Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc
Ustadz Abu Minhal, Lc
Jika
ada seseorang menyaksikan banyak manusia mengucapkan satu pendapat yang
sama atau meyakini sesuatu yang serupa, kondisi demikian akan mudah
mendorongnya untuk mengikuti ucapan dan keyakinan mereka. Sebab,
seperti diungkapkan pepatah Arab, manusia itu bak gerombolan burung,
sebagian akan mengikuti lainnya. Dan pada gilirannya, akan menanamkan
kesan pada benak orang tersebut bahwa pendapat yang menyalahi mereka
merupakan pendapat yang keliru dan salah, dan otomatis orang-orang yang
tidak sejalan dengan mereka pun ia anggap kumpulan orang yang salah
jalan (baca: sesat). Ya, apapun pendapat, keyakinan dan kebiasaan
mayoritas manusia, kendatipun salah, keliru dan menyimpang.
Dengan melihat fakta di atas, maka tidaklah adil dan ilmiah bila kuantitas dijadikan sebagai barometer al-haq (kebenaran).
Bila mayoritas manusia memang berada di atas al-haq, dengan
mengagungkan nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah shahîhah serta berkomitmen
tinggi untuk mengamalkannya secara keseluruhan dan mendakwahkannya, maka itulah kondisi yang ideal bagi manusia untuk mengenal kebenaran.
Komunitas sosial yang lurus tersebut akan menjadi media yang kondusif
bagi perkembangan anak-anak dan generasi selanjutnya. Mereka akan
memiliki teladan baik dan contoh luhur dalam aqidah, akhlak, ibadah dan
muamalah serta aspek-aspek keagamaan lainnya.
Namun,
persoalan akan muncul bila mayoritas berada dalam kondisi sebaliknya;
ideologi yang berkembang tidak pernah dikenal di masa Salafush-Shâlih,
taklid buta menjadi dasar agama, tradisi lokal sangat diagungkan,
hadits-hadits palsu diamalkan, kaifiyah ibadah baru lagi tak berdasar
menjadi ‘sunnah’ yang mesti dipertahankan. Pengaruh mayoritas ini dalam
masyarakat tersebut akan menyeret anak-anak, generasi muda Islam dan
orang-orang jahil serta orang muallaf memahami Islam tidak sebagaimana
mestinya. Mungkin saja, mereka menjadi pihak yang superior, tapi yang
pasti, standar al-haq (kebenaran) bukanlah berdasarkan besarnya jumlah
massa suatu kelompok dan kekuatan otot mereka.
MENURUT AL-QUR`ÂN, KEBANYAKAN MANUSIA TIDAK BERADA DI ATAS JALAN LURUS
Melalui
beberapa ayat, justru al-Qur`ân yang merupakan pedoman hidayah umat
Islam mencela jumlah manusia yang mayoritas dan memberitahukan bahwa
kebanyakan manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan. Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿١١٦﴾
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). Sesungguhnya Rabbmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat
petunjuk. [al-An’âm/6:116-117].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “(Dalam
ayat ini) AllâhTa’ala mengabarkan kondisi kebanyakan penduduk muka bumi
dari anak keturunan Adam, sesungguhnya (mereka berada) dalam kesesatan”. [Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 3/322].
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikit lah mereka ini. [Shâd/38:24].
Bukankah
jumlah kaum Muslimin lebih sedikit dibandingkan bilangan orang-orang
yang kafir? Dan umat Islam yang taat menjalankan kewajiban-kewajiban
agamanya lebih sedikit ketimbang orang-orang yang mengabaikannya?
