
Kali ini akan kita bahas mengenai sebuah
tradisi yang banyak dilestarikan oleh masyarakat, terutama di kalangan aktifis
da’wah yang beramal tanpa didasari
ilmu, tradisi tersebut adalah tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan.
Mereka yang melestarikan tradisi ini beralasan dengan hadits
yang terjemahannya sebagai berikut:
Ketika Rasullullah
sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu
mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut
mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin
sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat
bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik,
hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad,
apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang
berikut:
1) Tidak memohon maaf
terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih
dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih
dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Namun anehnya, hampir semua orang yang
menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah
dicari, hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits. Setelah berusaha
mencari-cari lagi, saya menemukan ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian
menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad
(2/246, 254). Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:
عن
أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين
آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله
أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد
أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد
ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي : إسناده جيد
“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik
mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa
engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru
saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati
Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril
berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya
masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada
mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah
melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka
kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.
Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri
di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz
Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami
dalam Majma’ Az Zawaid (8/142),
juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘
(212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).
Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut
di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat
hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits
kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak,
sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini
berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk
mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya,
kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits
dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.
Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
من
كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا
درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات
صاحبه فحمل عليه
“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari
ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum
datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut
memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi
kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan
kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)
Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan
untuk meminta maaf, jika
berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf
tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah
diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah
kepada semua orang tanpa disadari”.
Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf
kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dan para sahabat
tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir
akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak
dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
إن
الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena
tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla,
4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua
orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan)
dalam beragama.
Dan kata اليوم (hari ini)
menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling
baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal
menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan
secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.
Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada
saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan
menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan
memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya
tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang
dilakukan setiap tahun.
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama