AGAMA ADALAH NASIHAT
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ
الدَّارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ،
وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu anhu , dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah
nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam
kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”
TAKHRIJ
HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan Suhail bin Abi
Shalih, dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ruqayyah,
Tamim bin Aus ad-Dâri
Radhiyallahu anhu. Hadits ini diriwayatkan oleh:
1.
Imam Muslim (no. 55 [95]).
2.
Imam Abu ‘Awanah
(I/36-37).
3.
Imam al-Humaidi (no. 837).
4.
Imam Abu Dawud (no. 4944).
5.
Imam an-Nasâ-i
(VII/156-157).
6.
Imam Ahmad (IV/102-103).
7.
Imam Ibnu Hibban. Lihat at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibban (no. 4555) dan Ra-udhatul-
‘Uqalâ` (no. 174).
8.
Imam al-Baihaqi (VIII/163).
9.
Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/681 no. 747,749,751,755).
10.
Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 1260-1268).
11.
Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIII/93, no. 3514).
Hadits ini memiliki syawâhid (penguat) dari beberapa sahabat,
yaitu:
•
Abu Hurairah; diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ-i (VII/157), at-Tirmidzi (no. 1926),
Ahmad (II/297), dan Ibnu Nashr al-Marwazi, dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/682 no. 748). At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”
•
Ibnu Umar; diriwayatkan oleh Imam ad-Dârimi (II/311) dan Ibnu Nashr al-Marwazi
(no. 757-758).
•
Ibnu ‘Abbas;
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/351) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 11198).
Para ulama ahli hadits menjelaskan bahwa
hadits di atas shahih.
BIOGRAFI
SINGKAT PERAWI HADITS
Beliau adalah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Ruqayyah, Tamim bin
Aus bin Kharijah bin Su-ud bin Jadzimah al-Lakhmi al-Falasthini ad-Dâri. Dahulu, beliau seorang yang beragama
Nasrani dan sebagai rahib dan ahli ibadah penduduk Palestina. Kemudian pindah
ke Madinah lalu masuk Islam bersama saudaranya, Nu’aim, pada tahun 9 H. Beliau menetap di
Madinah sampai akhirnya pindah ke Syam setelah terjadinya pembunuhan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu.
Beliau adalah seorang yang tekun melakukan shalat
Tahajjud, selalu menghatamkan Al-Qur`ân. Beliau pernah menceritakan tentang
kisah Jassasah dan Dajjal kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyampaikan kisah tersebut kepada para sahabat di atas mimbar. Ini
menunjukkan keutamaan beliau. Beliau juga ikut berperang bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Tamim ad-Dâri adalah orang yang pertama kali memasang
lampu di dalam masjid dan membacakan kisah-kisah. Ini dilakukan pada zaman
pemerintahan ‘Umar
bin al-Khaththab Radhiyallahu ahu. Beliau meriwayatkan delapan belas hadits
dari Rasulullah. Satu hadits diantaranya terdapat dalam Shahîh Muslim. Beliau wafat di Palestina pada
tahun 40 H.[1]
PENGERTIAN
NASIHAT
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari
kata kerja “nashaha” (نَصَحَ), yang maknanya “khalasha” (خَلََصَ). Yaitu murni serta bersih dari segala
kotoran. Bisa juga bermakna “khâtha” (خَاطَ), yaitu menjahit.[2]
Imam al-Khaththabi rahimahullah menjelaskan arti kata “nashaha”, sebagaimana dinukil oleh Imam an-Nawawi
rahimahullah, “Dikatakan
bahwa “nashaha” diambil dari “nashahar-rajulu tsaubahu” (نَصَحَ
الرَّجُلُ ثَوْبَهُ)
apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang
selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, dengan usaha seseorang
memperbaiki pakaiannya yang robek.”[3]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah menukil ucapan Imam
al-Khaththabi rahimahullah : “Nasihat, ialah kata yang menjelaskan
sejumlah hal. Yaitu menginginkan kebaikan pada orang yang diberi nasihat”. Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnul-Atsîr rahimahullah.[4]
Kesimpulannya, nasihat adalah kata yang dipakai untuk
mengungkapkan keinginan memberikan kebaikan pada orang yang diberi nasihat.