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum Mukminin berjumlah sedikit di tengah manusia. Dan ulama berjumlah sedikit di tengah kaum Mukminin”.[1]
Maka,
untuk mengelabui orang, klaim jumlah yang banyak dijadikan oleh ahli
batil untuk menegaskan kebenaran jalan dan keyakinan mereka. Karenanya,
para pengusung kebatilan, penyeru kepada bid’ah, penjaja liberalisme
dan orang-orang yang memusuhi kebenaran al-Qur`ân dan Sunnah shahîhah
berusaha melariskan ‘dagangan’ mereka dengan menyebarluaskan klaim
banyaknya para pengikut dan pendukung mereka. Misi-misi dan doktrin
mereka suarakan melalui berbagai media massa agar terbentuk opini.
Betapa banyak orang yang mengikuti mereka, kemauan merekalah yang
diinginkan oleh publik dan selanjutnya klaim bahwa mereka berada di
atas jalur yang benar dan lurus. Bukankah bila satu golongan menyimpang
yang memiliki cabang di mana-mana, sedikit banyak akan mempengaruhi
pandangan miring orang terhadap golongan itu?
Dalam kitab Masâilu al-Jâhiliyyah, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menyebutkan salah satu ciri jahiliyah, “Berhujjah dengan apa yang dipegangi kebanyakan orang tanpa menengok dasarnya”.
PARAMETER KEBENARAN
Dengan demikian, parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau sedikit. Akan tetapi, “kebenaran
itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan dalil tanpa perlu
menengok banyaknya orang yang menerima atau minimnya penolakan orang.
Antipati manusia atau respon positif mereka tidak otomatis menunjukkan
kebenaran atau penyimpangan satu pendapat. Tiap pendapat dan perbuatan
haruslah berdasarkan dalil (yang shahîh) kecuali pendapat (ucapan) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena ucapan beliau sudah menjadi
hujjah (dasar, dalil)”[2].
Allâh
Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang umat terdahulu bahwa kaum
minoritas bisa saja berada di atas al-haq. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hûd/11:40].
Maka,
siapa saja berada di atas al-haq yang berlandaskan dalil yang shahîh
dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam ucapan, perbuatan,
keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar dan lurus,
dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain.
Bahkan,
seandainya pun tidak ada seorang pun yang berpegang teguh dengan
al-haq, selama itu merupakan kebenaran, tetaplah merupakan kebenaran
dan menjadi sumber keselamatan.
Apabila
kebanyakan orang hanyut dalam kebatilan dengan melanggar syariat, tidak
konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diutus untuk menyampaikan ilmu dan hidayah kepada semua manusia,
mengadakan hal-hal baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya yang
jelas dan tidak pernah dikenal oleh generasi terbaik umat Islam; dalam
kondisi demikian, pendapat mereka harus ditolak dan tidak boleh
terpedaya dengan jumlah mereka yang ada di mana-mana.
Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah berkata:
لاَ
يَكُنْ أَحُدُكُمْ إِمَّعَةً يَقُوْلُ: “أَنَا مَعَ النَّاسِ”.
لِيُوَطِّنَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَنْ يُؤْمِنَ وَلَوْ كَفَرَ النَّاسُ
[Janganlah
seseorang dari kalian menjadi latah (dengan) mengatakan, ‘Aku bergabung
dengan (arus) manusia (saja)’. Hendaknya ia melatih diri untuk beriman
walaupun orang-orang telah kafir].
Atas dasar nasihat berharga di atas, mari kita tanamkan pada diri kita, “Hendaklah
kita melatih diri (dan berusaha keras) untuk berkomitmen dengan
petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun banyak
orang telah mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal baru
dalam Islam”. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah, rasyâd dan taufik-Nya kepada kita semua.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga telah menggariskan pesan pentingnya, “Janganlah
engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang jahil.
Mereka itu mengatakan, ‘Jika orang-orang itu (yang berada di atas
al-haq) betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak
akan sedikit. Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan dengan
mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas
al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedangkan orang-orang yang
bertentangan dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia, bukan
manusia. Manusia (sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti
al-haq meskipun mereka berjumlah paling sedikit”.[4]
Syaikh Shâlih al-Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Memang
betul, bila mayoritas (manusia) di atas kebenaran dan al-haq, maka itu
bagus sekali. Akan tetapi, sunnatullâh (ketetapan Allâh Azza wa Jalla)
yang berjalan bahwa kuantitas yang besar berada di atas kebatilan. (Ketetapan Ilahi ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya [Yûsuf/12 : 103]
Dan firman-Nya:
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6 ayat 116][5].
