Sebelumnya, sepakatkah Anda dengan saya jika :
Ada peraturan yang dikeluarkan Pemerintah yang melarang para pedagang berjualan secara liar di jalan tol/gerbang jalan tol[1],
maka dengan itu terdapat larangan bagi Anda untuk melakukan transaksi
jual-beli dengan para pedagang yang melanggar aturan tersebut.
Peraturan tersebut dibuat untuk kenyamanan, kelancaran, keamanan, dan
keselamatan para pengguna jalan, sesuai dengan fungsi jalan tol itu
sendiri. Dalam konteks itu, tidak tepat bagi Anda beralasan dengan sahnya transaksi jual-beli,[2] untuk
membolehkan aktiftas transaksi jual-beli yang terjadi antara pembeli
dan penjual yang melanggar aturan. Dengan Anda membeli barang dagangan
penjual tersebut, artinya, Anda ‘melegalkan’ pelanggaran
yang terjadi dan sekaligus melestarikannya. Akibatnya, terjadilah
ketidakteraturan dan kekacauan. Jalan tol atau gerbang tol yang dibuat
untuk meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi, bisa jadi
berubah seperti jalan kampung, atau bahkan pasar, yang dipenuhi
aktifitas jual-beli. Banyak pihak yang merasa dirugikan akibat ulah
sekelompok orang yang melanggar aturan. Ini jika kita bicara sistem.
Jika Anda sepakat, mari kita lanjut.....
BM (Black Market) sesuai istilah yang jamak dipakai dalam hukum positif dan transaksi-jual beli kontemporer artinya adalah perdagangan illegal, perdagangan tidak resmi, perdagangan yang dilakukan di luar jalur resmi dengan sebab melanggar hukum suatu negara.
Perdagangan yang diperbolehkan berlaku di wilayah hukum Indonesia adalah perdagangan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Dalam perspektif hukum positif Indonesia, jual-beli yang dicontohkan di awal termasuk illegal, Black Market.
Bicara tentang legal, tentu saja akan sangat luas karena akan mencakup berbagai macam aturan. Yang jelas, Pemerintah (ulil-amri) telah menetapkan kewajiban bagi seluruh pedagang untuk menjual dagangannya secara legal dan melarang transaksiillegal (Black Market).
Jika barang yang didagangkan merupakan barang impor, maka wajib
mempunyai surat-surat resmi dan/atau melalui beberapa proses yang
diwajibkan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Bagi yang punya pengalaman sebagai regulator,
aturan-aturan legal yang ditetapkan sangatlah bermanfaat, diantaranya
sebagai alat kendali dan pengawasan. Alat kendali dan pengawasan
beredarnya barang-barang terlarang, membahayakan, bajakan, dan lainnya.
Mungkin sebagian orang ‘meng-enteng-kan’
masalah ini dan menganggapnya ‘sekedar’ urusan administrasi
semata. Benar, ini adalah bagian dari urusan administrasi. Tapi justru
urusan administrasi inilah yang memegang peran penting sebagai alat
kendali. Contohnya, kayu. Perdagangan kayu pada umumnya wajib
dilengkapi dokumen-dokumen kayu sesuai aturan yang berlaku. Apa gunanya
?. Salah satu gunanya untuk mencegah beredarnya kayu-kayu curian. Kayu,
jika sudah masuk pasar, tidak bisa dibedakan mana hasil curian mana
pula yang tidak. Salah satu alat untuk mengetahuinya adalah keberadaan
dokumen kayu. Dari situlah dapat diketahui asal-usul kayu. Jika tidak
dilengkapi dokumen, kayu dapat disita dan pelakunya dapat dicokok oleh
petugas. Saya pribadi tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika
tidak ada alat kendali tersebut. Jika pasar kayu curian (baca : Black Market) tidak dapat dikendalikan/diberantas, mungkin secara hiperbola saya katakan hutan kita hanya tinggal nama saja.
Contoh
lain, produk-produk pertanian (dan turunannya, termasuk peternakan).
Produk-produk pertanian yang diimpor mesti melewati tahapan pemeriksaan
di badan karantina. Kalau layak, aman, dan tidak bertentangan dengan
undang-undang, maka diterbitkanlah dokumen legalnya. Jika itu produk
peternakan, (diantaranya) keluarlah Surat Keterangan
Kesehatan/Sanitasi. “Ah, itu kan hanya urusan administrasi saja,”katanya.
Benar ini bagian dari urusan administrasi. Tapi kalau tidak ada
administrasi ini, Anda mengendalikan produk-produk import yang beredar
di negeri kita melalui tools apa ?.
Contoh
lain, barang elektronik. Apakah Anda dapat mudah mengendalikan
membanjirnya barang aspal (asli tapi palsu) alias bajakan tanpa
keberadaan dokumen-dokumen administrasi legal ?.
Jika kita membolehkan dan bahkan mendorong untuk membeli barang BM[3], bukankah artinya itu kita mendukung adanya pelanggaran, ketidakteraturan, dan kerugian ?.
Mari
kita berpikir dalam skala luas, dan jangan sekedar berpikir sebagai
konsumen yang inginnya dapat barang murah, berkualitas, aman, dan
keuntungan pribadi lainnya tanpa memikirkan mekanismenya.
Janganlah
tergopoh-gopoh mengatakan urusan administrasi yang diatur Pemerintah
itu adalah urusan tidak ma’ruf yang hanya menguntungkan
segelintir orang saja.[4] Apakah
menurut Anda ketika Pemerintah menetapkan persyaratan barang-barang
eletronik yang dilegalkan beredar di wilayah hukum Indonesia wajib
menyertakan manual berbahasa Indonesia disebut aturan yang tidak
ma’ruuf ? (umumnya, barang-barang BM itu tidak disertai manual
berbahasa Indonesia). Siapakah yang diuntungkan dalam persyaratan
barang legal ini ?.