NASIHAT
ADALAH AGAMA
Hadits ini merupakan ucapan singkat dan padat, yang
hanya dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ucapan singkat, namun
mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Semua hukum syari’at, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) terdapat padanya. Bahkan satu
kalimat “wa
li Kitâbihi” saja, ia sudah mencakup semuanya. Karena
Kitab Allah mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan.
Allah Ta’ala berfirman:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Kitab ini.
[al-An’âm/6:38].
Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat hadits ini
merupakan poros ajaran Islam.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan agama sebagai
nasihat. Padahal beban syari’at sangat banyak dan tidak terbatas hanya
pada nasihat. Lalu apakah maksud beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut? Para ulama
telah memberikan jawaban.
Pertama. Hal ini bermakna, bahwa hampir semua agama
adalah nasihat, sebagaimana halnya sabda beliau:
الْحَجُّ عَرَفَةُ.
Haji itu adalah wukuf di ‘Arafah.[5]
Kedua. Agama itu seluruhnya adalah nasihat. Karena
setiap amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk
agama.[6]
Setiap nasihat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntut pelaksanaan kewajiban agama
secara sempurna. Inilah yang disebut derajat ihsan. Tidaklah sempurna nasihat
untuk Allah tanpa hal ini. Tidaklah mungkin dicapai, bila tanpa disertai
kesempurnaan cinta yang wajib dan sunnah, tetapi juga diperlukan kesungguhan
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu dengan melaksanakan
sunnah-sunnah secara sempurna dan meninggalkan hal-hal yang haram dan makruh
secara sempurna pula.[7]
Ketiga. Nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman,
dan ihsan, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jibril.
Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang
maksud sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “agama itu nasihat”. Karena nasihat, adakalanya bermakna
pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allah, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya.
Adakalanya merupakan penyempurnaan kekurangan yang terjadi, berupa nasihat
untuk pemimpin dan kaum Muslimin pada umumnya, sebagaimana rincian selanjutnya
dalam hadits ini.
SYARAH
HADITS
1.
Nasihat Untuk Allah Ta’ala.
Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah
(wafat 294 H) berkata: Nasihat hukumnya ada dua. Yang pertama wajib, dan yang
kedua sunnah. Adapun nasihat yang wajib untuk Allah. Yaitu perhatian yang
sangat dari pemberi nasihat untuk mengikuti apa-apa yang Allah cintai, dengan melaksanakan
kewajiban, dan dengan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan. Sedangkan nasihat
yang sunnah, adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allah daripada
perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri. Yang demikian itu, bila dua hal
dihadapkan pada diri seseorang, yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri
dan yang lain untuk Rabbnya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk
Rabb-nya terlebih dahulu dan menunda apa-apa yang diperuntukkan bagi dirinya
sendiri.
Demikian ini penjelasan nasihat untuk Allah secara
global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami
sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas.
Nasihat yang wajib untuk Allah, ialah menjauhi
larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dengan seluruh anggota badannya
selagi mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukan kewajibannya karena
suatu alasan tertentu, seperti sakit, terhalang, atau sebab-sebab lainnya, maka
ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut,
apabila penghalang tadi telah hilang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَىٰ وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ مَا عَلَى
الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas
orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka menasihati
kepada Allah dan Rasul-Nya (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya). Tidak ada jalan
sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. [at-Taubah/9:91].
Allah menamakan mereka sebagai “al-muhsinîn” (orang-orang yang berbuat kebaikan),
karena perbuatan mereka berupa nasihat untuk Allah dengan hati mereka yang
ikhlas ketika mereka terhalang untuk berjihad dengan jiwa raganya.
Dalam kondisi tertentu, terkadang seorang hamba
dibolehkan meninggalkan sejumlah amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan
nasihat untuk Allah, meskipun disebabkan sakit yang tidak mungkin baginya untuk
melakukan sesuatu dengan anggota tubuhnya, bahkan dengan lisan, dan lain-lain,
namun akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban memberikan nasihat untuk
Allah dengan hatinya. Yaitu dengan penyesalan atas dosa-dosanya dan berniat
dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
Allah kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang Allah larang atasnya. Jika tidak
(yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada Allah dan
niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-Nya), maka ia tidak
disebut sebagai pemberi nasihat untuk Allah dengan hatinya.