BENARKAH MAYORITAS KAUM MUSLIMIN PADA MASA SEKARANG BERAQIDAH ASY’ARIYAH?
Kaum Asya’irah (yang beraqidah Asy’ariyah) adalah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) kepada Abul-Hasan al-Asy’ari,
yaitu ‘Ali bin Ismâ’îl yang wafat pada tahun 330H. Sebenarnya, melalui
aspek historis, dapat diketahui bahwa sosok yang terkenal ini
mengarungi tiga fase dalam aqidahnya: bermadzhab Mu’tazilah, kemudian
berada dalam fase antara pengaruh aqidah Mu’tazilah dan mengikuti
Sunnah dengan menetapkan sebagian sifat Allâh, namun masih menakwilkan
sebagian besarnya. Fase ini yang kemudian dikenal dengan aqidah
Asy’ariyah. Lalu keyakinannya yang terakhir, meyakini aqidah yang
dipegangi dan diyakini oleh generasi Salaf umat Islam. Sebab, ia telah
menegaskan dan memaparkannya dalam kitabnya al-Ibânah yang termasuk karya terakhir beliau.
Di dalamnya, beliau menjelaskan bahwa dirinya mengikuti aqidah yang
dipegangi oleh Imam Ahli Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan
Ulama Ahli Sunnah lainnya. Yaitu, menetapkan semua nama dan sifat yang
ditetapkan Allâh Azza wa Jalla bagi Dzat-Nya dan ditetapkan oleh
Rasûlullâh bagi-Nya, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allâh Azza
wa Jalla, tanpa takyîf, tamtsîl, tahrîf dan takwîl. Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].
Dikala panutan dan tokoh utama Asy’ariyah, Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah telah meninggalkan aqidah 20 sifatnya,
para penganut aqidah Asy’ariyah masih bertahan dengan pemikiran
Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah sebelum meninggalkan aqidah yang
digagasnya menuju aqidah Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Belakangan, ada
ungkapan populer di tengah sebagian masyarakat bahwa golongan
Asy’ariyah di masa ini merepresentasikan 95% dari jumlah kaum muslimin.
Artinya, yang memegangi aqidah Asy’ariyah di dunia Islam merupakan kaum
mayoritas.
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad menyanggah pendapat tersebut, melalui, dengan beberapa tinjauan, sebagai berikut:[6]
1.
Bahwa penetapan prosentase di atas haruslah berdasarkan penghitungan
detail yang menghasilkan data empiris yang valid. Dan ternyata tidak
ada sensus untuk menghitung jumlah penganutnya, hanya sekedar klaim
kosong belaka.
2.
Anggap saja prosentasi itu benar, namun tidak otomatis jumlah yang
banyak mengindikasikan lurus dan benarnya aqidah tersebut. Sebab,
aqidah yang benar dan lurus hanya dapat digapai dengan mengikuti aqidah
yang diyakini oleh generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi dan
insan-insan yang berjalan di atas manhaj mereka dengan baik. Bukan
dengan mengikuti aqidah yang penggagasnya baru wafat pada abad empat
hijriyah, apalagi yang bersangkutan telah meninggalkan aqidah (yang
salah) itu. Selain itu, secara logika, tidak mungkin ada kebenaran yang
tertutup dan tersembunyi bagi para Sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan
para pengikut mereka dengan baik, dan kemudian kebenaran itu baru
diketahui oleh orang yang kelahirannya setelah masa generasi terbaik
umat Islam.
3.
