Ketimpangan Manhaj Muwazanah, Syubhat Manhaj Muwazanah Dan Bantahannya
Disusun
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Bagian Terakhir dari Dua
SYUBHAT MANHAJ MUWAZANAH DAN BANTAHANNYA
Zaid Az-Zaid berkata : “Al-Qur’an dan Sunnah telah mengajarkan kepada kita manhaj (muwazanah) ini, diantaranya firman Allah.
“Artinya
: Di Antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya
harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan diantara mereka ada
orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak
dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]
Celaan
diatas diiringi, bahkan didahului oleh pujian, dan penjelasan keadaan
sebagian ahli kitab dan pengakuan bahwa sebagian mereka menunaikan
amanah! [5]
Berkata Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali membantah syubhat ini :
Pertama.
Sepanjang sepengetahuanku tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan atas muwazanah antara kebaikan dan kejelekan atau yang semakna dengan ibarat ini, dan tidak selayaknya seorang muslim keluar dari fiqh salaf dan pemahaman mereka.
Sepanjang sepengetahuanku tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan atas muwazanah antara kebaikan dan kejelekan atau yang semakna dengan ibarat ini, dan tidak selayaknya seorang muslim keluar dari fiqh salaf dan pemahaman mereka.
Kedua.
Yang difahami oleh para ulama tafsir dari ayat di atas adalah peringatan kepada umat Islam dari kejelekan ahli kitab sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Qurthubi di dalam Tafsirnya 4/116 : Allah mengkhabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang amanat dan ada yang pengkhianat, sedangkan orang-orang yang beriman tidak bisa memilah-milah mereka, maka selayaknya menjauhi ahli kitab semuanya.
Yang difahami oleh para ulama tafsir dari ayat di atas adalah peringatan kepada umat Islam dari kejelekan ahli kitab sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Qurthubi di dalam Tafsirnya 4/116 : Allah mengkhabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang amanat dan ada yang pengkhianat, sedangkan orang-orang yang beriman tidak bisa memilah-milah mereka, maka selayaknya menjauhi ahli kitab semuanya.
Ketiga.
Di dalam kitab dan Sunnah banyak didapati nash-nash yang banyak sekali dalam mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang tidak menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka sekaligus, seperti firman Allah.
Di dalam kitab dan Sunnah banyak didapati nash-nash yang banyak sekali dalam mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang tidak menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka sekaligus, seperti firman Allah.
“Artinya : Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah
kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 42]
Dan firman Allah.
“Artinya : Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah, dan (juga mereka mempertahankan) Al-Masih putera Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan” [At-Taubah : 31]
Dimanakah manhaj muwazanah dalam nash-nash di atas ?!
Sesungguhnya penetapan manhaj muwazanah yang bid’ah ini akan membuka pintu kepada orang-orang Yahudi, Nashrani, Komunis, dan Rasionalis untuk menyerang kaum muslimin,
mencela Allah dan rasulnya, dan apa yang ditulis oleh para ulama Islam
dalam mengkritik kelompok-kelompok sesat, dalam masalah jarh wat
ta’dil. Hal ini merupakan bukti yang jelas atas kebatilan manhaj muwazanah ini.[6]
FATWA PARA ULAMA TENTANG MANHAJ MUWAZANAH
[1]. Fatwa Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
Ada seorang yang bertanya kepada Samahatusy Syaikh : “Ada orang-orang yang mewajibkan muwazanah; yaitu jika engkau mengkritik seorang ahli bid’ah maka wajib atasmu untuk menyebutkan kebaikannya agar engkau tidak mendholiminya?”.
Maka Samahatusy Syaikh menjawab : “Tidak,
hal ini tidak harus, hal ini tidak harus, karena inilah jika engkau
melihat kitab-kitab Ahli Sunnah, maka engkau akan mendapati apa yang
dimaksud yaitu tahdzir, bacalah dalam kitab Bukhari Kholqu Af’alil Ibad
dan Kitabul Adab dari Shahihnya, kitab As-Sunnah oleh Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal, kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Bantahan Utsman bin
Said Ad-Darimi kepada Ahli Bida’… dan yang lainnya.
Mereka
tulis kitab-kitab ini sebagai peringatan kepada setiap muslim dari
kebatilan ahli bid’ah, dan bukan bertujuan memaparkan kebaikan-kebaikan
mereka … Maka yang dimaksud adalah peringatan kepada setiap muslim dari
kebatilan mereka, sedangkan kebaikan mereka tidak bernilai sama sekali
bagi yang kafir dari mereka, jika kebid’ahan mereka adalah bid’ah yang
mengkafirkan pelakunya maka hapuslah kebaikannya, dan jika bid’ahnya belum mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya, maka yang dimaksud adalah penjelasan kesalahan mereka yang wajib untuk dihindari dan dijauhi”
[Dari
kaset Ta’lim Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di Thoif
tahun 1413H sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir
Rijal Wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali hal. 9]
[2] Fatwa Syaikh Al-Alamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Ada
pertanyaan yang dilontarkan kepada Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan –setelah beliau ditanya tentang beberapa pertanyaan mengenai
kelompok-kelompok Islam-. Baik ya
Syaikh apakah engkau memperingatkan manusia dari mereka tanpa menyebut
kebaikan mereka, atau engkau sebutkan kebaikan dan kejelekan mereka
secara bersamaan ?
Maka Fadhilatusy Syaikh menjawab : “Jika engkau menyebut kebaikan mereka berarti engkau mengajak (manusia,-pent) kepada mereka, tidak; jangan engkau sebut kebaikan mereka!, tetapi sebutkan kesalahan mereka saja,
karena tugasmu bukanlah untuk mempelajari keadaan mereka dan
menilainya… tetapi tugasmu adalah menyebutkan kesalahan yang ada pada
mereka agar mereka bertaubat darinya, dan agar selain mereka menjauhi kesalahan itu.
Demikian juga kesalahan yang ada pada mereka bisa jadi menghilangkan
kebaikan mereka semuanya jika kesalahan itu berupa kekufuran atau
kesyirikan, bisa jadi mengalahkan kebaikan mereka, dan bisa jadi itu
adalah kebaikan menurut pandanganmu padahal sebenarnya bukanlah
kebaikan di sisi Allah”
[Ajwibah Mufidah ‘An As’Ilatil Manahijil Jadidah hal. 13-14]
[3]. Fatwa Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
Ketika ditanya tentang manhaj muwazanah Syaikh Al-Albani berkata : ‘Ini adalah cara-cara ahli bid’ah.
Ketika seorang ahli hadist menilai seorang perawi yang shalih atau alim
atau faqih dengan perkataannya : “Fulan jelek hafalannya”, apakah dia
juga mengatakan bahwa dia adalah seorang muslim atau seorang yang
shalih atau seorang yang faqih atau seorang yang diambil dalam
istinbath hukumnya ?! Allahu Akbar. Pada hakekatnya kaidah yang
terdahulu (yaitu kaidah : setiap kebaikan adalah dalam ittiba’ kepada
salaf) adalah kaidah yang sangat penting sekali yang mencakup
cabang-cabang yang banyak khususnya pada zaman ini.
Dari
mana mereka (pemilik manhaj muwazanah) mendapatkan dalil yang
mengatakan jika seorang hendak menjelaskan kesalahan seorang muslim
–jika dia adalah seorang da’i atau bukan- maka wajib bagi dia melakukan
ceramah yang mennjelaskan kebaikan orang tadi dari awal sampai akhir,
Allahu Akbar ini adalah sesuatu yang aneh. Demi Allah ini adalah
sesuatu yang aneh….”
[Silsilatul
Huda wan Nur kaset no. 850 sebagaimana dalam Nashrul Aziz oleh
Syaikhhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 96-97]
PENUTUP
Jelaslah dari uraian di atas bahwa :
[1]. Apa yang didakwakan dari wajibnya memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan, dan kelompok adalah dakwaan yang tidak ada dalilnya sama sekali dari kitab maupun sunnah, maka manhaj muwazanah adalah manhaj yang asing dan bid’ah.
