Mungkin banyak di antara kita mendengar (bahkan mengalami) cemoohan dari sebagian orang yang menstigma dakwah (yang kita bawa) sebagai biang keladi permusuhan dan keributan. Blow up media massa yang sering kali kurang bershahabat membuat rumor-rumor tersebut semakin memuai, memanjang, dan membesar (seperti kejadian di Lombok tempo hari). Terlepas ada beberapa ‘sekuelnya’ yang tidak benar, nampaknya kita perlu berefleksi. Yaitu ngacadiri. Adakah noda yang dengan atau tanpa sadar hinggap di wajah sendiri ?
Seringkali kita keliru dalam
menghibur diri bahwa semua yang menimpa kita dan dakwah kita merupakan satu
‘keharusan’ dan ujian bagi orang yang beriman, dengan dasar ayat :
أَحَسِبَ النَّاسُ
أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [QS. Al-Ankabuut : 2-3].
Oleh karenanya, semua gangguan
dakwah dan kesulitan yang menimpa selalu diasumsikan ujian keimanan yang datang
karena faktor eksternal. Masyarakat atau orang lain lah yang selalu salah
(karena menentang dakwah ?).
Apakah aksiomatik harus seperti
itu ikhwan ? Jika kita menganggap orang lain salah, mengapa kita tidak pernah
berpikir diri kita juga demikian ? Bukankah tidak selamanya hal yang menimpa
kita merupakan ujian keimanan ? Allah ta’ala berfirman :
وَمَآ أَصَابَكَ
مِن سَيّئَةٍ فَمِن نّفْسِكَ
“Dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari dirimu” [QS.
An-Nisaa’ : 79].
Jumhur ulama salaf mengatakan :
“Dari dirimu dengan sebab dosamu”. Qatadah berkata : “Sebagai hukuman bagimu
wahai Anak Adam, disebabkan oleh dosamu”. Abu Shalih berkata : “Yaitu dengan
sebab dosamu, dan Aku (Allah) yang mentakdirkan bencana itu
atasmu”. [Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nisaa’ : 79]
وَمَآ
أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa
kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”[QS. Asy-Syuuraa : 30].
Ibnu Katsir berkata ketika
menafsirkan ayat ini : “Yaitu apa saja musibah-musibah yang menimpa kamu wahai
manusia, maka itu hanyalah dari keburukan-keburukan yang telah kalian lakukan.
Dan Allah “memaafkan sebagian besar” ; yaitu dari keburukan-keburukan
sehingga Dia tidak membalas kamu atas kesalahan-kesalahan itu, bahkan Dia
memaafkannya” [selesai].
Ayat ini merupakan penyeimbang
untuk berinstropeksi, apa gerangan kesalahan dan dosa yang pernah kita perbuat
?
Kembali ke laptop,…. Pernahkah
kita merasa tergesa-gesa dalam menyampaikan kebenaran ? Saat mengetahui
kekeliruan yang bertentangan dengan batas pengetahuan kita,
secara reaktif kita pun bertindak (= amar ma’ruf nahi munkar).
Cara-cara yang kurang elegan pun
sering terpraktekkan. Hei, ente,… bid’ah itu !! Saya tidak mau bergaul
dengan ahlul-bid’ah !! Sesat !! dan lain-lain ungkapan yang sebagian
di antara kita mungkin pernah mengucapkannya. Sebagian lain ada yang sering
mengulang-ulang perkataan sebagian salaf : ‘Lebih baik aku bertetangga
dengan kera dan babi daripada aku harus bertetangga dengan ahlul-bida’”.
Padahal yang kita ajak bicara
adalah orang tua kita, saudara kita, tetangga kita, sesepuh kita, dan rekan
kita. Kita mungkin sedikit lupa bahwa kita dulu seperti mereka. Kita mungkin
sedikit lupa, bahwa telah bertahun-tahun mereka tenggelam seperti itu,
sementara kita ingin merubahnya hanya dengan sekalimat atau dua kalimat. Pedes
lagi, dan kurang enak didengarkan telinga manusia. Dan mungkin kita sedikit
lupa bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda :
إِنَّ اللَّهَ
رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى
الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah itu Maha
Lembut, lagi mencintai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa-apa
yang tidak Dia berikan kepada kekerasan, dan juga apa-apa yang tidak Dia
berikan kepada selainnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2593].
