(Bagian 2)
Adapun tauhid yang kedua yang dia (Al Harawi) sebutkan dan dia namakan dengan tauhid orang-orang khusus, maka itu fana dalam tauhid rububiyyah. Yaitu mempersaksikan rububiyyah Allah Subhanahu wata’ala pada semua yang selain Allah, bahwa Dia-lah Rabb segala sesuatu dan pemiliknya. Fana -jika terjadi pada tauhid uluhiyyah- berarti qalbu dikuasai oleh persaksian akan sesembahaannya, mengingat-Nya, dan mencintai-Nya, sehingga qalbu tidak merasakan selain Allah, disertai dengan ilmu tentang kebenaran apa yang Dia tetapkan berupa sebab dan hikmah, serta beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya dalam memberikan perintah dan larangan.
Adapun fana yang disebutkan penulis kitab Al Manazil, maka itu adalah fana dalam tauhid rububiyyah, bukan dalam tauhid uluhiyyah. Dia menetapkan tauhid rububiyyah lalu menafikan sebab dan hikmah, sebagimana pendapat Al Jabriyyah [1], seperti Al Jahm dan para pengikutnya, begitu pula Al Asy’ari.
Kesepakatan ahli agama bahwa Allah Subhanahu wata’ala akan memberi pahala bagi amalan ketaatan dan menyiksa kemaksiatan
Hingga ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Para ahli agama seluruhnya bersepakat bahwa Allah Subhanahu wata’ala akan memberikan pahala atas ketaatan dan menyiksa kemaksiatan, sekalipun kehendak Allah Subhanahu wata’ala mencakup kedua macam ini (ketaatan dan kemaksiatan). Mereka menyandarkan perbedaannya dilihat dari sisi hamba."
Orang-orang yang mengaku mempunyai ma’rifat, hakikat, dan fana menuntut agar diri mereka tidak mempunyai kehendak, bahkan mereka menghendaki apa yang dikehendaki oleh Al Haq (Allah Azza wajalla). Mereka mengatakan, "Kesempurnaan adalah engkau fana (lenyap) dari kehendakmu lalu engkau baqa (tinggal) bersama kehendak Rabb-mu."
Menurut mereka, seluruh yang ada ini adalah sama bagi Rabb. Sehingga mereka tidak memandang yang baik adalah baik dan tidak memandang yang buruk adalah buruk.
Aku (Ibnu Taimiyyah) katakan: Apa yang mereka katakan ini tidak dibenarkan oleh akal dan diharamkan oleh syariat. Akan tetapi maksud kita di sini adalah mejelaskan ucapan mereka.
Oleh karena itu Al Harawi berkata tentang tauhid mereka (yaitu tauhid yang kedua ini): "Ia adalah menggugurkan sebab-sebab lahiriah." Menurut mereka, Allah Subhanahu wata’ala tidaklah menciptakan sesuatu sebagai sebab, bahkan Allah Subhanahu wata’ala berbuat ketika kejadian itu dan bukan dengan sebab itu.
Al Harawi berkata: "Naik dari persengketaan akal dan dari bergantung pada tanda-tanda, yaitu tidak menyaksikan adanya tanda di dalam tauhid, tidak adanya sebab di dalam tawakkal, dan tidak adanya wasilah (sarana) di dalam keselamatan."
Hal tersebut -menurut mereka- karena sama sekali tidak ada sesuatu di alam wujud ini yang menjadi sebab bagi sesuatu, dan tidak ada sesuatu yang dijadikan untuk selainnya, serta tidak ada sesuatu yang berwujud dengan sebab lainnya.
Kenyang -menurut mereka- bukan karena makan, ilmu yang terwujud dalam qalbu bukan karena dalil, orang yang bertawakkal yang mendapatkan rizki dan kemenangan tidaklah mempunyai sebab sama sekali (tidak pada dirinya dan tidak pada perkara itu). Ketaatan menurut mereka bukanlah sebab mendapatkan pahala, kemaksiatan bukanlah sebab mendapatkan siksaan. Keselamatan tidak mempunyai wasilah. Bahkan semata-mata kehendak yang satu, yang dari situlah bersumber segala yang ada. Sedangkan terjadinya bersamaan dengan yang lain hanyalah sebagai kebiasaan, bukan karena salah satunya terkait dengan yang lainnya, atau menjadi sebabnya, atau hikmahnya.
