FATHU
MAKKAH (TAHUN KE-8H)
Oleh
Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
SEBAB-SEBAB YANG MEMICUNYA
Musyrikin Quraisy melakukan kesalahan besar ketika membantu sekutunya
-Bani Bakr- untuk melawan Khuzâ’ah –sekutu kaum Muslimin-, yaitu dengan
memberi senjata, kuda dan pasukan. Bani Bakr dan sekutu mereka pun
menyerang Kabilah Khuzâ’ah di sebuah daerah bernama al-Watîr. Mereka
membunuh lebih dari dua puluh orang anggota Khuzâ’ah. Suku Khuzâ’ah yang
belum siap berperang tadi lantas berlindung ke tanah suci (Mekkah)
untuk menyelamatkan diri dari kejaran Bani Bakr dan sekutunya (Quraisy).
Sesampainya di Mekkah, Khuzâ’ah berkata kepada panglima musuhnya, “Hai
Naufal, kami sekarang berada di kawasan suci tuhanmu!” Namun Naufal
justru menukas, “Tidak ada tuhan hari ini… hai Bani Bakr, lampiaskan
dendam kalian!” teriaknya.[1]
Seketika itu, ‘Amru bin Salîm al-Khuzâ’i beserta empat puluh orang
suku Khuzâ’ah lari mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di Madinah. Mereka mengabarkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa mereka telah diserang oleh Bani Bakr yang dibantu Quraisy.
‘Amru lalu menggubah delapan bait sya’ir yang ditujukan kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk minta tolong atas nama
Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas, “Engkau akan
ditolong, hai ‘Amru bin Salim! Allâh tidak akan menolongku jika aku
tidak menolong Bani Ka’ab (Khuzâ’ah).” Bahkan ketika mendadak ada
sebongkah awan yang lewat, beliau mengatakan, “Sesungguhnya awan ini
muncul sebagai pertanda kemenangan Bani Ka’ab.”[2]
Diriwayatkan, bahwa setelah Rasûlullâh memastikan kebenaran berita
yang dibawa oleh Khuzâ’ah tadi, beliau mengirim utusan kepada Quraisy
dan berkata, “Amma ba’du, jika kalian siap memutus hubungan dengan Bani Bakr dan membayar diyat atas korban suku Khuzâ’ah; maka lakukanlah. Namun jika kalian tidak mau, berarti kuumumkan perang atas kalian!”
Pesan ini dijawab oleh Qaradhah bin Abdi Amru bin Naufal bin Abdi
Manaf (ipar Mu’âwiyah), “Sesungguhnya Bani Bakr adalah kaum yang membawa
sial. Kalau kami membayar diyât atas korban
yang mereka bunuh, maka harta kami akan ludes semua. Kami juga tidak
bisa memutus hubungan dengan mereka, karena tidak ada lagi yang seagama
dengan kami selain mereka.”[3]
Quraisy lantas mengutus Abu Sufyân ke Madinah untuk mengukuhkan
perjanjian damai dan memperpanjang temponya. Setibanya di Madinah, ia
menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan
hajatnya. Namun Nabi berpaling dan tidak menggubrisnya. Abu Sufyân pun
minta tolong melalui para sahabat senior semisal Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali agar menjadi penengah antara dirinya dengan Rasûlullâh, namun
mereka semua menolaknya.
Abu Sufyân Radhiyallahu anhu lantas kembali ke Mekkah dengan tangan
hampa. Konon diriwayatkan, bahwa ketika di Madinah, ia singgah di rumah
puterinya –Ummul Mukminin Ummu Habîbah-, dan ketika hendak duduk di atas
tikar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ummu Habîbah segera
melipatnya. Abu Sufyân pun heran dan bertanya, “Hai puteriku, aku tidak
tahu, apakah kamu melakukannya karena tidak suka pada tikar itu, ataukah
karena tidak suka kepadaku?” Maka jawab Ummu Habîbah, “Ini adalah tikar
Rasûlullâh, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis”. Maka Abu
Sufyan berkata, “Demi Allâh, engkau jadi tidak baik setelah berpisah
denganku”.[4]
Menurut Dr. Ali Shallâbi, sikap Ummu Habîbah ini tidak mengherankan.
