“Eh, Fulanah itu belum genap sembilan bulan menikah kok sudah melahirkan. Jangan-jangan dulu dia MBA (married by accident).... jangan-jangan suaminya sudah curi start duluan....”. Begitulah kira-kira sebagian kasak-kusuk yang mungkin pernah kita dengar di masyarakat. Sebagai umat Islam yang baik, tentu kita tidak ingin ber-kasak-kusuk seperti itu. Memangnya tidak mungkin seorang wanita hamil kurang dari sembilan bulan dari masa pernikahannya ?. Jawabnya : Mungkin sekali, karena kemungkinan itu telah disebutkan nash yang menetapkan minimal masa kehamilan.
Allah ta’ala berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” [QS. Al-Baqarah : 233].
Allah ta’ala juga berfirman :
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” [QS. Al-Ahqaaf : 15].
Para ulama mengambil satu kesimpulan hukum dari dua ayat di atas bahwa apabila masa mengandung dan menyapihnya adalah 30 bulan, sementara masa menyusui anak sendiri adalah 24 bulan, maka minimal masa kehamilan adalah 6 bulan.
Kejadian para wanita yang melahirkan dengan masa kandungan 6 bulan telah ada di jaman para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Simak beberapa riwayat berikut :
أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرِ بْنُ قَتَادَةَ، أنا أَبُو مَنْصُورٍ الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ النَّضْرَوِيُّ، نا أَحْمَدُ بْنُ نَجْدَةَ، نا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، نا هُشَيْمٌ، أنا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ لَتِسْعَةِ أَشْهُرٍ كَفَاهَا مِنَ الرَّضَاعِ أَحَدٌ وَعِشْرِينَ شَهْرًا، وَإِذَا وَضَعَتْ لَسَبْعَةِ أَشْهُرٍ كَفَاهَا مِنَ الرَّضَاعِ ثَلاثَةٌ وَعِشْرُونَ شَهْرًا وَإِذَا وَضَعَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ كَفَاهَا مِنَ الرَّضَاعِ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ شَهْرًا كَمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَعْنِي قَوْلَهُ: وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin Qataadah[1] : Telah memberitakan kepada kami Abu Manshuur Al-‘Abbaas bin Al-Fadhl An-Nadlrawiy[2] : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Najdah[3] : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin Manshuur[4] : Telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim[5] : Telah mengkhabarkan kepada kami Daawud bin Abi Hind[6], dari ‘Ikrimah[7], dari Ibnu ‘Abbaas[8] radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia pernah berkata : “Apabila seorang wanita mengandung selama 9 bulan, hendaklah ia cukupkan penyusuannya selama 21 bulan. Apabila ia mengandung selama 7 bulan, hendaklah ia cukipkan penyusuannya selama 23 bulan. Dan apabila ia mengandung selama 6 bulan, hendaklah ia cukupkan penyusuannya selama 24 bulan sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan’ (QS. Al-Ahqaaf : 15)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/442 (7/727) no. 15548; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ: رُفِعَ إِلَى عُثْمَانَ امْرَأَةً وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَقَالَ: إِنَّهَا رُفِعَتْ إِلَيَّ امْرَأَةٌ لا أُرَاهَا إِلا قَدْ جَاءَتْ بِشَرٍّ، أَوْ نَحْوَ هَذَا، وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " إِذَا أَتَمَّتِ الرَّضَاعَ كَانَ الْحَمْلُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، قَالَ: وَتَلا ابْنُ عَبَّاسٍ: وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا، فَإِذَا أَتَمَّتِ الرَّضَاعَ كَانَ الْحَمْلُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ "، فَخَلَّى عُثْمَانُ سَبِيلَهَا
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Yahyaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq[9], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar[10], dari Az-Zuhriy[11], dari Abu ‘Ubaid[12], ia berkata : Pernah ada dihadapkan kepada ‘Utsmaan[13] (bin ‘Affaan) seorang wanita yang melahirkan dengan usia kandungan 6 bulan. Lalu ‘Utsmaan berkata : “Sesungguhnya telah dihadapkan kepadaku seorang wanita yang tidaklah aku memandangnya kecuali ia telah melakukan perbuatan buruk (zina) atau yang semisalnya yang melahirkan dengan usia kandungan 6 bulan”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Allah berfirman : ‘Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan’ (QS. Al-Ahqaaf : 15). Apabila wanita menyempurnakan penyusuannya, maka usia kehamilannya adalah 6 bulan”. (Mendengar penjelasan tersebut), ‘Utsmaan pun membebaskannya [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya, 5/34 no. 4952; sanadnya hasan].