Karena kebiasaan yang berlaku, di mana dua perkara berjalan secara bersamaan, maka jadilah salah satunya sebagai tanda bagi lainnya. Dalam pengertian: Kalau didapati salah satu di antara dua hal yang biasanya bersamaan, maka yang lainnya itu juga akan ada bersamanya. Juga ilmu yang ada di dalam qalbu bukanlah berasal dari dalil ini, bahkan hal itu termasuk perkara yang biasanya muncul secara bersamaan.
Banyak orang-orang yang mengikuti pendapat ini meninggalkan sebab-sebab duniawi dan menjadikan adanya sebab sama saja dengan tidak adanya.
Dan di antara mereka ada yang meninggalkan sebab-sebab akhirat. Mereka mengatakan: Jika ilmu dan ketetapan Allah Subhanahu wata’ala telah mendahului bahwa kita sebagai orang-orang yang akan beruntung, tentu kita akan beruntung. Atau Jika telah mendahului bahwa kita adalah orang-orang yang akan sengsara, tentu kita akan sengsara. Sehingga tidak ada gunanya kita beramal."
Di antara mereka ada yang tidak mau berdoa berdalilkan dengan argumen rusak ini. Dia menyelisihi Al Quran, As Sunnah, Ijma’ Salaf, dan para imam Islam, serta menyelisihi akal sehat, indera, dan realita.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah ditanya tentang meninggalkan sebab dengan alasan takdir. Maka beliau Shallallahu’alaihi wasallam membantahnya sebagaimana disebutkan di dalam Ash Shahihain, beliau bersabda,
ما منكم من أحد إلا قد كتب مقعده من النار أو من الجنة فقال رجل من القوم ألا نتكل يا رسول الله قال لا اعملوا فكل ميسر
“Tidaklah setiap jiwa yang ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni jannah atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka atau bahagia.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita hanya berdiam saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan meninggalkan amal perbuatan (berusaha)?” Beliau bersabda: “Beramallah (berusahalah), setiap kalian akan dimudahkan dengan apa yang telah ditetapkan baginya." (Riwayat Bukhari)
Dalam hadits shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ditanya:
"Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?" Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Ya." Kemudian beliau ditanya lagi: "Jadi untuk apa orang-orang harus beramal?" Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya." (Shahih Muslim No.4789)
"Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?" Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Ya." Kemudian beliau ditanya lagi: "Jadi untuk apa orang-orang harus beramal?" Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya." (Shahih Muslim No.4789)
Di dalam As Sunan dari nabi Shallallahu’alaihi wasallam, bahwa dikatakan kepada beliau,
"Bagaimana pendapatmu tentang obat-obatan yang kami pakai, ruqyah yang dengannya kami gunakan untuk berlindung, apakah semua itu mempunyai pengaruh menolak takdir Allah?" Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Itu termasuk takdir Allah." (Riwayat Tirmidzi) [2]
"Bagaimana pendapatmu tentang obat-obatan yang kami pakai, ruqyah yang dengannya kami gunakan untuk berlindung, apakah semua itu mempunyai pengaruh menolak takdir Allah?" Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab: "Itu termasuk takdir Allah." (Riwayat Tirmidzi) [2]
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ
"Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan." (Al A’raaf: 57)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
"dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya" (Al Baqarah: 164)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ
"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu" (At Taubah: 14)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا
"Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan tangan kami." (At Taubah: 52)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَيُنَجِّي اللَّهُ الَّذِينَ اتَّقَوْا بِمَفَازَتِهِمْ
"Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka." (Az Zumar: 61)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الأيَّامِ الْخَالِيَةِ
"(kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu"." (Al Haaqqah: 24)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (An Nahl: 32)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan" (Al Anfaal: 29)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
"Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath Thalaaq: 2-3)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka." (Ali Imran: 159)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
"Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil." (An Nisaa’: 160-161)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ
"Kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri," (Al An’am: 6 dan Al Anfaal: 54)
Dan masih banyak lagi dalil Al Quran yang semisal dengannya.
Bagaimana mungkin dipersaksikan bahwa Allah Subhanahu wata’ala tidak menjadikan suatu tanda untuk tauhid-Nya, tidak menjadikan suatu sebab untuk keselamatan dari adzabnya, dan tidak menjadikan sebab untuk apa yang Dia lakukan bagi orang yang bertawakkal?!
Allah-lah Pencipta sebab, pencipta segala sesuatu dengan sebabnya. Namun sebab -sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hamiz Al Ghazali dan Abul Faraj Ibnul Jauzi [3]- : Hanya memandang sebab adalah syirik di dalam tauhid. Sedangkan berpaling dari sebab secara keseluruhan adalah celaan terhadap syariat."
Tawakkal itu menggabungkan makna tauhid, akal, dan syariat. Seorang Mukmin yang bertawakkal tidak hanya memandang kepada sebab. Dalam pengertian bahwa dia tidak menggantungkan diri kepada sebab itu, tidak mempercayainya, tidak mengharapkannya, dan tidak takut padanya. Karena dalam wujud ini tidak ada satupun sebab yang berdiri sendiri menentukan sesuatu. Bahkan segala sebab masih membutuhkan perkara-perkara lain dan memiliki penghalang-penghalang yang menghalanginya untuk terjadi.
Sebab-sebab yang menafikan tawakkal
Sebab-sebab yang menafikan tawakkal ada dua:
Pertama, bersandar kepada sebab dan berserah diri padanya. Hal ini merupakan kesyirikan,
Kedua, meninggalkan melakukan sebab yang diperintahkan kepadamu. Ini juga haram atasmu.
Pertama, bersandar kepada sebab dan berserah diri padanya. Hal ini merupakan kesyirikan,
Kedua, meninggalkan melakukan sebab yang diperintahkan kepadamu. Ini juga haram atasmu.
Bahkan engkau wajib beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan melakukan sebab-sebab yang Dia perintahkan kepadamu. Dan engkau wajib bertawakkal kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Dia membantumu untuk melakukan apa yang Dia perintahkan, dan agar Dia melakukan apa yang kamu mampu tanpa menempuh sebab itu.
Mereka ini menetapkan takdir namun menafikan dari orang yang menyaksikannya untuk memandang baik kebaikan yang telah Allah Subhanahu wata’ala perintahkan, atau memandag buruk keburukan yang telah Allah Subhanahu wata’ala larang. Sehingga mereka menetapkan takdir namun mengingkari syariat. Pendapat ini lebih besar pengingkaranya terhadap diinul Islam daripada pendapat orang-orang yang menafikan takdir saja.
Bersambung…
[Dinukil dari kitab Mulakhkhash Minhajus Sunnah, Edisi Indonesia Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyyah, Penulis Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, Penerbit Pustaka Ar Rayyan, Hal. 87-96]
____________
Footnote:
Footnote:
[1] Al Jabriyyah: Dinamakan demikian sebagai nisbat kepada al jabr (paksaan). Mereka berpendapat bahwa hamba dipaksa dalam perbuatannya, laksana gerakan orang gemetar yang tidak memepunyai kehendak dan kemampuan untuk berbuat demikian. Lihat Al Millal wa Nihal (1/108).
[2] Hadits riwayat Tirmidzi, dan ia berkata hadits hasan shahih. Jga diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim. Berkata Al Hakim ini hadits shahih memenuhi syarat syaikhain, namun keduanya tidak mengeluarkannya. Namun hadits ini didhaifkan (dianggap hadits lemah) oleh Al ‘Allamah Al Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah (hal. 280, no. 686)
[3] Al Imam Abu Faraj Abdurrahman bin Ali Al Qurasyi At Taimi Al Bakri, dikenal dengan Ibnul Jauzi. Beliau mengikuti madzhab Hanbali. Dilahirkan tahun 508 H, Beliau terkenal suka memberi nasihat dan mempnyai banyak tulisan. Di antaranya: Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, Shaidul Khatir, Al Inshaf fi masail Al Khilaf, Talqih Fuhum Ahlil Atsar, dan tulisan lainnya. beliau wafat pada tahun 597 H. Lihat Muqaddimah tahqiq kitab Zadul Masir terbian Al Maktab Al Islami.
from=https://sunniy.wordpress.com/2010/05/17/pembagian-tauhid-menurut-kaum-sufi-dan-bantahan-terhadap-mereka-bagian-2/