Apakah
tepat untuk dikatakan dalam konteks pengaturan tersebut Pemerintah
telah mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Allah dan melarang apa yang
tidak dilarang Allah sehingga aturan mereka tidak boleh ditaati ?.
Sejauh mana kita – apalagi yang mengaku bermanhaj salaf (baca : Salafiy) – mentaati aturan Pemerintah ?. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara kalian” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Meskipun bermuamalah dengan kuffar itu
hukum asalnya boleh, namun ketika Pemerintah membuat kebijakan untuk
memboikot produk-produk mereka, maka wajib bagi rakyat untuk
melaksanakannya sebagai wujud ketaatan pada ulil-amri. Itulah yang
dijelaskan oleh ulama kita.[5]
Benar,
bahwa ketaatan kita pada ulil-amri dibatasi pada perkara yang tidak
mengandung kemaksiatan kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf saja”.
Apakah menurut kita kewajiban pengurusan kelengkapan legalitas produk itu merupakan perkara kemaksiatan kepada Allah ?.
Wallaahu a’lam.
Semoga ini menjadi diskursus bagi kita semua. Dan semoga, ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – kedungwuluh, patikraja, banyumas – 26122012 – 16:56].
[1]
Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan Peraturan Pemerintah
No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.
[3] Seperti yang tertera pada Judul : “Barang BM : Why Not ?”.
[4] Sebagaimana yang pernah dikatakan seseorang :
sejauh ini Ana menilai peraturan pamerintah telah dibuat dengan cara yang tidak ma’ruuf. Kenapa demikian? Karena hanya
mementingkan dan menguntungkan sebagian orang saja, retribusi pajak dan
cukai serta yang lainnya tidak banyak yang digunakan untuk kemaslahatan
umat (rakyat/masyarakat). Contoh kecil saja: Laptop dengan harga
yang mahal itu, hanya bisa dinikmati strata sosial tertentu, padahal
fungsi dan kegunaan Laptop begitu bermanfaatnya dalam menunjung
pendidikan misalnya dan seterusnya. Tapi kemudian, orang miskin yang
tak sanggup beli laptop hanya bisa menikmati pendidikan ala-kadarnya,
atau hanya bisa jadi penonton untuk kemajuan pendidikan mereka yang
berduit, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Ini menunjukkan aturan pemerintah tersebut TIDAK MA’RUUF, maka tidak perlu ditaati.
Inilah
cara berpikir yang sempit dan tidak logis. Ma’ruf hanya ditimbang
dari faktor mahal dan murahnya saja. Apakah menurutnya barang murah itu
pasti ma’ruf, dan yang mahal tidak ma’ruf ?.
Produk
yang punya jaminan (keamanan, kualitas/mutu, dan legal) dimanapun pasti
lebih mahal daripada barang yang tidak jelas dan/atau abal-abal. Apalagi produk yang sudahcertified (ISO, Ekolabel, HACCP, dan lain-lain). Ini hukum pasar.
Justru
tindakan potong kompas hanya sekedar bertujuan mendapatkan barang murah
seperti menjual dan membeli barang-barang bajakan – misalnya
– menurut saya adalah cara-cara yang tidak ma’ruuf.
[5] Seperti fatwa Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah dalam masalah memboikot produk kuffar.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhohullah pernah ditanyakan,
“Wahai
Syaikh yang mulia, terpampang di koran-koran saat ini seruan untuk
pemboikotan produk Amerika. Di antaranya apa yang tertulis hari ini
bahwa para ulama kaum muslimin menyeru pemboikotan dan aksi ini
dikatakan fardhu ‘ain, setiap muslim wajib melakukan pemboikotan
ini. Ada yang mengatakan bahwa membeli satu saja dari barang-barang ini
adalah haram dan pelakunya telah berbuat dosa besar, telah menolong
Amerika dan membantu Yahudi memerangi kaum muslimin. Saya mengharap
Syaikh yang mulia bisa menjelaskan hal ini.”
Syaikh hafizhohullah menjawab,
“Yang
pertama: Saya meminta salinan surat kabar atau perkataan yang
disebutkan oleh penanya tadi. Yang kedua: fatwa semacam tadi tidaklah
benar. Para ulama tidak berfatwa bahwa produk Amerika itu haram.
Produk-produk Amerika tetap ada dan masih dipasarkan di tengah-tengah
kaum muslimin. Jika engkau tidak membeli produk Amerika, itu pun tidak
membahayakan mereka. Memboikot produk tertentu hanya boleh dilakukan
jika ada keputusan dari penguasa kaum muslimin. Jika penguasa kaum muslimin memerintahkan untuk memboikot suatu produk, maka kaum muslimin wajib untuk memboikot.
Adapun jika itu hanya seruan dari person-person tertentu dan
mengeluarkan suatu fatwa, maka ini berarti telah mengharamkan apa yang
Allah halalkan.” (Dari kaset Fatwa Ulama dalam Masalah Jihad dan
Aksi Bunuh Diri dari Tasjilat Minhajus Sunnah Riyadh. Dinukil dari
Majalah Al Furqon, IV/12)
Sumber : http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3023-fatwa-ulama-tentang-hukum-boikot-produk-yahudi.html.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2012/12/beli-barang-bm-black-market-why-not.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2012/12/beli-barang-bm-black-market-why-not.html