Ketika para ulama berbeda pendapat
tentang hukum halal dan haramnya musik, tergelitik bagi kita untuk meneliti
latar belakang dan sebab perbedaan pendapat di antara mereka.
Ternyata titik pangkal masalahnya memang
ada begitu banyak dalil yang saling berbeda bahkan bertentangan, antara yang
disimpulkan sebagai dalil yang menghalalkan musik di satu sisi, dengan dalil
yang mengharamkannya.
Dan ternyata kita menemukan cukup banyak
dalil baik di dalam Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, baik yang mengharamkan
maupun menghalalkannya.
A. Dalil Yang Mengharamkan
1. Al-Quran
Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang
secara tegas menyebut kata musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga
dalil-dalil terkait dengan musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat
penafsiran atas istilah-istilah yang punya makna banyak. Di antara
istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu
adalah :
a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
Di antara dalil haramnya nyanyian dan
musik di dalam Al-Quran adalah ayat yang menyebutkan tentang menyesatkan
manusia dengan cara membeli apa yang disebut dengan lahwal-hadits (لهو الحديث). Ayat ini terdapat
di dalam surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan sebagai ayat yang
mengharamkan nyanyian dan lagu.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Para ulama yang menyebutkan bahwa makna
nya lahwal-hadits (لهو الحديث)
diantaranya adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin
Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Demikian juga dengan pendapat Mujahid
dan Ikrimah, mereka menafsirkan lahwal-hadits sebagai lagu atau nyanyian.
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan
nyanyian.
b. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah
itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab
disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)
Menurut pendukung haramnya nyanyian dan
musik, Allah SWT telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika
yang digunakan adalah bahwa kalau sekedar bersiul dan bertepuk tangan saja
sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram
lagi.
c. Surat Al-Isra’ : Suara
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi
di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Yang menjadi titik perhatian dalam ayat
ini adalah kata bi shautika (بصوتك). Dalam pendapat
mereka, ayat ini termasuk ayat yang mengharamkan nyanyian dan musik; lewat
tafsir dan pendapat dari Mujahid.
Beliau memaknainya dengan : bi-llahwi
wal ghina (باللهو والغناء).
Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.
d. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan
persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)
Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur
(يشهدون الزور),
sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu
maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin
Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka mendengarkan nyanyian dan lagu
hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.
e. Surat Al-Qashash : Laghwi
Sebagian ulama mengharamkan musik karena
dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu
dilarang di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ
Dan apabila mereka mendengar perkataan
yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi
kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami
tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. (QS. Al-Qashash : 55)
f. Surat An-Najm : Samidun
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap
pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu
melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)
Yang menjadi titik utama dari ayat ini
adalah kata samidun (سامدون), dimana Abdullah bin Al-Abbas
radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah
al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau
mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
2. Hadits
Sedangkan penyebutan alat-alat musik dan
nyanyian akan lebih jelas ketika kita membuka hadits-hadits nabawi. Ada begitu
banyak hadits yang terkait dengan musik dan nyanyian, di antaranya adalah :
a. Hadits Pertama : Musik Penyebab
Turunnya Bencana
إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ مِنْهَا
: وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah
mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau
SAW menghitung salah satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan
alat-alat musik”. (HR. Tirmizy).
Hadits ini memasukkan musik sebagai
salah satu dari lima belas penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka
menurut yang mengharamkan musik, hukum bermusik itu haram karena akan
menurunkan bencana dari Allah SWT.
b. Hadits Kedua : Tugas Nabi
Menghancukan Alat Musik
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi
rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk
menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Menurut pendapat yang mengharamkan
musik, salah satu sebab kenapa musik itu diharamkan adalah karena salah satu
tugas Rasulullah SAW adalah untuk menghancurkan alat-alat musik.
c. Hadits Ketiga : Akan Ada Yang
Menghalalkan Musik
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang
menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Hadits ini boleh jadi termasuk hadits
yang paling selamat dari kelemahan isnad, karena hadits ini terdapat di dalam
kitab Shahih Bukhari. Sehingga kalau ada yang masih meragukan kekuatan
isnadnya, tentu yang meragukan itulah yang bermasalah.
Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa
seluruh umat Islam telah mencapai ijma’ bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran
Al-Karim adalah kitab Shahih Bukhari.
Dan dari segi istidlal, hadits ini juga
tegas menyebutkan bahwa ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang
haram, dana salah satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik.
d. Hadits Keempat : Musik Adalah Suara
Yang Dilaknat
Haramnya suara musik juga didasarkan
pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara
seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia
dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan
ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)
e. Hadits Kelima : Allah Mengharamkan
Musik
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar,
judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah
mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR.
Ahmad)
f. Hadits Keenam : Rasulullah SAW
Menutup Telinga
Mereka yang mengharamkan alat musik
berdalil bahwa ketika mendengar suara seruling gembala, Rasulullah SAW menutup
telinganya. Hal itu menandakan bahwa musik itu hukumnya haram.
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ
: نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ
: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar
suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan
mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah
engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai
saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar
seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
g. Hadits Ketujuh : Batilnya Semua Yang
Sia-sia
Selain itu mereka yang mengahramkan
musik berdalil dengan hadits di bawah ini, yaitu hadits yang mengharamkan semua
yang sia-sia.
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan
seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan
kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng
Haramnya musik juga dikaitkan dengan
haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Dan memang ada beberapa hadits yang
secara tegas mengharamkan lonceng, di antaranya :
الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan
(HR. Muslim)
لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah
yang di dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani
orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar
untuk memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu
Hibban)
B. Dalil Yang Menghalalkan Musik dan
Lagu
Para ulama yang tidak mengharamkan
nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah
mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak
yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang
dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.
1. Jawaban Atas Dalil Quran
Lima ayat yang digunakan oleh mereka
yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak
menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri.
Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan
menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif
dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali
tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.
Jadi paling jauh, kita hanya bisa
mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat
ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat
subjektif dari beberapa orang di antara ulama.
a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat
Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian
dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh
lebih banyak lagi.
Misalnya Adh-Dhahhak, beliau
menafsirkannya isitlah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik.
Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.
Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila
menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :
Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak
bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW.
Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.
Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya
sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu
banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.
Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang
dimaksud lahwa-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil.
Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan
orang dijadikan permainan.
Katakanlah misalnya ada orang membeli
mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan.
Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang
tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?
Jawabnya tentu tidak. Kalau mau
mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda
sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda
tersebut.
a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan
Ketika berhujjah dengan ayat tentang
tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan
bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi
haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah
itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab
disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)
Ayat ini tidak secara langsung
menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana
orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan
bertepuk-tepuk tangan.
Kemudian oleh kalangan yang ingin
mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang
diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan
bermusik.
Padahal yang diharamkan adalah menyembah
Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan
perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.
Adapun bersiul dan bertepuk tangan di
luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal
dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan
tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang
ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa
diharamkan begitu saja.
Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum
atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan
bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan.
Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah
peribadatan di peradaban yang lain.
Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu
menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada
hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik
dengan menggunakan ayat ini.
b. Surat Al-Isra’ : Suara
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan
musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi
di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)
Mereka mengatakan bahwa salah seorang
ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء),
yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.
Padahal pendapat itu hanya pendapat satu
orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun
tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli
tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah
maksiat kepada Allah.
Nampaknya Departemen Agama RI lebih
menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca
terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan
menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian
dan musik.
c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan
musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian
palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)
Mereka berlindung di balik pendapat
Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak
mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang
sama.
Padahal nyaris kebanyakan pendapat para
ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu
jauh penyimpangan maknanya.
Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri
orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman,
dimana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.
Kalau pun ada ulama yang menafsirkan
maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian
Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan
syirik atau menyembah berhala.
Titik pangkalnya adalah pada kata
yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور),
yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan : memberi
kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.
d. Surat Al-Qashash : Laghwi
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan
musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga
hukumnya haram. Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua
perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri
menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.
Salah satunya adalah orang yang
berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, dimana Allah SWT tidak
mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :
لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang
disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS.
Al-Baqarah : 225)
f. Surat An-Najm : Samidun
Ayat lainnya yang juga sering
ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat
An-Najm.
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap
pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu
melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)
Yang menjadi titik perhatian adalah kata
samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam
versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah.
Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya
dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan
lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.
Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan
as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.
Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan
sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran,
mereka malah bernyanyi-nyanyi.
2. Jawaban Atas Dalil Hadits
Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits
yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup
banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi
isnad maupun dari segi istidlal.
Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab
Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih
di antara hadits-hadits yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.
Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di
dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih
dari hadits-hadits yang mengharamkan musik.
Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla
menyebutkan : tidak ada satu pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik
ini. Semuanya hadits maudhu’.
Mari kita bahas satu persatu
hadits-hadits yang banyak digunakan oleh merekayang mengharamkan nyanyian dan
musik.
a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak
Shahih
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan
musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.
إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan
lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW
menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR.
Tirmizy)
Namun yang jadi masalah adalah meski
matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut
nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain,
bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya
memvonis hadits ini lemah. Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy,
jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak
shahih.
Maka bagi mereka yang menghalalkan
nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk
mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadits
yang status hukumnya lemah.
b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak
Shahih
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah
mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah
memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR.
Ahmad)
Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan
tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan
alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak
pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau
setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.
Masalahnya justru karena hadits kedua
ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan
bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali
bin Yazid.
Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang
mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman
alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru
bermasalah, karena merupakan hadits dhaif.
Dan hadits dhaif memang boleh digunakan
untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama
sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.
c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak
Sharih
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang
menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)
Para ulama membicarakan dan
memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari.
Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama
memperselisihkannya.
Banyak diantara mereka yang mengatakan
bahwa hadits ini adalah hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya
dikatakan oleh Ibnu Hazm. Mengapa demikian?
Ternyata hadits ini termasuk dalam
kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur
periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak
diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.
Di antara perdebatan mereka antara lain
apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang
meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai
pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah.
An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa
bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan. Sedangkan mereka yang
tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak
mencacatnya.
Selain itu Hisyam ini adalah khatib di
Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu. Disamping itu
diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat
dari kegoncangan (idhtirab).
Katakanlah, bahwa hadits ini shahih,
karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih
bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya.
Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.
Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak
semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat
laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya. Hadits ini juga tidak
menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ).
Makna aslinya adalah kemaluan atau
farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita
gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak
salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat
pernikahan atau menyetubuhi budak. Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik,
sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa
madharat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.
d. Hadits Keempat :
Haramnya suara musik juga didasarkan
pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara
seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia
dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan
ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)
e. Hadits Kelima :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar,
judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ
Sesungguhnya Allah SWT telah
mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR.
Ahmad)
f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan
Berarti Haram
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ
: نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ
: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا – رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه ‘
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar
suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan
mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah
engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai
saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar
seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
Hadits ini punya dua kelemahan
sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini
divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang
menentangnya. Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga
bermasalah dari segi istidlal.
Mengapa?
Karena hadits ini sama sekali tidak
menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits
ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman
mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena
ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :
Pertama, seandainya hukum mendengar
suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan
berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup
seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau
mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan
hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan
sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.
Kedua, seandainya hukum mendengar musik
itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak
hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan
pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau
lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama
sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya
apakah Nafi’ masih mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang
mendengar musik haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa
ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan
karena sebab-sebab yang lain.
Sebab-sebab yang lain itu misalnya
karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah
SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan,
misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.
Atau boleh jadi si penggembala kurang
pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan
sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya.
Padahal kalau seandainya meniup seruling
itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau
menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan
kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam
menjalankan tugas-tugas kenabian.
g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang
Sia-sia
Sebagian kalangan yang ingin
mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan
sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan
istri.
كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan
seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan
kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari
segi keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi
menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.
Sedangkan kelemahan dari segi istidlal
bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu
yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk
batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan
saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.
Logika seperti ini ibarat ingin membunuh
lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang
lain sudah pasti.
Hadits Kedelapan :
Haramnya Lonceng Haramnya musik juga
dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara
lonceng itu tidak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru
didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng
Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat
Sumber: http://www.ustsarwat.com/v.php?id=100&=halal-haramnya-musik-dalam-deretan-dalil-dalil-syari.htm