أَخْبَرَنَا أَبِي، ثنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، أنبأ أَبُي عَدِيٍّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي حَرْبٍ يَعْنِي ابْنَ أَبِي الأَسْوَدِ الدِّيَلِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رُفِعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَهَمَّ بِرَجْمِهَا، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًا، فَقَالَ: " لَيْسَ عَلَيْهَا رَجَمٌ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ وَسِتَّةَ أَشْهُرٍ، فَذَلِكَ ثَلاثُونَ شَهْرًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku[14] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar[15] : Telah memberitakan Ibnu ‘Adiy[16], dari Sa’iid[17], dari Qataadah[18], dari Abu Harb bin Abil-Aswad Ad-Diiliy[19], dari ayahnya[20] : Bahwasannya pernah dihadapkan kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab[21] seorang wanita yang melahirkan denga masa kehamilan selama 6 bulan, lalu ia pun hendak merajamnya (karena prasangka bahwa wanita tersebut telah melakukan zina). Hal tersebut sampailah kepada ‘Aliy (bin Abi Thaalib), kemudian ia berkata : “Wanita itu tidak berhak untuk dirajam. Allah ta’ala berfirman : ‘Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh’ (QS. Al-Baqarah : 233), dan kemudian ditambah 6 bulan, dan itu genap 30 bulan (sesuai QS. Al-Ahqaaf : 15)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya, hal. 428 no. 2264; sanadnya shahih].
Dalam lafadh ‘Abdurrazzaaq (no. 13444), setelah mendengar penjelasan ‘Aliy, maka ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pun membebaskan wanita tersebut.
Telah terjadi ijmaa’ di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum dalam permasalahan minimal masa kehamilan adalah 6 bulan.
Kembali ke permasalahan awal,...
Hendaknya kita jauhkan dalam benak-benak kita dari berbagai tuduhan dan prasangka negatif terhadap pasangan suami istri – meski kita lihat dhahir kelakuannya tidak baik – jika si istri melahirkan kurang dari sembilan bulan dari waktu pernikahannya, kecuali jika kita mempunyai bukti kuat atas hal itu.
Allah ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” [QS. An-Nuur : 4].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” [QS. Al-Hujuraat : 12].
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْواهُم ، لادَّعى رِجالٌ أموالَ قَومٍ ودِماءهُم ولكن البَيِّنَةُ على المُدَّعي واليَمينُ على مَنْ أَنْكر
“Andai saja manusia selalu diberikan (dikabulkan) segala sesuatu yang mereka dakwakan, sungguh ada saja orang yang akan mendakwa harta dan darah orang lain. Akan tetapi, Bukti (al-bayyinah) wajib atas orang yang mendakwa (menuduh) dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkarinya (tertuduh)” [lihat : Al-Arba’uun An-Nawawiyyah no. 33; dihasankan oleh An-Nawawiy[22]].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 24012013 – 22:18].
[1] ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Umar bin Qataadah, Abu Nashr An-Naisaabuuriy Al-Anshaariy An-Nu’maaniy Al-Basyiiriy; seorang yang tsiqah [lihat : Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 365-369 no. 126].
