Islam Pedoman Hidup: Rendahnya Cita-Cita

Selasa, 03 Mei 2016

Rendahnya Cita-Cita


Kami melihat di antara barisan para penuntut ilmu beberapa orang manusia yang memiliki bakat besar dan kemampuan menakjubkan yang membuat mereka pantas untuk mendapatkan kemuliaan ilmu. Hanya saja, rendahnya cita-cita mereka telah memupus bakat dan merendahkan keelokan keunggulan mereka, sehingga engkau dapati mereka puas dengan sedikitnya ilmu serta enggan untuk membaca danmuthala’ah. Mereka tenggelam dalam kesibukan, daripada menuntut ilmu dan mendapatkannya.
Mereka sangatlah cepat melepaskan apa yang mereka punya dan mencabut barakah waktu-waktu mereka. Hal itu dikarenakan kufur nikmat menjadi penyeru kepergiannya (ilmu) sebagaimana syukur nikmat menjadi penyeru penambahannya.

Al-Farraa’ rahimahullah berkata :
لا أرحم أحداً كرحمتي لرجلين : رجل يطلب العلم ولا فهم له. ورجل يفهم ولا يطلبه، وإني لأعجب ممن في سعته أن يطلب العلم ولا يتعلم
“Tidaklah aku merasa kasihan pada seseorang sebagaimana aku merasa kasihan terhadap dua jenis orang : (1) orang yang menuntut ilmu namun tidak memahami, dan (2) orang yang memahami namun tidak menuntutnya/mencarinya. Dan sesungguhnya aku merasa heran  terhadap orang yang mempunyai keluangan waktu untuk menuntut ilmu, namun tidak belajar” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/103].
Ketika memberikan komentar atas perkataan Abuth-Thayyib Al-Mutanabbiy :
ولم أرَ في عيوب الناس عيباً
كنقص القادرين على التمام
‘Aku tidak melihat aib-aib manusia sebagai satu aib,
seperti kekurangan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk mencapai kesempurnaan (namun mereka tidak melakukannya)
maka Abul-Faraj Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
فينبغي للعاقل أن ينتهي إلى غاية ما يمكنه: فلو كان يتصور للآدمي صعود السماوات، لرأيت من أقبح النقائص رضاه بالأرض، ولو كانت النبوة تحصل بالاجتهاد، رأيت المقصر في تحصيلها في حضيض، ..... والسيرة الجميلة عند الحكماء: خروج النفس إلى غاية كمالها الممكن لها في العلم والعمل
“Maka sudah seharusnya bagi orang yang berakal agar mencapai batas yang ia sanggupi. Seandainya terbayang bagi seorang anak Adam akan ketinggian langit, sungguh aku berpandangan bahwa termasuk kekurangan yang paling buruk adalah keridlaannya dengan bumi. Dan seandainya nubuwwah itu dapat dicapai dengan kesungguhan usaha, aku berpandangan orang yang malas untuk mencapainya berada pada tempat yang paling rendah..... Dan perjalanan hidup yang indah menurut para ahli hikmah adalah : keluarnya jiwa pada puncak kesempurnaan yang memungkinkan baginya dalam ilmu dan amal”.
Ibnul-Jauziy rahimahullah melanjutkan :
وفي الجملة، لا يترك فضيلة يمكن تحصيلها إلا حصلها؛ فإن القنوع حال الأرذال.
فكن رجلًا رجله في الثرى ... وهامة همته في الثُّرَيَّا
ولو أمكنك عبور كل أحد من العلماء والزهاد فافعل فإنهم كانوا رجالًا وأنت رجل، وما قعد من قعد إلا لدناءة الهمة وخساستها.
واعلم أنك في ميدان سباق، والأوقات تنتهب، ولا تخلد إلى كسل، فما فات من فات إلا بالكسل، ولا نال من نال إلا بالجد والعزم،
“Dan secara umum, tidak boleh seseorang meninggalkan keutamaan yang mungkin ia raih, kecuali ia berusaha untuk meraihnya; karena sesungguhnya rasa puas itu adalah tabiat orang-orang rendahan.
Jadilah seorang yang kakinya menjejakkan tanah.....  namun cita-citanya menjulang di bintang kejora
Dan seandainya memungkinkan bagimu melampaui semua orang dari kalangan ulama dan orang-orang zuhud, maka lakukanlah, karena mereka adalah manusia sebagaimana kamu juga manusia. Dan tidaklah seseorang duduk (istirahat) kecuali karena rendah dan hinanya cita-citanya.