Juga termasuk nasihat untuk Allah, ialah taat kepada
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hal yang beliau
wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabbnya. Dan termasuk nasihat yang
wajib untuk Allah, ialah dengan membenci dan tidak ridha terhadap kemaksiatan
orang yang berbuat maksiat, dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan nasihat yang sunnah, bukan yang wajib, ialah
dengan berjuang sekuat tenaga untuk lebih mengutamakan Allah daripada segala
apa yang ia cintai dalam hati dan seluruh anggota badan bahkan dirinya sendiri,
lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasihat, apabila
bersungguh-sungguh kepada orang yang dicintainya, dia tidak akan mementingkan
dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang membuat orang yang
dicintainya itu merasa senang dan cinta, maka begitu pula pemberi nasihat untuk
Allah. Barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah (sunnah) untuk Allah tanpa
dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasihat berdasarkan tingkatan
amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasihat dengan sebenarnya secara
sempurna.[8]
Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan, termasuk
nasihat untuk Allah adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur
kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah. Adapun makna nasihat
untuk Allah, ialah beriman kepada Allah, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak
mengingkari sifat-sifat-Nya, mensifatkan Allah dengan seluruh sifat yang
sempurna dan mulia, mensucikan Allah dari semua sifat-sifat yang kurang,
melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan maksiat, mencintai karena Allah,
benci karena-Nya, loyal (mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang
yang durhaka kepada-Nya, berjihad melawan orang yang kufur kepada-Nya, mengakui
nikmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya …[9]
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan, termasuk nasihat
untuk Allah, ialah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya
dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah.[10]
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi (wafat 1163 H)
rahimahullah berkata,”Maksud nasihat untuk Allah, ialah agar
seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini Dia adalah
Ilah Yang Maha Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan,
penyerupaan, serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allah mempunyai
segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Seorang muslim harus
mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan, melakukan amalan zhahir
dan batin yang Allah cintai dan menjauhi apa-apa yang Allah benci, mencintai
apa-apa yang Allah cintai dan membenci apa-apa yang Allah benci, meyakini
apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang
bathil itu sebagai suatu kebathilan, hatinya dipenuhi dengan rasa cinta dan
rindu kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, sabar atas bencana yang
menimpanya, serta ridha dengan taqdir-Nya.”[11]
2.
Nasihat Untuk Kitabullah.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata,”Sedangkan nasihat untuk Kitabullah, ialah
dengan sangat mencintai dan mengagungkan kedudukannya, karena Al-Qur’an itu adalah Kalamullah, berkeinginan
kuat untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar dalam merenunginya,
serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk mendapatkan pemahaman maknanya
sesuai dengan yang dikehendaki Allah untuk dipahami, dan setelah memahaminya ia
mengamalkan isinya. Begitu pula halnya seorang yang menasihati dari kalangan
hamba, dia akan mempelajari wasiat dari orang yang menasihatinya. Apabila ia
diberi sebuah buku dengan maksud untuk dipahaminya, maka ia mengamalkan apa-apa
yang tertulis dari wasiat tersebut. Begitu pula pemberi nasihat untuk Kitabullah,
dia dituntut untuk memahaminya agar dapat mengamalkannya karena Allah; sesuai
dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, kemudian menyebarluaskan yang dia
pahami kepada manusia, dan mempelajari Al-Qur-an terus-menerus didasari rasa
cinta kepadanya, berakhlak dengan akhlaknya, serta beradab dengan
adab-adabnya.”[12]
Hal ini diwujudkan dalam bentuk iman kepada
Kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah dan meyakini Al-Qur`ân merupakan penutup dari semua Kitab-kitab
tersebut. Al-Qur`ân
adalah Kalam Allah yang penuh dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara,
baik dalam hati maupun dalam lisan. Allah sendirilah yang menjamin hal itu.