إِنَّ الرِّفْقَ
لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan
itu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu
tercabut dari sesuatu melainkan akan mengotorinya”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2594].
Ikhwan, sebuah kebenaran
seringkali harus ditunda penyampaiannya menunggu waktu yang tepat karena adanya
sebab (menghindari mafsadat yang lebih besar). Dulu, di awal Islam,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang para
shahabat untuk berziarah kubur, karena keimanan mereka masih lemah dan
dikhawatirkan terjerumus pada perkara yang diharamkan (kesyirikan). Setelah
iman mereka mantap, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda :
نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
“Dulu aku melarang kalian dari
berziarah kubur, namun sekarang berziarahlah”.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa :
يَا عَائِشَةُ
لَوْلَا قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ
الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ
“Wahai ‘Aisyah, seandainya
bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari kekufuran, niscaya aku akan
meruntuhkan Ka’bah, lalu aku jadikan ia memiliki dua pintu : satu pintu untuk
masuk, dan satu pintu untuk keluar …” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1586 dan Muslim no. 1333].
Al-Bukhaariy meletakkannya
dalam Baab : من ترك بعض الاختيار، مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه، فيقعوا في أشد منه (Orang yang meninggalkan sebagian
pilihan karena kekhawatiran sebagian manusia tidak memahaminya sehingga
melakukan kekeliruan yang lebih besar).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam juga pernah melarang Mu'aadz untuk menyampaikan
hadits karena dengan satu alasan.
عَنْ مُعَاذِ
بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ قَالَ فَقَالَ يَا مُعَاذُ تَدْرِي
مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قَالَ
قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى
الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ
الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ
بِهِ شَيْئًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ
لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Dari Mu’aadz bin Jabal ia berkata
: Aku pernah membonceng Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
atas keledai yang dinamakan ‘Ufair. Beliau lalu bersabda : "Wahai
Mu'aadz apakah kamu mengetahui apa hak Allah atas hamba dan hak hamba atas
Allah”. Aku menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau
bersabda :"Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah kalian menyembah
Allah dan tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan hak hamba atas
Allah adalah agar tidak disiksa orang yang tidak mensyirikkan-Nya dengan
sesuatu apa pun”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah boleh aku
memberitahukannya kepada manusia ?”. Beliau menjawab : “Jangan kamu
memberitahukannya kepada mereka sehingga mereka bersandar kepadanya” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy dan Muslim].
Oleh karena itu ikhwan,…. sikap
lemah lembut dan tidak tergesa-gesa menyampaikan kebenaran adalah satu
hal/akhlaq yang wajib kita tiru dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Kita ingin ibu, bapak, saudara, tetangga, dan teman kita menerima
nikmat hidayah sebagaimana yang kita kecap. Tentu kita tidak ingin mereka
semakin menjauh hanya gara-gara kita salah dalam bersikap.
Dan bagi yang telah merasa berilmu
yang ingin menasihati para koleganya (baca : rekan sesama ngaji) yang telah
bersikap salah, tidak bijak rasanya kesalahan tersebut sebagai bahan untuk
unjuk gigi : ‘saya telah paham permasalahan ini’ dan : ‘saya
dulu juga seperti kalian’. Yang kemudian bersikap ketus dan hobi ngritik melebihi
hobinya ngritik orang awam atau orang-orang yang telah beda halauan
‘aqidah atau manhaj dengannya.
Semoga catatan ringan ini ada
manfaatnya bagi Penulis, dan juga rekan-rekan saya semua.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[nJakal, 25-09-2010, 08:57 WIB,
menjelang akhir pekan].
from=http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2010/09/refleksi.html