Memilih Pemimpin Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?
Manakah yang mesti dipilih jika ada dua pilihan. Ada calon pemimpin yang muslim namun suka bermaksiat, ataukah non muslim yang dikatakan bersih dan adil?
Yang jelas, tidak pantas non muslim menguasai rakyat yang mayoritas muslim. Kenapa demikian?
Karena
memang Allah melarangnya. Islam itu tinggi, artinya di atas, bukan di
bawah, bukan berada dalam kekuasaan non muslim. Sangat tidak pantas
Islam yang mulia ini malah dikuasai oleh non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)
Memang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,
وَاسْتَأْجَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا
مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ
قُرَيْشٍ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki
dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang
beragama kafir Quraisy.” (HR. Bukhari no. 2264).
Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.
Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.
Lantas manakah yang mending memiliki pemimpin muslim namun kerap korupsi ataukah pemimpin non muslim yang jujur, adil dan anti korupsi?
Kita dapat ambil pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini.
Ibnu Mas’ud berkata,
لأَنْ أَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ وَأنَا صَادِقٌ
“Aku
bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih aku sukai
daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Ath Thobroni dalam Al Kabir. Guru kami, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Kata Syaikh Sholeh Al Fauzan, di antara faedah dari hadits di atas adalah bolehnya mengambil mudarat yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua kemudaratan. (Al Mulakhos fii Syarh Kitabit Tauhid, hal. 328).
Kaedah dari pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah,
اِرْتِكَابُ أَخَفِّ المفْسَدَتَيْنِ بِتَرْكِ أَثْقَلِهِمَا
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)
Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah,
جَوَازُ اِرْتِكَابِ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Bolehnya menerjang bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)
Kalau
kita bandingkan saat mesti memilih antara pemimpin muslim yang gemar
maksiat dengan pemimpin non muslim yang jujur dan adil, maka tetap saja pemimpin muslim lebih utama untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa alasannya?
Alasan pertama, kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir. Alasan kedua, kita akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin semacam itu lebih mengerti akan kebutuhan kaum muslimin. Alasan ketiga, non muslim tidak mudah menindas kaum muslimin atau menyebar ajaran mereka.
Kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi, itu adalah kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas tindak jeleknya. Namun agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun akan peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim yang bermaksiat masih lebih mending, berbeda dengan non muslim yang diancam akan kekal di neraka.
Jadi bagi
yang masih mengatakan pemimpin non muslim itu lebih baik, berpikirlah
dengan nalar yang baik dan banyak mengkaji ayat-ayat Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut non muslim dalam ayat berikut ini,
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik
(akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6). Ini firman Allah loh yang tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan wahyu.
Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim bukan
kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Dalam ayat lain disebutkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)
Marilah kaum muslimin melihat realita yang terjadi. Cobalah renungkan sejenak, bagaimana nasibnya nanti jika akhirnya pemimpin non muslim yang akan maju sebagai pewaris kekuasaan.
Hanya Allah yang memberi taufik.
_________________
Disusun di malam hari, 13 Sya’ban 1435 H di Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Read more https://rumaysho.com/7911-memilih-pemimpin-muslim-ataukah-non-muslim-yang-bersih-dan-adil.html