Sebab, ia akan medapatkan barang yang disedekahkannya itu terpelihara disisi Allah Subhanahu wa ta'ala pada saat ia membutuhkannya diakhirat.

9.  Bersedekah dengan Apa-apa yang Dia Cintai

Jika seorang hamba mampu bersedekah dengan sesuatu yang ia cintai dari harta, makanan atau yang sejenisnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai..." (Qs. Ali 'Imran: 92)

Oleh karena itu 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu'anhu apabila datang kepada beliau seorang peminta-minta, maka ia kan memerintahkan keluarganya untuk memberikannya gula karena ia menyukai gula. Demikianlah, hendaknya orang-orang yang suka berbuat baik segera berlomba-lomba melakukannya.

10.  Tidak Menggugurkan Sedekah dengan Mengungkit-ungkit dan Menyakiti Orang yang Menerima Sedekah

Tidak boleh seorang hamba mengungkit-ungkit sedekah kepada orang yang menerimanya atau merendahkannya dengan sedekah, atau menyebutkan kebaikan-kebaikan atau jasa-jasa yang telah ia berikan kepadanya. Sebab, hal itu dapat melukai perasaan orang yang menerimanya dan dapat menghapus (pahala) sedekah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)..." (Qs. Al-Baqarah: 264)

Allah juga menyifati orang-orang yang beriman didalam firman-Nya:
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala disisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Qs. Al-Baqarah: 262)

11.  Mengagumi Nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala dan Mensyukurinya

Wajib bagi orang yang bersedekah agar merenungi nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala atas dirinya ketika bersedekah. Sebab, Alah telah menjadikannya kaya dan tidak membuatnya terpakasa menerima sedekah. Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan tangannya diatas. Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikannya orang yang memberi dan bukan menerima. Yang demikian termasuk nikmat Allah atas dirinya sehingga ia harus bersungguh-sungguh mensyukurinya dengan mentaati Allah Subhanahu wa ta'ala. dan memperbanyak sedekah, serta berkasih sayang dengan orang fakir, miskin dan mereka yang membutuhkan.

12. Hendaknya orang yang Bersedekah Tidak Memandang Dirinya Berjasa Atas Orang yang Menerima Sedekahnya

Wajib atas orang yang bersedekah untuk tidak memandang dirinya berjasa atas orang fakir dan orang yang membutuhkan. Namun, hendaknya ia memandang semua itu sebagai karunia Allah Subhanahu wa ta'ala karena Dialah yang telah memberikan dan melimpahkan harta tersebut kepadanya. Allah pun memberinya taufik kepada Islam dan melepaskan dirinya dari kebakhilan atau sifat kikir sehingga ia segera untuk bersedekah.

Bahkan, seorang mukmin yang bijak akan melihat bahwasanya orang fakir itulah yang telah mencurahkan karunia atasnya. Sebab, orang fakir menerima sedekahnya sehingga memberikan kesempatan baginya untuk menerima pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Bahkan, orang-orang shalih dari kalangan Salaf berkata: "Demi Allah, aku memandang justru orang fakir adalah yang melimpahkan karunia atasku. Kalaulah Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menjadikan mereka menerima sedekahku, niscaya aku akan terhalang dari pahala dan balasan dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

13.  Tidak Mengurungkan Niat Bersedekah karena Keraguan terhadap Orang yang Menerimanya

Apabila seorang yang bersedekah ragu terhadap orang yang menerima sedekahya, tidak juga bisa memastikan apakah ia benar-benar fakir atau tidak, maka janganlah hal itu membuatnya tidak jadi bersedekah. Sebab, ada dasarnya ia mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala dari sedekahnya. Hal ini kerap kali terjadi. Selama ia bersungguh-sungguh memberikan sedekah kepada yang berhak, dan besar sangkaannya bahwa orang yang dimaksudkan berhak menerimanya, maka berikanlah sedekah itu. Bahkan, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tidak pernah menolak orang yang memintanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:

"Seorang laki-laki berkata: 'Malam ini aku akan bersedekah'. Kemudian ia keluar membawa barang yang akan disedekahkannya. Ternyata, ia memberikannya kepada pencuri sehingga pada pagi harinya orang-orang berbicara: 'Tadi malam seorang pencuri menerima sedekah.' Maka orang itu berkata: 'Ya Allah segala puji bagi-Mu, sedekah itu jatuh ketangan pencuri.' Setelah itu orang itu berkata: 'Aku akan bersedekah.' Kemudian ia keluar membawa sedekahnya. Ternyata sedekah itu jatuh ketangan pelacur sehingga orang-orang berkata: 'Tadi malam seorang pelacur menerima sedekah.' Maka orang itu berkata: 'Ya Allah, segala puji bagi-Mu, sedekah itu jatuh ketangan pelacur.' Sesudah itu ia berkata: 'Aku akan bersedekah.' Kemudian ia membawa sedekahnya. Ternyata sedekah itu jatuh ketangan orang kaya. Hingga orang-orangpun berkata: 'Orang kaya juga mendapatkan sedekah.' Maka ia berkata: 'Ya Allah segala puji bagimu, sedekah itu jatuh ketangan pencuri, pelacur dan orang kaya.' Dikatakan kepadanya: 'Sungguh, sedekahmu telah diterima. Adapun pencuri itu mudah-mudahan ia tidak lagi mencuri dan pelacur itu, mudah-mudahan ia meninggalkan perbuatan zina, sedangkan orang yang kaya itu, mudah-mudahan hal itu menjadi peringatan sehingga ia suka bersedekah dari kekayaan yang diberikan Allah kepadanya'." (HR. Al-Bukhari no. 1421 dan Muslim no. 1022 dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

