Oleh Al Ustadz Aris Munandar
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya orang musyrik, ahli bid’ah, ahli
maksiat, pemberontak, dan orang-orang zalim jika meminta suatu hal yang
dengan hal tersebut mereka bermaksud untuk mengagungkan hal-hal yang
mulia di sisi Allah maka permintaan mereka direspon dan dibantu. Apa
yang mereka minta diberikan. Meskipun mereka mencegah orang lain (dari
kebaikan).”
Mereka ditolong untuk melakukan perbuatan yang mengandung pengagungan
terhadap hal-hal mulia dan agung di sisi Allah. Mereka tidak boleh
ditolong untuk melakukan kekafiran dan kezaliman. Mereka dicegah dan
dilarang untuk melakukan perbuatan selain itu.
Semua orang yang meminta bantuan untuk melakukan hal yang Allah cintai dan Allah ridhai itu direspon, siapapun dia. Hal ini dilakukan jika membantu orang tersebut untuk melakukan sesuatu yang Allah cintai tersebut tidak menimbulkan perkara yang Allah benci yang lebih besar.
Ini adalah termasuk perkara yang paling rumit dan sulit serta sangat berat untuk diterima oleh jiwa” (Zaadul Ma’ad 3/269, Muassasah Risalah cetakan keempat tahun 2005).
Inilah penjelasan Ibnul Qayyim untuk penerapan firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS al Maidah:2).
Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas mengatakan,
“Yang dimasud dengan birr adalah hal-hal yang diperintahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan takwa adalah segala hal yang dilarang” (Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 121).
Ibnu Sa’di mengatakan,
“Hendaknya sebagian kalian menolong sebagian yang lain untuk melakukan birr. Yang dimaksud dengan birr adalah segala sesuatu yang Allah cintai dan Allah ridhai baik berupa amal badan ataupun amal hati, baik terkait dengan hak Allah ataupun hak sesama manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan takwa dalam ayat ini adalah meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah dan rasulNya baik berupa amal badan maupun amal hati” (Taisir al Karim al Rahman hal 228, terbitan Dar Ibnul Jauzi).
Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan
dengan siapa saja kita diperkenankan untuk mengadakan kerja sama dalam
melakukan amal kebajikan. Hal ini menunjukkan bahwa kita boleh bekerja
sama dengan siapa pun asalkan untuk mewujudkan amal kebajikan.
Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Qayyim di atas. Beliau mengatakan kita
sebagai seorang muslim dan seorang ahli sunnah boleh mengadakan kerja
sama untuk melakukan amal kebajikan meski dengan orang musyrik, ahli
bid’ah ataupun tukang maksiat.
Misal orang kafir dan musyrik mengajak kita bekerja sama untuk
mengkampanyekan anti narkoba atau ada orang kafir yang menawari bantuan
untuk jadi juru parkir sebuah acara pengajian. Kerja sama dengan orang
kafir semacam ini diperbolehkan.
Contoh yang lain, ada ahli bid’ah yang menawari atau memberi bantuan
finansial untuk terselenggaranya sebuah acara pengajian atau dauroh yang
diisi oleh seorang ulama atau dai ahli sunnah. Kerja sama dengan ahli
bidah semacam ini diperbolehan selama ahli bidah yang menjadi penyandang
dana tadi tidak menetapkan persyaratan yang mengikat dan membatasi
ruang gerak dakwah ahli sunnah.
Demikian pula, jika ada tokoh pembela bid’ah meminta seorang ustadz ahli
sunnah untuk memberi pengajian di masjidnya. Pada asalnya kerja dengan
ahli bidah semacam ini dibolehkan tentu asalkan ustadz ahli sunnah ini
diberi kebebasan dalam masalah isian materi dan kedatangan ustadz
tersebut di tempat tersebut untuk memberi manfaat bukan malah
dimanfaatkan.
Demikian juga, jika ahli bid’ah memiliki masjid yang letaknya strategis
lalu seorang dai ahli sunnah bekerja sama dengan takmir masjid yang
notebene adalah ahli bidah dengan mengadakan pengajian ahli sunnah di
tempat tersebut. Kerja sama semacam ini pada asalnya diperbolehkan.
Dalam penjelasan di atas, Ibnul Qayyim hanya menyebutkan sebuah persyaratan untuk dibolehkannya kerja sama semacam ini yaitu kerja sama tersebut tidak menimbulkan dampak buruk yang lebih besar dari pada manfaat yang diwujudkan. Jadi jika kerja sama tersebut menimbulkan dampak negatif yang lebih besar maka kerja sama tersebut menjadi terlarang.
Apakah Ibnul Qoyyim tidak lagi salafi karena membolehkan kerja sama dengan bid’I atau hizbi?!!
Bahkan dalam pernyataan di atas Ibnul Qoyyim membolehkan kerja sama
untuk melakukan kebajikan dengan semua orang, bahkan orang kafir.
Benarlah
apa yang beliau katakan bahwa hal ini sangat berat bagi jiwa banyak
orang terutama yang mengutamakan perasaan, bukan ilmu dan akal sehat.
Moga
Allah beri kita kekuatan untuk menjadi ahli sunnah atau salafi sejati,
bukan salafi imitasi apalagi salafi basa basi dengan bimbingan ilmu dan
para ulama ahli sunnah yang tidak diragukan lagi kesalafiannya.
_________