Golongan Asy ‘ariyah yaitu sekelompok orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il Al Asy’ari dalam masalah aqidah khususnya sifat-sifat Allah, menetapkan sifat Allah hanya duapuluh. Padahal beliau hanya menetapkan tujuh sifat (sebelum kembali ke manhaj salaf, ahlussunnah wal jama’ah). Yang tiga belas itu sebenarnya tambahan dari kelompok Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad bin Muhammad Al Maturidi As Samarqondi (wafat 333 H)
Adapun sifat duapuluh itu adalah Wujud,
Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Ta’ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi,
Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam, Kaunuhu
Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu
Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman. Inilah yang dinamakan sifat wajib duapuluh bagi Allah yang wajib diyakini menurut Asy ‘Ariyah.
Dalam menetapkan sifat tujuh (ditambah menjadi dua puluh oleh Maturidiyyah) mereka (Asy ‘Ariyah) hanya berdasarkan akal. Kata
mereka: “Adanya makhluk ini menunjukkan adanya qudroh, lalu adanya
sifat khusus bagi masing-masing makhluk menunjukkan adanya irodah,
teraturnya alam ini tanda adanya ‘ilmu. Ketiga sifat ini tanda adanya
sifat Hayyu(hidup) karena ketiga sifat itu tidak akan terwujud tanpa Al
Hayyu. Dan sifat hayyu harus memiliki sifat berbicara, mendengar dan
melihat. Ini adalah sifat sempurna. Atau tersifati dengan bisu, tuli
atau buta, namun karena ini sifat tercela maka tidak mungkin Allah
tersifati dengannya”.
Bantahan Ahlussunnah (manhaj salaf) : Berbicara dalam masalah ini hanya berdasarkan akal mengandung konsekwensi sebagai berikut :
1. Menyelisihi metode yang diterapkan oleh salaful ummah, generasi awal, dari kalangan shahabat, tabi’in, atba’uttabi’in dan para ulama setelah mereka.
Mereka
mengembalikan masalah ini kepada Al Qur’an dan Sunnah. Mereka
menetapkan semua nama-nama dan sifat sebagaimana Allah tetapkan dalam
Al Qur’an atau melalui sunnah Nabi-Nya tanpa diserupakan dan dita’thil.
Imam Ahmad berkata: “Kita mensifati Allah sesuai yang telah Allah tentukan, tidak boleh melampaui Al Qur’an dan Hadits”.
2. Juga menyelisihi akal itu sendiri.
Karena masalah ini termasuk urusan ghoib. Sehingga akal tidak bisa campur tangan. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima.
3. Akan menyebabkan perselisihan dan kontradiksi yang tiada henti.
Karena
setiap orang mempunyai akal. Lalu akal mana yang dipakai? Si Fulan akan
menetapkan sesuatu yang dinafikan oleh Fulan yang lain, begitu
seterusnya.
Maka tidak ada mizan (timbangan) yang kongkrit sebagai pijakan baku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Aduhai, dengan akal siapa Kitab dan Sunnah akan ditimbang? Semoga Allah meridhoi
Imam Malik bin Anas dimana beliau berkata: ‘Atau
apakah setiap kali ada seseorang yang lebih lihai berdebat mendatangi
kita, lalu kita akan campakkan apa yang disampaikan Jibril kepada
Muhammad hanya karena mengikuti pendapatnya? Padahal sudah dimaklumi
bahwa kontradiktifnya perkataan merupakan bukti kebatilannya”.
4. Jika mereka(Asy ‘Ariyah dan ahli kalam) mengatakan bahwa makna tangan Allah adalah kekuatan karena
takut dikhawatirkan menyerupai tangan makhluk, maka mereka juga harus
menta’wilkan makna kekuatan supaya tidak terjadi penyerupaan karena
makhluk juga punya kekuatan.
Jika mereka berkelit (dgn mengatakan) kekuatan Allah tidak sama dengan kekuatan makhluk.