Allah berfirman:
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur`ân) dan Kami sendiri yang menjaganya. (Qs
al-Hijr/15:9).[13]
Menurut Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah
nasihat untuk kitab-Nya adalah dengan meyakini Al-Qur`ân itu Kalamullah Ta’ala. Wajib mengimani apa-apa yang ada di
dalamnya, wajib mengamalkan, memuliakan, membacanya dengan sebenar-benarnya,
mengutamakannya daripada selainnya, dan penuh perhatian untuk mendapatkan
ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah Allah yang
tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat orang-orang yang berjalan
menempuh jalan Allah, dan merupakan wasilah (jalan) bagi orang-orang yang
selalu berhubungan dengan Allah. Dia sebagai penyejuk mata bagi orang-orang
yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tempat tujuan, maka ia harus
menempuh jalannya. Karena kalau tidak, ia pasti tersesat. Seandainya seorang
hamba mengetahui keagungan Kitabullaah, niscaya ia tidak akan meninggalkannya
sedikit pun.[14]
Secara rinci, nasihat untuk Kitabullah dilakukan
melalui beberapa hal berikut.
a. Membaca Dan Menghafal Al-Qur`an.
Dengan membaca al-Qur`an akan didapatkan berbagai ilmu
dan pengetahuan. Disamping itu akan melahirkan kebersihan jiwa, kejernihan
perasaan, dan mempertebal ketakwaan. Membaca al-Qur`an merupakan kebaikan dan
merupakan syafa’at
yang akan diberikan pada hari Kiamat kelak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ…
Bacalah Al-Qur`an, karena pada hari Kiamat ia akan
datang untuk memberi syafa’at kepada orang yang membacanya.[15]
Sedangkan menghafal Al-Qur`an merupakan keutamaan yang
besar. Melalui hafalan, hati akan lebih hidup dengan cahaya Kitabullah, manusia
juga akan segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu, derajatnya di
akhirat akan semakin tinggi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ: اِقْرَأْ
وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ
عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا.
Dikatakan kepada orang yang hafal Al-Qur`an,”Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil
sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil. Karena kedudukanmu (di
surga) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca”. [16]
Membacanya dengan tartil dan suara yang bagus,
sehingga bacaannya dapat masuk dan diresapi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ
بِالْقُرْآنِ.
Bukan golongan kami orang yang tidak
membaca al-Qur`an dengan irama.[17]
b. Mentadabburi Nilai-Nilai Yang
Terkandung Dalam Setiap Ayatnya.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ
عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur`an ataukah
hati mereka terkunci? [Muhammad/47:24].
c. Mengajarkannya Kepada Generasi Muslim
Agar Ikut Berperan Dalam Menjaga Al-Qur`an.
Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur`an adalah kunci
kebahagiaan dan ‘izzah
(kejayaan) umat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ
وَعَلَّمَهُ.
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari dan
mengajarkan Al-Qur`an.[18]
d. Memahami Dan Mengamalkannya.
Seorang muslim wajib membaca Al-Qur`an dan harus
berusaha memahaminya serta berusaha untuk mengamalkannya. Bagaimanapun, buah
membaca Al-Qur`an baru akan kita peroleh setelah memahami dan mengamalkannya.
Oleh karena itu, alangkah buruknya jika kita memahami ayat Al-Qur`an namun
tidak mau mengamalkannya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا
لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. [ash-Shaff/61:2-3].[19]
3.
Nasihat Untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata:
Sedangkan nasihat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya, ialah
dengan mengerahkan segala kemampuan secara sungguh-sungguh dalam rangka taat,
membela, menolong, memberikan harta (untuk perjuangan menegakkan din Allah)
bila beliau menginginkannya, dan bersegera untuk mencintai beliau.
Adapun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka dengan
perhatian dan kesungguhan untuk mencari Sunnahnya, akhlak, dan adab-adabnya,
mengagungkan perintahnya, istiqamah dalam melaksanakannya, sangat marah dan
berpaling dari orang yang menjalankan agama yang bertentangan dengan Sunnahnya,
marah terhadap orang yang menyia-nyiakan Sunnah beliau hanya untuk mendapatkan
keuntungan dunia, meskipun ia meyakini akan kebenarannya, mencintai orang yang
memiliki hubungan dengan beliau, dari kalangan karib kerabat atau familinya,
juga dari kaum Muhajirin dan Anshar, atau dari seorang sahabat yang menemani
beliau sesaat di malam atau siang hari, dan dengan mengikuti tuntunan beliau
dalam hal berpenampilan dan berpakaian.[20]
Yang dimaksud dengan nasihat untuk Rasul-Nya, ialah
dengan meyakini beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Allah
mengutusnya kepada para hamba-Nya, agar beliau mengeluarkan mereka dari segala
kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka apa-apa yang membuat mereka
bahagia dan apa-apa yang membuat mereka sengsara, menerangkan kepada mereka
jalan Allah yang lurus agar mereka lulus mendapatkan kenikmatan surga dan
terhindar dari kepedihan api neraka, dan dengan mencintainya, memuliakannya,
mengikutinya serta tidak ada kesempitan di dadanya terhadap apa-apa yang beliau
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam putuskan. Tunduk serta patuh kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti orang yang buta
mengikuti petunjuk jalan orang yang tajam matanya. Orang yang menang, adalah
orang yang menang membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya. Dan orang yang
rugi, adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang
taat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia taat kepada
Allah. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Allah dan kelak
akan diberi balasan setimpal.[21]
Hal ini diaplikasikan dalam bentuk membenarkan
risalahnya, membenarkan semua yang disampaikan, baik dalam Al-Qur`an maupun
as-Sunnah, serta mencintai dan mentaatinya. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan ittiba’ (mengikuti) beliau dan taat kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Katakanlah (hai Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah
aku (Muhammad), niscaya kalian dicintai Allah”. [Ali ‘Imran/3:31].
Ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bentuk ketaatan
kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala
berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ
اللَّهَ
Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka
ia telah mentaati Allah . . . [an- Nisâ`/4:80].
4.
Nasihat Untuk Para Pemimpin Kaum Muslimin.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata,”Sedangkan nasihat untuk para pemimpin kaum
Muslimin, ialah dengan mencintai ketaatan mereka kepada Allah, mencintai
kelurusan dan keadilan mereka, mencintai bersatunya umat di bawah pengayoman
mereka, benci kepada perpecahan umat dengan sebab melawan mereka, mengimani
bahwa taat kepada mereka ialah demi ketaatan kepada Allah, membenci orang yang
keluar dari ketaatan kepada mereka (yaitu membenci orang yang tidak mengakui
kekuasaan mereka dan menganggap darah mereka halal), dan mencintai kejayaan
mereka dalam taat kepada Allah.”[22]
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah berkata,”Makna ‘nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin’, ialah nasihat yang ditujukan kepada para
penguasa mereka. Yaitu dengan menerima perintah mereka, mendengar, dan taat
kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq. Tidak memerangi mereka selama
mereka belum kafir, berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka, membersihkan
kerusakan mereka, memerintahkan mereka kepada kebaikan, melarangnya dari
kemunkaran, serta mendo’akan mereka agar mendapatkan kebaikan.
Karena, dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat, dan dalam kerusakan
mereka berarti kerusakan bagi rakyat.”[23]
Yang dimaksud dengan pemimpin kaum Muslimin, ialah
para penguasa, wakil-wakilnya, atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka
penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah, taatlah kepada Rasul dan penguasa dari kalian. [An-Nisaa’: 59]
Nasihat untuk pemimpin, ialah dengan mencintai
kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Karena,
melalui kepemimpinannyalah kemaslahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang
dengan persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka yang adil dan membenci
perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Nasihat untuk para pemimpin dapat juga dilakukan
dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran, menaati
mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik. Termasuk
prinsip Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, ialah tidak melakukan provokasi atau
penghasutan untuk memberontak kepada penguasa, meskipun penguasa itu berbuat
zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi, baik dari atas mimbar, tempat khusus
maupun umum, atau media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan Salafush-Shalih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ
فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah
ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu
menyendiri dengannya. Bila penguasa itu mau mendengar nasihat tersebut maka itu
yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima) maka sungguh
ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[24]
Sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi masyarakat yang
tidak mau menasihati penguasanya dengan cara yang baik. Juga tidak ada
kebaikan, bagi penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang yang
berusaha menasihatinya, bahkan menutup telinganya rapat-rapat agar tidak
mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, yang terjadi justru
kerendahan dan kehancuran. Ini sangat mungkin terjadi jika masyarakat muslim
telah menyeleweng dan jauh dari nilai-nilai Islam.
