Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
Adab-Adab Bagi Orang Sakit
1. Selayaknya bagi yang terkena musibah baik yang terkena itu dirinya, anaknya atau selainnya untuk mengganti ucapan mengaduh pada saat sakit dengan berdzikir, istighfar dan ta’abbud (beribadah) kepada Allah, karena sesungguhnya generasi Salaf -semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka- tidak suka mengeluh kepada manusia, karena meskipun mengeluh itu membuat sedikit nyaman, namun mencerminkan kelemahan dan ketidakberdayaan sedangkan bila mampu bersabar dalam menghadapi kondisi sakit tersebut, maka hal itu menunjukkan pada kekuatan pengharapan pada Allah dan kemuliaan.
1. Selayaknya bagi yang terkena musibah baik yang terkena itu dirinya, anaknya atau selainnya untuk mengganti ucapan mengaduh pada saat sakit dengan berdzikir, istighfar dan ta’abbud (beribadah) kepada Allah, karena sesungguhnya generasi Salaf -semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka- tidak suka mengeluh kepada manusia, karena meskipun mengeluh itu membuat sedikit nyaman, namun mencerminkan kelemahan dan ketidakberdayaan sedangkan bila mampu bersabar dalam menghadapi kondisi sakit tersebut, maka hal itu menunjukkan pada kekuatan pengharapan pada Allah dan kemuliaan.
2. Bagi orang yang sakit boleh untuk mengadu kepada dokter atau orang yang dapat dipercaya tentang sakit dan derita yang dialaminya, selama itu bukan karena kesal maupun keluh kesah.
3. Hendaknya meletakkan tangannya pada bagian yang sakit kemudian mengucapkan do’a dari hadits (yang shahih) seperti:
بِسْمِ اللهِ.
“Dengan menyebut Nama Allah (tiga kali).”
Kemudian mengucapkan sebanyak tujuh kali:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ.
“Aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya dari keburukan apa yang aku temui dan aku hindari.” [HR. Muslim no. 2022 (67)]
4. Berusaha untuk meminta kehalalan atas barang-barang yang masih menjadi tanggungannya, barang yang menjadi hutangnya atau yang pernah dirampas dari pemiliknya, menuliskan wasiat dengan menjelaskan apa-apa yang merupakan miliknya, hak-hak manusia yang harus dipenuhinya, juga wajib baginya untuk mewasiatkan harta-harta yang bukan merupakan bagian dari warisannya, tanpa merugikan hak-hak warisnya.[1]
5. Tidak boleh menggantungkan jampi-jampi, jimat-jimat, dan semua yang mengandung kesyirikan.[2]
Namun disyari’atkan baginya untuk mengobati sakitnya dengan ruqyah dan do’a-do’a yang disyari’atkan (do’a dari al-Qur-an dan as-Sunnah).[3]
6. Hendaknya bersegera untuk bertaubat secara sungguh-sungguh dengan memenuhi syarat-syaratnya[4] dan senantiasa memperbanyak amalan shalih.
7. Bagi orang yang sakit hendaknya berhusnuzhzhan (berprasangka baik) kepada Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan menggabungkan antara takut dan pengharapan, serta disertai amalan yang ikhlas. Hal ini berda-sarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَ بِاللهِ.
“Janganlah seorang di antara (menginginkan) kematian kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” [HR. Muslim no. 2877, Abu Dawud no. 3113]
Adab-Adab Bagi Orang Yang Menjenguk Orang Sakit:
1. Hendaknya dalam mengunjungi orang yang sakit diiringi dengan niat yang ikhlas dan tujuan yang baik. Seperti misalnya yang dikunjunginya adalah seorang ulama atau teman yang shalih, atau engkau mengunjunginya dalam rangka untuk beramar ma’ruf atau mencegah kemunkaran yang dilakukan dengan lemah lembut atau dengan tujuan memenuhi hajatnya atau untuk melunasi hutangnya, atau untuk meluruskan agamanya atau untuk mengetahui tentang keadaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1. Hendaknya dalam mengunjungi orang yang sakit diiringi dengan niat yang ikhlas dan tujuan yang baik. Seperti misalnya yang dikunjunginya adalah seorang ulama atau teman yang shalih, atau engkau mengunjunginya dalam rangka untuk beramar ma’ruf atau mencegah kemunkaran yang dilakukan dengan lemah lembut atau dengan tujuan memenuhi hajatnya atau untuk melunasi hutangnya, atau untuk meluruskan agamanya atau untuk mengetahui tentang keadaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَادَ مَرِيْضاً أَوْ زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهِ أَيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ بِأَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلاً.
“Barangsiapa mengunjungi orang yang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah atau di jalan Allah, akan ada yang menyeru kepadanya, ‘Engkau telah berlaku mulia dan mulia pula langkahmu (dalam mengunjunginya), serta akan kau tempati rumah di Surga.” [HR. At-Tirmidzi no. 2008, Ibnu Majah no. 1433, hasan. Lihat Misykaatul Mashaabih no. 5015 oleh Imam al-Albani]
2. Hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi yang sesuai ketika hendak menjenguk. Janganlah memberatkan orang yang dijenguk dan pilihlah waktu yang tepat. Jika orang yang sakit dirawat di rumah hendaknya meminta izin terlebih dahulu sebelum menjenguknya, mengetuk pintu rumahnya dengan pelan, menundukkan pandangannya, menyebutkan perihal dirinya, dan tidak berlama-lama karena bisa jadi itu dapat membuatnya lelah.