[2]. Ulama salaf tidak pernah memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok
[3]. Wajib memperingatkan umat dari bid’ah dan ahlinya dengan kesepakatan kaum muslimin, dan boleh bahkan wajib menyebut kebid’ahan mereka dan menjauhkan manusia dari mereka.
[4]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab dalam jarh wa ta’dil dan kitab-kitab yang khusus dalam jarh saja, kitab-kitab ini jumlahnya banyak sekali, tidak ada seorangpun dari mereka yang mewajibkan atau menyunahkan muwazanah, bahkan mereka mewajibkan jarh saja.
[5]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab tentang sunnah dan bantahan kepad bid’ah dan ahlinya tanpa memakai manhaj muwazanah.
[6]. Manhaj salaf dilandaskan atas maslahat dan nasihat kepada umat.
[7]. Manhaj salaf adalah benteng yang teguh di dalam melindungi kaum muslimin dari bahaya dan makar ahli bid’ah
[8]. Manhaj muwazanah akan membuka pintu kepada semua ahli bid’ah untuk merusak aqidah kaum muslimin dan melancarkan berbagai macam fitnah kepada mereka.
[9]. Wajib bagi setiap muslim untuk waspada trehadap pemikiran-pemikiran yang membahayakan aqidah dan manhajnya, tidak sepantasnya setiap muslim untuk mengikuti setiap seruan yang memperdayakan, yang akan menyebabkan tercabutnya nikmat yang paling agung, yaitu keteguhan di atas manhaj salaf.
[1]. Apa yang didakwakan dari wajibnya memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan, dan kelompok adalah dakwaan yang tidak ada dalilnya sama sekali dari kitab maupun sunnah, maka manhaj muwazanah adalah manhaj yang asing dan bid’ah.
[2]. Ulama salaf tidak pernah memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok
[3]. Wajib memperingatkan umat dari bid’ah dan ahlinya dengan kesepakatan kaum muslimin, dan boleh bahkan wajib menyebut kebid’ahan mereka dan menjauhkan manusia dari mereka.
[4]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab dalam jarh wa ta’dil dan kitab-kitab yang khusus dalam jarh saja, kitab-kitab ini jumlahnya banyak sekali, tidak ada seorangpun dari mereka yang mewajibkan atau menyunahkan muwazanah, bahkan mereka mewajibkan jarh saja.
[5]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab tentang sunnah dan bantahan kepad bid’ah dan ahlinya tanpa memakai manhaj muwazanah.
[6]. Manhaj salaf dilandaskan atas maslahat dan nasihat kepada umat.
[7]. Manhaj salaf adalah benteng yang teguh di dalam melindungi kaum muslimin dari bahaya dan makar ahli bid’ah
[8]. Manhaj muwazanah akan membuka pintu kepada semua ahli bid’ah untuk merusak aqidah kaum muslimin dan melancarkan berbagai macam fitnah kepada mereka.
[9]. Wajib bagi setiap muslim untuk waspada trehadap pemikiran-pemikiran yang membahayakan aqidah dan manhajnya, tidak sepantasnya setiap muslim untuk mengikuti setiap seruan yang memperdayakan, yang akan menyebabkan tercabutnya nikmat yang paling agung, yaitu keteguhan di atas manhaj salaf.
[Disalin
dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj
Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah
Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Gresik JATIM]
_________
Foote Note
[5]. Dhawabith Raiisiyyah oleh Zaid Az-Zaid! Sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-Adnani hal. 43 dan semakna dengan ini perkataan Ahmad Shouyan dalam Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallafatihim sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 49
[6]. Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif hal. 49-51
[5]. Dhawabith Raiisiyyah oleh Zaid Az-Zaid! Sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-Adnani hal. 43 dan semakna dengan ini perkataan Ahmad Shouyan dalam Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallafatihim sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 49
[6]. Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif hal. 49-51
Sumber: https://almanhaj.or.id/1787-ketimpangan-manhaj-muwazanah-syubhat-manhaj-muwazanah-dan-bantahannya.html