[2] ‘Abbaas bin Al-Fadhl bin Zakariyyaa Al-Harawiy, Abu Manshuur An-Nadlruuyiy; seorang yangtsiqah lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 372 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 488 no. 3201].
[3] Ahmad bin Najdah bin Al-Ghuryaan, Abul-Fadhl Al-Harawiy; seorang yang tsiqah. Wafat tahun 296 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/571 no. 294].
[4] Sa’iid bin Manshuur bin Syu’bah Al-Khurasaaniy Abu ‘Utsmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah mushannif. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 126/127/128/129 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 389 no. 2412].
[5] Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim bin Diinaar As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah bin Abi Khaazim Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqahke-7, lahir tahun 104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1023 no. 7362].
[6] Daawud bin Abi Hind Diinaar bin ‘Adzaafir Al-Qusyairiy, Abu Bakr/Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi mutqin, namun sering ragu di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 309 no. 1826].
Namun perkataan : ‘sering ragu di akhir usianya’ ini tidaklah tepat [lihat : Tahriirut-Taqriib, 1/378 no. 1817].
[7] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maulaa ‘Abdillah bin ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah itu, di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707].
[8] ‘Abdullah bin ‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib bin Haasyim bin ‘Abdi Manaaf Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abul-‘Abbaas Al-Madaniy; salah seorang shahabat yang mulia.Termasuk thabaqahke-1, dan wafat tahun 68 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 518 no. 3431].
[9] ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 126, dan wafat tahun 211 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092].
[10] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[11] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H, atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].
[12] Sa’d bin ‘Ubaid Az-Zuhriy, Abu ‘Ubaid Al-Madaniy maulaa ‘Abdirrahmaan bin Az-har; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 370 no. 2261].
[13] ‘Utsmaan bin ‘Affaan bin Abil-‘Aash bin Umayyah Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu ‘Amru/Abu ‘Abdillah/Abu Lailaa; salah seorang di antara Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mulia. Termasukthabaqah ke-1, dan wafat tahun 35 H di Madiinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 667 no. 4535].
[14] Muhammad bin Idriis bin Al-Mundzir bin Daawud bin Mihraan Al-Handhaliy, Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Haafidh; salah seorang huffaadh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 195 H, dan wafat tahun 277 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 824 no. 5755].
[15] Muhammad bin Basysyaar bin ‘Utsmaan Al-‘Abdiy Abu Bakr Al-Bashriy yang terkenal dengan sebutan Bundaar; seorang perawi yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 167 H, dan wafat tahun 252 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no. 5791].
[16] Muhammad bin Ibraahiim bin Abi ‘Adiy Ibraahiim As-Sulamiy, Abu ‘Amru Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 820 no. 5733].
[17] Sa’iid bin Abi ‘Aruubah Mihraan Al-‘Adawiy, Abun-Nadlr Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah haafidh, mempunyai banyak tulisan, akan tetapi banyak melakukan tadliis dan tercampur hapalannya (di akhir usianya). Ia orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Qataadah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 156 H/157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 384 no. 2378 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 97 no. 37].
Ibnu Hajar memasukkannya dalam thabaqah kedua perawi mudallis [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 50].
[18] Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553].
[19] Abu Harb bin Abil-Aswad Ad-Diiliy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 108 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1132 no. 8100].
[20] Abul-Aswad Ad-Diiliy/Ad-Dulaiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 69 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1108 no. 7997].
[21] ‘Umar bin Al-Khaththaab bin Nufail bin ‘Abdil-‘Uzzaa bin Riyaah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Hafsh; salah seorang di antara Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 23 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 717 no. 4922].
[22] Silakan baca takhrij Ibnu Rajab Al-Hanbaliy dalam Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam hal. 684-687 (tahqiq & takhriij : Dr. Maahir Al-Fakhl).
Baca artikel terkait pembahasan hadits ini : Kaidah dalam Tuduhan.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2013/01/minimal-masa-kehamilan.html