Adapun para ulama, nasihat yang dilakukan untuk
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dilakukan dengan jalan membantah berbagai
pendapat sesat berkenaan dengan Al-Qur`an dan as-Sunnah. Menjelaskan berbagai
hadits, apakah hadits tersebut shahih atau dha’if. Para ulama juga mempunyai tanggung
jawab yang besar untuk selalu menasihati para penguasa, dan senantiasa
menyerukan agar para penguasa berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Jika
mereka lalai dalam mengemban tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun
yang menyerukan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allah akan
menghisabnya. Kepada para ulama, hendaklah mereka terus-menerus berusaha datang
menyampaikan kebenaran dan nasihat yang baik kepada pemerintah (penguasa) dan
sabar dalam melakukannya, karena menyampaikan kalimat yang baik termasuk
seutama-utama jihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ (وَفِي
رِوَايَةٍ: حَقٍّ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan
(dalam riwayat lain: kebenaran) di hadapan penguasa yang semena-mena.[25]
Para ulama juga akan dimintai pertanggungjawaban, jika
mereka justru memuji penguasa yang semena-mena, bahkan kemudian menjadi corong
mereka.
Sedangkan nasihat kita untuk para ulama, ialah dengan
senantiasa mengingatkan mereka akan tanggung jawab tersebut, mempercayai
hadits-hadits yang mereka sampaikan, jika memang mereka orang yang bisa
dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena hal tersebut dapat
mengurangi kewibawaan dan membuat mereka sebagai bahan tuduhan.
5.
Nasihat Untuk Kaum Muslimin.
Makna “nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya”, ialah dengan menolong mereka dalam
kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk,
mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan
untuk mereka sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri, karena mereka
semua adalah hamba-hamba Allah. Maka seorang hamba harus memandang mereka
dengan landasan yang satu, yaitu kacamata kebenaran.[26]
Nasihat untuk masyarakat muslim, dilakukan dengan cara
menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya.
Sangat disayangkan, kaum Muslimin telah mengabaikan tugas ini. Mereka tidak mau
menasihati muslim yang lain, khususnya berkaitan dengan urusan akhirat.
Nasihat yang dilakukan seharusnya tidak terbatas
dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian, nasihat
tersebut akan terlihat nyata dalam masyarakat muslim, sebagai penutup
keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pemberi manfaat,
amar ma’ruf
nahyu munkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang
lebih kecil, serta menghindari penipuan dan kedengkian.
6.
Nasihat Yang Paling Baik Di antara Kaum Muslimin.
Nasihat yang paling baik, ialah nasihat yang diberikan
ketika seseorang dimintai nasihat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَ إِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ…
Jika seseorang meminta nasihat kepadamu, maka
nasihatilah ia.[28]
Termasuk nasihat yang paling baik, yaitu nasihat yang
dilakukan seseorang kepada orang lain ketika orang tersebut (yang dinasihati)
tidak ada di hadapannya. Yaitu dilakukan dengan cara menolong dan membelanya.
7. Kedudukan Orang Yang Memberikan Nasihat.
Amal para rasul ialah menasihati manusia kepada
sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.
Allah berfirman menceritakan hamba-Nya, Nabi Hud
Alaihissallam :
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا
لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ
Aku menyampaikan amanat-amanat Rabb-ku kepadamu dan
aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu. [al-A’râf/7: 68].
Allah juga menceritakan Nabi Shalih
Alaihissallam yang berbicara kepada kaumnya:
فَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ
لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَٰكِنْ لَا
تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ
Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah
menyampaikan kepadamu amanat Rabbku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu,
tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat”.[Al-A’râf/7:79].
Seseorang seharusnya merasa cukup mulia dengan
melaksanakan amalan hamba-hamba Allah yang paling mulia, yaitu para nabi dan rasul.
Demikianlah hakikat nasihat. Mudah-mudahan Allah
menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu saling menasihati. Sehingga
memiliki sebagian sifat-sifat orang yang beruntung, sebagaimana telah
digariskan Allah dengan firman-Nya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran. [al-‘Ashr/103:1-3].
HUKUM
MEMBERIKAN NASIHAT
Diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu , ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ،
وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ.
Aku membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar tetap mengerjakan shalat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap
muslim.[29]
Imam Nawawi rahimahullah berkata,”Hukum memberi nasihat ialah fardhu
kifayah. Artinya, apabila ada seseorang yang sudah mengerjakannya maka gugurlah
kewajiban atas yang lain. Dan nasihat ini adalah wajib menurut kadar kemampuan.”