Kita jawab: Demikian pula tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Jadi tidak ada jalan untuk menta’wil.(Majmu’ Fatawa, bagian Taqrib At Tadamuriyah, Sayikh Ibnu Utsaimin, 4/123-124). Allahu A’lam bish showab.
Uraian berikut akan mencoba mengulas kesalahan madzhab mereka yang sudah mengakar di masyarakat. Semoga Allah masih membuka jalan bagi mereka untuk kembali ke manhaj ahsunnah yang hakiki.
Nama dan sifat Allah tidak terbatas karena tidak ada dalil yang membatasi. Bahkan ketidak terbatasan asma’ dan sifat Allah disabdakan oleh Rasulullah sendiri:
“Aku
mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk
diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada
salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghaib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya” [Hadits
shohih riwayat Ahmad dalam Musnad, Ibnu Hibban dalam Mawaridu Dhom’an,
Al-Hakim dalam Mustadrok. Dishohihkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Sifa’ul
‘Alil, Ahmad Syakir, Al-Albani dalam Shohihah, dan Al-Arnauth dalam
takhrij Zadul Ma’ad]
Sesuatu
yang masih berada dalam ilmu ghoib tidak ada yang mengetahuinya kecuali
hanya Allah, sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mengetahuinya,
apalagi menghitungnya. Jelas sekali bahwa nama Allah itu tidak terbatas.
Lalu bagaimana dengan hadits:
“Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah.” [Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677]
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya sembilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
“Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah”
Dengan
demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan
puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya.
Selain itu kalimat “…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah” bukan merupakan kalimat tersendiri tetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: “Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh”. Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya. [Al-Qowa’idul Mutsla Fi Sifatillahi Wa Asma’ihi Al-Husna, Ibnu Utsaimin, hal.17. dan Al-Qowa’idul Muhimmat Fil Asma’I was Sifat, Ibnul Qoyyim, hal.32]
Imam Nawawi berkata: “Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun
bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud
dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang
menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk
jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan
nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu
dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau
masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya” [Syarah Muslim, 6/177]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Inilah pendapat jumhur ulama’ “[lihat Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli Wa Naqli, juz 3 hal.323]
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Tentang
penyebutan 99 nama ini para ulama berselisih, apakah nama Allah sebatas
itu atau lebih, namun disebutkannya sejumlah nama itu merupakan
kekhususan sebab bagi yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk
jannah. Jumhur ulama memilih pendapat kedua (nama Allah lebih dari 99
nama). Dan An-Nawawi menukil adanya kesepakatan ulama’ tentang masalah
ini (seperti yg disebutkan diatas).
Al-Khothobi berkata: “Dalam hadits ini terdapat penetapan sejumlah 99 nama, namun bukan merupakan halangan adanya tambahan nama yang lain. Pengkhususan ini dikarenakan nama-nama ini sering muncul dan maknanya paling jelas”. Al-Qurthubi berpendapat sama dalam kitabnya Al Mufhim. Ibnu bathal menukil pendapat Al-Qodhi Abu Bakar bin Thoyyib, katanya: “Dalam hadits ini tidak ada bukti pembatasan nama Allah hanya 99. Namun makna hadits ini adalah siapa yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah, dan yang menunjukkan tiadanya pembatasan adalah kebanyakan dari nama-nama itu berupa sifat, sedangkan sifat Allah tidak terbatas”.[Fathul Bari, 12/521]
Kesimpulannya bahwa nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. Ibnul Qoyyim berkata: “Allah
mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di
sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat
dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits
shohih: Aku mohon
kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk
diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada
salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu
yang Engkau sendiri mengetahuinya”.[Al Qowa’idul Muhimmat fil Asma’ Was Sifat, hal.32]
Wallahu ta’ala a’lam
Oleh: Abu Nu’aim Al Atsari
________