Selain itu, aqidah Asy’ariyah hanyalah diyakini oleh orang-orang yang
mendalaminya di lembaga pendidikan Asy’ariyah atau mereka
mempelajarinya dari tangan guru-guru berkeyakinan Asy’ariyah. Sedangkan
orang-orang awam yang jumlahnya sangat banyak itu tidaklah mengenal
Asy’ariyah. Aqidah mereka masih di atas fitrah.
4.
Syaikh Bakr Abu Zaid dalam at-Ta’âlum menambahkan bahwa aqidah
orang-orang dari tiga generasi terbaik; dari generasi Sahabat dan dua
generasi selanjutnya sejalan dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam perjalanan sejarah dikenal
dengan Aqidah Salaf.
MAKA, BERSABARLAH DAN TETAPLAH KOMITMEN DENGAN AL-HAQ
Dengan
melihat fakta lapangan, orang yang tidak dan belum komitmen dengan
ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam jumlahnya lebih
banyak bahkan dominan di tengah masyarakat, maka seorang Muslim yang
taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak perlu merasa cemas, resah dan terasing lantaran tidak
“memiliki” teman banyak atau bahkan tidak punya teman sama sekali.
Sebab, hatinya ingin bersama dengan “orang-orang orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu: nabi-nabi, para shiddîqîn,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya”.[8]
Apabila
kesabaran dan keyakinannya menipis, maka ia akan meninggalkan kebenaran
itu, tidak sanggup menanggung beban (untuk menjalankan)nya, apalagi
bila ia tidak memiliki teman dan merasa resah dengan kesendiriannya.
Akhirnya, ia akan berkata, “Kemana manusia pergi, maka aku mengikuti mereka”.[9]
MARI SEBARKAN AJARAN AHLI SUNNAH WAL-JAMAAH!
Tersebarnya
ajaran dan petunjuk yang bersumber dari al-Qur`ân dan Sunnah yang
shahîhah di tengah satu masyarakat, dari masyarakat terkecil seperti
keluarga, hingga masyarakat berskala besar seperti negara, akan
mendatangkan kebaikan demi kebaikan bagi mereka semua. Oleh karena itu,
sepatutnya penyeru kepada perbaikan berusaha keras untuk memperbanyak
jumlah ahlul-haq. Sebab, para nabi pun memperoleh kedudukan yang
berbeda-beda juga berdasarkan sedikit banyaknya pengikut mereka. Oleh
sebab itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لَأَرْجُوْ أَنْ تَكُونُوْا أَكْثَرَ أَهْلَ الْجَنَّةِ
Sesungguhnya aku benar-benar berharap kalian menjadi penghuni terbanyak di dalam surga. [HR al-Bukhâri dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu][10].
Wallâhu a’lam.
_____
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[2]. Lihat Manhajul-Istidlâl, 2/695.
[3].? Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, hlm. 61.
[4]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[5]. Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, Shâlih al-Fauzân, hlm. 62.
[6]. Lihat Qathfu Jana ad-Dânî, Darul-Fadhîlah, Cet. I Th. 1423H-2002M, hlm35-36
[7]?. At-Ta’âlum, hlm. 121-122.
[8]. an-Nisâ/4 ayat 69. Lihat keterangan ini dalam ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 109.
[9]. Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, 2/361.
[10]. Ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 106-112.
Footnote
[1]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[2]. Lihat Manhajul-Istidlâl, 2/695.
[3].? Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, hlm. 61.
[4]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[5]. Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, Shâlih al-Fauzân, hlm. 62.
[6]. Lihat Qathfu Jana ad-Dânî, Darul-Fadhîlah, Cet. I Th. 1423H-2002M, hlm35-36
[7]?. At-Ta’âlum, hlm. 121-122.
[8]. an-Nisâ/4 ayat 69. Lihat keterangan ini dalam ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 109.
[9]. Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, 2/361.
[10]. Ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 106-112.
Sumber: https://almanhaj.or.id/4303-jumlah-banyak-bukan-barometer-kebenaran.html