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan berkata,”Saya berpendapat, hukum memberi nasihat
dengan maknanya yang menyeluruh sebagaimana sudah dijelaskan, ada yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang
wajib, dan ada juga yang sunnah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, agama adalah
nasihat. Sedangkan hukum-hukum agama ada yang wajib, sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.”[30]
ADAB-ADAB
MEMBERI NASIHAT
Di antara adab memberi nasihat dalam Islam, yaitu
menasihati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena, barangsiapa
menutupi keburukan saudaranya maka Allah akan menutupi keburukannya di dunia
dan akhirat.
Sebagian ulama berkata, barangsiapa menasihati
seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka itulah nasihat yang sebenarnya.
Barangsiapa menasihati saudaranya di depan banyak orang maka yang demikian itu
mencela dan merendahkan orang yang dinasihati.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,”Seorang mukmin, ialah orang yang menutupi
aib dan menasihati. Sedangkan orang fasik, ialah orang yang merusak dan
mencela.”[31]
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat 354 H)
berkata,”
Sebagaimana telah kami sebutkan, memberi nasihat merupakan kewajiban seluruh
manusia, tetapi dalam cara menyampaikannya -tidak boleh tidak- harus secara
rahasia. Karena, barangsiapa menasihati saudaranya di hadapan orang lain,
berarti ia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia,
berarti ia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh
perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih
besar kemungkinannya untuk diterima daripada menyampaikan dengan maksud
mencelanya.”
Kemudian al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan
dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata: “Saya bertanya kepada Mis’ar, ‘Apakah engkau suka bila ada orang lain
memberitahukan kekurangan-kekuranganmu?’ Ia menjawab,’Apabila yang datang adalah orang yang
memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka
aku tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku seorang pemberi nasihat,
maka aku senang’.”
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullah mengatakan,”Nasihat, apabila dilakukan seperti apa
yang telah kami sebutkan maka akan melanggengkan kasih sayang dan menjadi
penyebab terwujudnya hak ukhuwah (persaudaraan).”[32]
Al-Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm rahimahullah (wafat 456 H)
berkata,”Maka
wajib bagi seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu
suka maupun benci, tersinggung maupun tidak tersinggung. Apabila engkau
memberikan nasihat maka sampaikan secara rahasia, jangan di hadapan orang lain
dan cukup dengan memberikan isyarat, tanpa secara terus-terang. Kecuali, orang
yang dinasihati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus-terang.
Janganlah memberi nasihat dengan syarat harus diterima. Jika engkau melampaui
batas adab-adab tersebut maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat,
dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak
ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan
hukum rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba
sahayanya.”[33]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam sya’irnya:
تَغَمَّدْنِي بِنُصْحِكَ فِي انْفِرَادِي وَجَنِّبْنِي النَّصِيْحَةَ فِي
الْجَمَاعَةْ
فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَـوْعٌ
مِنَ التَّوبِيْخِ لاَ أَرْضَى اسْتِمَاعَهْ
وَإِنْ خَالَفْتَنِي وَعَصَيْتَ قَوْلِي
فَلاَ تَجْزَعْ إِذَا لَمْ تُعْطَ طَـاعَةْ
Tutupilah kesalahanku dengan nasihatmu
ketika aku seorang diri.
Hindarilah menasihatiku di tengah
khalayak ramai.
Karena memberikan nasihat di hadapan
banyak orang.
Sama saja dengan memburuk-burukkan, aku
tidak sudi mendengarnya.
Jika engkau menyalahiku dan tidak
mengikuti ucapanku.
Maka janganlah engkau kaget bila
nasihatmu tidak ditaati. [34]
FAWÂ-ID
HADITS
1. Nasihat memiliki kedudukan yang besar
dan agung dalam agama Islam.
2. Nasihat ditujukan kepada Allah, Kitab-Nya,
Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan kepada kaum Muslimin pada umumnya.
3. Wajib ikhlas dalam beribadah kepada
Allah Ta’ala.
4. Wajib ikhlas dalam memberikan nasihat.
5. Tidak boleh khianat dalam memberikan
nasihat.
6. Bolehnya mengakhirkan keterangan dari
waktu ketika menyampaikan nasihat.
7. Nasihat dikatakan sebagai agama, karena
iman terdiri dari perkataan dan perbuatan.
8. Nasihat termasuk dari iman. Karena
itulah Imam al-Bukhari berkata dalam Shahîh-nya, dalam Kitâbul- Îmân.
9. Baiknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajarkan agama
kepada para sahabatnya.
10. Para sahabat Radhiyallahu anhum sangat
berkeinginan keras untuk mendapatkan ilmu.
11. Dakwah itu harus dimulai dari yang
paling penting kemudian yang penting.
Marâji’:
1. Al-Wâfî fî Syarhil-Arba’în an-Nawawiyyah, Dr. Musthafa al-Bugha dan
Muhyidin Mustha.
2. An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts, Ibnul-Atsîr.
3. Fiqih Nasihat, Fariq bin Ghasim Anuz.
4. Fat-hul Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani.
5. Irwâ-ul Ghalîl fii Takhriiji Ahâdîts Manâris-Sabîl, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
6. Jâmi’ul ‘Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali.
Tahqiq: Syaikh Syu’aib
al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
7. Qawâ’id wa Fawâ-id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya: Syaikh Nazhim
Muhammad Sulthan.
8. Shahîh Muslim, dan lainnya sebagaimana yang
disebutkan dalam takhrij hadits.
9. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani.
10. Syarah Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
11. Syarah Shahîh Muslim, karya: al-Imam an-Nawawi
12. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, al-‘Allamah Muhammad Hayat as-Sindi. Tahqiq:
Hikmat bin Ahmad al-Hariri, Daar Ramaadi, Cetakan I, Tahun 1415 H.
13. Syarhul- Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin.
14. Syarhus-Sunnah, al-Imam al-Baghawi.
15. Ta’zhîm Qadrish-Shalâh, Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi.
Tahqiq dan Takhrij: Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdul-Jabbar al-Fariyuwa’i, Maktabah ad-Dâr Madinah an-Nabawiyyah, Cetakan I.
16. Dan kitab-kitab lainnya yang
disebutkan dalam catatan kaki
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Siyar ‘Alâmin Nubalâ (II/442-448), al-Ishâbah fî Tamyîzish-Shahâbah (I/183-184), dan
Tahdzîbut- Tahdzîb (I/449, no. 951).
[2]. Lisanul-Arab (XIV/158-159) bagian
kata “Nashaha”. Daar Ihya-ut Turats
al-‘Arabi, Cetakan I, Tahun 1408H.
[3]. Syarah Shahîh Muslim (II/37).
[4]. Jâmi’ul-‘Ulum wal-Hikam (I/219). Lihat juga an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadits (V/63).
[5]. HR Abu Dawud (no. 1949), an-Nasâ-i (V/256), at-Tirmidzi (no. 2975). Lihat Fat-hul Bâri (I/138).
[6]. Fat-hul Bâri (I/138).
[7]. Jâmi’ul-‘Ulum wal-Hikam (I/218).
[8]. Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh, (II/691-692).
[9]. Syarah Shahîh Muslim (II/38) oleh Imam an-Nawawi.
[10]. Jâmi’ul-‘Uluum wal-Hikam (I/222).
[11]. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyah, hlm. 47-48.
[12]. Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693).
[13]. Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42.
[14]. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[15]. HR Muslim (no. 804), dari Sahabat
Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu.
[16]. HR Abu Dawud (no. 1464) dan
at-Tirmidzi (no. 2914), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma.
[17]. HR al-Bukhari (no. 7527), dari
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[18]. HR al-Bukhari (no. 5027), dari
Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu.
[19]. Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42-43.
[20]. Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh (II/693).
[21]. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[22]. Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693-694).
[23]. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[24]. HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil-Wulât (II/ 507-508 no. 1096,
1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm rahimahullah.
[25]. HR Abu Dawud (no. 4344), at-Tirmidzi
(no. 2174), dan Ibnu Majah (no. 4011), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 491.
[26]. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[27]. Al-Wâfî fî Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hlm. 45.
[28]. HR Muslim (no. 2162), dari Sahabat
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[29]. HR al-Bukhari (no. 57) dan Muslim
(no. 56 [97]).
[30]. Qawâ’id wa Fawâ-id minal-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 95.
[31]. Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 46.
[32]. Raudhatul-‘Uqalâ’ wa Nuzhatul-Fudhalâ`, hlm. 176-177.
[33]. Akhlâq was Siyar fî Mudâwâtin Nufûs (hal. 45).
[34]. Diwân Imam asy-Syafi’I, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad ‘Abdur-Rahim, Darul-Fikr, hlm. 275.