Ketahuilah bahwa engkau dalam medan perlombaan, sedangkan waktu akan terampas (habis). Janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Dan tidaklah luput orang-orang yang terluput (dari keutamaan/kebaikan), kecuali karena kemalasan. Dan tidaklah memperoleh orang-orang yang memperoleh (keutamaan/kebaikan), kecuali dengan kesungguhan dan tekad” [Shaidul-Khaathir, hal. 159-161].
Wahai orang-orang yang mengetahui dirinya terdapat tanda-tanda keunggulan dan kecerdasan, janganlah engkau mengharapkan bagi ilmu satu pengganti. Dan janganlah engkau sibuk dengan selainnya selamanya. Jika engkau enggan, semoga Allah ta’alamemberikan kesabaran bagi dirimu, dan membesarkan pahala kaum muslimin pada dirimu. Betapa besar kerugian dan musibah menimpamu.
دع عنك ذكر الهوى والمولعين به
وانتهض إلى منزلٍ عالٍ به الدُّرر
تسلو بمربئه عن كل غالية
وعن نعيم لدنيا صفوه كدر
وَعَنْ نَدِيْمٍ بِهِ يَلْهُوْ مُجَالِسُهُ
وَعَنْ رِيَاضٍ كَسَاهُ النَّوْرُ وَالزَّهَرُ
انْهَضْ إِلَى الْعِلْمِ فِي جِدٍّ بِلَا كَسَلٍ
نُهُوْضَ عَبْدٍ إِلَى الْخَيْرَاتِ يَبْتَدِرُ
وَاصبر على نيله صبر المحدِّ له
فليس يدركه من ليس يصطبر
Tinggalkanlah penyebutan hawa nafsu dan orang-orang yang mencintainya
dan bangkitlah menuju tempat yang tinggi yang padanya terdapat mutiara
Engkau terhibur dengan tangga dakiannya dari setiap yang mahal
dari kenikmatan dunia yang kejernihannya adalah kekeruhan
Dan dari teman yang ada padanya yang melalaikan teman duduknya
dan dari kebun yang selimutnya adalah cahaya dan bunga
Bangkitlah menuju ilmu dengan kesungguhan tanpa kemalasan
(seperti) bangkitnya seseorang menuju kebaikan dengan segera
Dan bersabarlah dalam memperolehnya seperti kesabaran orang yang bersungguh-sungguh padanya
tidaklah dapat mencapainya orang yang tidak mempunyai kesabaran.[1]
Dan sesungguhnya perkara paling bermanfaat yang membantu ketinggian cita-cita adalah : melihat perjalanan hidup salaf – radliyallaahu ‘anhum - , karena keadaan mereka merupakan puncak kesempurnaan dalam ilmu dan amal. Apabila seorang penuntut ilmu melihatnya niscaya ia akan memandang rendah keadaan dirinya, dan betapa sedikit amalnya dalam pandangan matanya. Maka, ia akan merusaha menyusul dan meniru mereka. Dan barangsiapa meniru satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
فالله الله عليكم بملاحظة سير السلف، ومطالعة تصانيفهم، وأخبارهم، فالاستكثار من مطالعة كتبهم رؤية لهم
“Maka demi Allah, hendaklah kalian memperhatikan perjalanan hidup salaf dan menelaah tulisan-tulisan mereka dan khabar-khabar mereka. Memperbanyak muthala’ah (telaahan) kitab-kitab mereka sama dengan melihat mereka”.
وليكثر من المطالعة، فإنه يرى من علوم القوم، وعلو هممهم ما يشحذ خاطره، ويحرك عزيمته للجدّ
“Dan hendaklah seseorang memperbanyak muthala’ah, karena sesungguhnya ia melihat ilmu-ilmu satu kaum (salaf) dan tingginya cita-cita mereka yang dapat mengasah (ketajaman) jiwanya dan menggerakkan tekadnya untuk kesungguhan” [Shaidul-Khaathir, hal. 440 – dengan perubahan].
[selesai – dari kitab ‘Awaaiquth-Thalab karya Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjasrahimahullah, hal. 63-67; Daar Ahlil-Hadiits, Cet. 1/1413 H --- abul-jauzaa’].


[1]      Dari qashidah Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullahAl-Fataawaa, hal. 647.

from=http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2012/06/rendahnya-cita-cita.html