Laki-laki dalam hadits diatas mengira bahwa ketiga orang tersebut menerima sedekah yang ia berikan, sedang ikhlas dalam memberikannya. Oleh karena itu, Allah menerima amalnya walaupun orang-orang yang menerima sebenarnya tidak berhak menerima sedekah. Itulah tujuan utama dari orang yang bersedekah, yaitu mengharapkan pahala balasan dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Hal itu benar-benar terjadi. Adapun tujuan yang lain ialah memberi manfaat bagi orang fakir dan mencukupi hajat mereka, yang bisa diwujudkan jika yang menerimanya benar-benar berhak. Mungkin juga justru yang tercapai adalah tujuan yang lain, yaitu menjadi i'tibar (pelajaran) jika orang yang menerima sedekah itu bukanlah orang yang berhak. Namun, jika orang yang bersedekah itu yakin bahwa orang yang meminta tidak berhak, atau menjadikan meminta-minta sebagai profesi, maka ia boleh menahan sedekahnya.

14.  Lebih Dulu Memberikan Sedekah Kepada Karib Kerabat

Apabila karib kerabat mereka termasuk orang yang membutuhkan, maka hak mereka lebih besar daripada hak oranglain.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Sedekah kepada orang miskin (mendapat satu pahala), sedangkan kepada karib kerabat menadapat dua pahala; pahala sedekah dan pahala silaturahim." (HR. Ahmad [IV/17,18,214], at-Tirmidzi no. 658 dan dihasankannya, an-Nasa'i V/92, Ibnu Majah no. 1844, al-Hakim I/407 dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dari Salman bin 'Amir. Lihat Shahiihul Jaami' no. 3858)

Barangsiapa yang mendapatkan kelapangan untuk bersedekah, hendaklah ia mendahulukan karib kerabatnya jika mereka membutuhkan karena mereka lebih berhak menerimanya. Jika tidak demikian, ia boleh menyerahkannya kepada orang lain. Semakin dekat derajat kekerabatannya dengan orang yang menerima sedekah itu, maka semakin besar pula pahala sedekahnya. Allahu a'lam.

15.  Merahasiakan Sedekah Kecuali Untuk Suatu kepentingan

Dianjurkan kepada setiap Muslim jika ia bersedekah untuk merahasiakan sedekahnya dari pengetahuan manusia sebisa mungkin. Sesungguhnya hal itu lebih dekat kepada keikhlasan serta lebih menjaga harga diri dan kehormatan orang yang menerimanya.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu merahasiakannya dan kamu memerikan kepada orang-orang fakir, maka merahasiakan itu lebih baik bagimu..." (Qs. Al-Baqarah: 271)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang merahasiakan sedekahnya termasuk orang-orang yang dinaungi pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah Subhanahu wa ta'ala.

Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Tujuh orang yang Allah naungi pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah Subhanahu wa ta'ala: .....dan seorang yang bersedekah, ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tau apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya." (HR. Al-Bukhari no. 660, Muslim no. 1031) Hadits ini berisi anjuran untuk merahasiakan sedekah.

Meskipun demikian, apabila disana ada kepentingan dan maslahat yang kuat untuk menampakkannya, maka yang lebih baik adalah menampakkannya. Contohnya, orang yang terhormat bersedekah kepada orang yang membutuhkan dihadapan khalayak agar mereka mengikutinya untuk bersedekah. Dengan begitu, ia telah mencontohkan kepada mereka perbuatan baik. Misalnya juga orang yang mengeluarkan zakat secara terang-terangan dihadapan orang banyak untuk mengingatkan mereka tentang waktu zakat, seperti juga orang yang khawatir tidak menemukan orang yang membutuhkannya jika ia tidak memberikanya saat itu juga dihadapan orang banyak. Masih banyak lagi permasalahan lainnya. Hal itu semua dilakukan dengan tetap menjaga diri dari riya' dan tetap menjaga keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala didalamnya.

16.  Tidak Mengambil Kembali Sedekahnya

Jika seseorang memberikan suatu sedekah, maka ia tidak boleh mengambilnya kembali dari orang yang telah menerimanya.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Perumpamaan orang yang bersedekah kemudian ia mengambil kembali sedekahnya seperti anjing yang memuntahkan sesuatu kemudian ia menjilat muntahannya untuk memakannya lagi." (HR. Muslim no.1622 dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma)

Hadits diatas menerangkan perumpamaan yang sangat jelek bagi orang yang mengambil kembali sedekahnya. Tidaklah dibuat perumpamaan itu, melainkan karena buruknya perbuatan tersebut. Maka dari itu, wajib atas Muslim ketika bersedekah agar mengeluarkan sedekahnya dengan kemurahan hati dan ia tidak mengambil kembali apa yang telah disedekahkan dengan alasan apapun.

Demikianlah yang dimudahkan Allah Subhanahu wa ta'ala bagiku dari adab-adab sedekah, yang jumlahnya enam belas adab. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin.

[Dikutip dari kitab Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cetakan pertama/Agustus 2007]

from= http://faisalchoir.blogspot.fr/2012/09/adab-adab-bersedekah.html