3. Hendaknya orang yang menjenguk mendo’akan orang yang sakit dengan kesembuhan dan kesehatan. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
إِذَا دَخَلَ عَلَى مَنْ يَعُوْدُ قَالَ: لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ.
“Apabila beliau mengunjungi orang yang sakit, beliau berkata, ‘laa ba’-sa thahuurun insyaa Allaah (tidak mengapa semoga sakitmu ini membuat dosamu bersih, insya Allah).’” [HR. Al-Bukhari no. 5656]
4. Mengusap bagian yang sakit dengan tangan kanan dan mengucapkan:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِيْ لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَماً.
“Ya Allah, Rabb pemelihara manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Mahamenyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan hanya kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sedikitpun penyakit.” [HR. Al-Bukhari no. 5743 dan Muslim no. 2191 (46). Dan lafazh seperti ini berdasarkan riwayat Muslim]
5. Hendaknya menundukkan pandangan (tidak menatap dengan tajam), sedikit bertanya, menunjukkan belas kasih kepada yang sakit, menasehatinya untuk senantiasa bersabar terhadap penderitaan sakitnya karena hal itu mengandung pahala yang besar dan mengingatkan agar tidak berkeluh kesah karena hal tersebut hanya akan menimbulkan dosa dan menghilangkan pahala.
6. Apabila melihat orang yang tertimpa cobaan musibah dan penyakit hendaklah berdo’a dengan suara yang pelan untuk keselamatan dirinya, do’a tersebut adalah:
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً.
“Segala puji bagi Allah Yang menyelamatkan aku dari musibah yang Allah timpakan kepadamu. Dan Allah telah memberikan kemuliaan kepadaku melebihi orang banyak.” [HR. At-Tirmidzi no. 3431 dan Ibnu Majah no. 3892. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 602]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
_______
Footnote
[1]. Hal ini berdasarkan hadits:
_______
Footnote
[1]. Hal ini berdasarkan hadits:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ ِلأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِمَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئاَتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa mengambil secara zhalim milik saudaranya berupa kehormatan barang atau sesuatu, maka mintalah kehalalan darinya sekarang sebelum tiba hari dimana tidak bermanfaat lagi Dinar dan Dirham (hari Kiamat). Jika dia mempunyai amal shalih, maka amal shalihnya akan diambil sesuai kezhalimannya dan jika tidak ada amal shalihnya, diambil dari dosa-dosa orang yang dizhalimi itu lalu dibebankan padanya.” [HR. Al-Bukhari no. 2449, 6534]
Dan hadits
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيءٌ يُوْصِيْ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ.
“Tiada hak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang di dalamnya (harus) diwasiatkan, lantas ia bermalam sampai dua malam melainkan wasiat itu harus (sudah) ditulis olehnya.” [HR. Bukhari no. 2738, Muslim no. 1627, Abu Dawud no. 2862, Ibnu Majah no, 2702. Lihat Irwaa-ul Ghaliil no. 1652]-penj.
[2]. Sebagaimana hadits:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan kesyirikan.” [HR. Ahmad IV/156, al-Hakim IV/417. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 492]-penj.
[3]. Kata ruqyah, artinya adalah do’a perlindungan yang biasa dipakai sebagai jampi bagi orang sakit. Ruqyah dibolehkan dalam syari’at Islam berdasarkan hadits ‘Auf bin Malik di dalam Shahih Muslim, beliau Radhiyallahu anhu berkata: “Di masa Jahiliyyah kami biasa melakukan ruqyah, lalu kami berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah?’ Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Lakukanlah ruqyah yang biasa kalian lakukan selama tidak mengandung syirik.’”[HR. Muslim no. 2200]
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam ruqyah yang dibolehkan:
Pertama, hendaklah ruqyah dilakukan dengan Kalamullah (al-Qur-an) atau Nama-Nya atau Sifat-Nya. atau do’a-do’a shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada penyakit tersebut.
Kedua, hendaklah ia dilakukan dengan bahasa Arab.
Ketiga, hendaklah ia diucapkan dengan makna yang jelas dan dapat difahami.
Keempat, tidak boleh ada sesuatu yang haram dalam kandungan ruqyah itu. Misalnya, memohon pertolongan kepada selain Allah, berdo’a kepada selain Allah, menggunakan nama jin atau Raja-Raja jin dan semacamnya.
Kelima, tidak bergantung kepada ruqyah dan tidak menganggapnya sebagai penyembuh.
Keenam, kita harus yakin bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan kekuatan sendiri, tetapi hanya dengan izin Allah. [Lihat Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Do’a dan Wirid: Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, keduanya karya al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]-penj
[4]. Syarat-syarat taubat adalah sebagaimana yang dinukil dari perkataan Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Riyaadhush Shalihin bab at-Taubat hal. 33 (cet. Muassasah ar-Risalah th. 1418):
1. أَنْ يُقْلِعَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ (Harus benar-benar melepaskan diri dari kemaksiatan).
2. أَنْ يَنْدَمَ عَلىَ فِعْلِهَا (Menyesali segala perbuatan dosa yang telah dilakukannya).
3. أَنْ يَعْزِمَ اَنْ لاَ يَعُوْدَ إِلَيْهاَ أَبَداً (Berkeinginan keras untuk tidak mengulangi perbuatan itu untuk selamanya).
Sumber: https://almanhaj.or.id/4011-adab-adab-bagi-orang-sakit-dan-yang-menjenguknya.html