Sebab ia termasuk Muhâjirin yang hijrah dua kali, yaitu ke Habasyah dan
ke Madinah. Jadi, ia telah lama putus hubungan dengan budaya jahiliyah
dan tidak bersua dengan ayahnya sejak 16 tahun. Namun ketika ia bersua
dengan ayahnya, ternyata sang ayah bukanlah orang yang pantas dihormati,
sebab ia menganggapnya sebagai dedengkot kekafiran yang menghalangi
penyebaran Islam dan memerangi Rasûlullâh selama 16 tahun tersebut.
Demikian pula sikap para sahabat dalam menerapkan aturan wala’ wal bara’
demi mengukuhkan dakwah Islam dan eksistensi kaum muslimin. Sikap Ummu
Habîbah terhadap ayahnya yang demikian tegas, padahal ayahnya adalah
orang terpandang di mata Quraisy dan orang Arab secara umum; menunjukkan
betapa kuat keimanannya yang tertanam di dalam hati Ummu Habîbah
Radhiyallahu anhuma. Ini juga menunjukkan betapa gigihnya para sahabat
dalam memelihara jatidiri mereka sebagai muslim serta meningkatkan rasa
percaya diri mereka.[5]
Berkenaan dengan tekad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menaklukkan kota Mekkah, hal ini selain karena wahyu dari Allâh Azza wa
Jalla , juga didukung oleh beberapa faktor berikut.
- Meningkatnya kekuatan kaum Muslimin di kota Madinah, yang kali ini benar-benar bebas dari ancaman internal kaum Yahudi. Sebab eksistensi Yahudi di Madinah telah berakhir seiring dengan pemberangusan Yahudi Bani Qainuqa’, Bani Nadhîr, dan Bani Quraidhah plus Yahudi Khaibar.
- Melemahnya kekuatan kaum kafir di kota Madinah, terutama yang dipimpin oleh kaum munafikin setelah kehilangan sekutu utama mereka dari kalangan Yahudi Madinah.
- Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian besar dalam meningkatkan kekuatan militer Islam, dengan mengirim sejumlah ekspedisi militer selama periode gencatan senjata dengan pihak Quraisy. Sehingga dengan begitu, kekuatan kaum Muslimin melebihi kekuatan musyrikin Quraisy dari segi jumlah pasukan maupun persenjataan.
- Penaklukan Mekkah terjadi setelah Daulah Islam Madinah memiliki kekuatan ekonomi, dan kekuatan ekonomi Quraisy melemah. Hal itu diawali dengan penaklukan kota Khaibar yang memberi ghanimah sangat besar kepada kaum Muslimin. Sedangkan perniagaan Quraisy justru terhambat akibat adanya sekelompok kaum muslimin yang lari dari Mekkah dan tidak menetap di Madinah, akan tetapi menetap di tengah jalur perniagaan Quraisy, dan itu karena mereka telah menandatangi perjanjian Hudaibiyah tahun ke 6 H, yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa siapa saja yang lari dari Mekkah ke Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekkah. Oleh karena itu, mereka yang lari menyelamatkan agamanya dari Mekkah justru berkumpul di tengah jalan untuk mengganggu kepentingan kaum yang selama ini menindas mereka, yaitu Quraisy. Inilah salah satu hikmah besar di balik perjanjian Hudaibiyah yang mulanya dianggap merugikan kaum muslimin.
- Tersebarnya Islam di kabilah-kabilah Arab sekitar kota Madinah, dan ini menimbulkan rasa aman bagi kekuasaan pusat (Madinah) ketika hendak mengambil keputusan militer untuk mengirim pasukan secara besar-besaran ke luar kota.
- Adanya alasan utama untuk menaklukkan kota Mekkah, yaitu karena Quraisy telah melanggar konsekuensi dari perjanjian damai yang telah disepakati di Hudaibiyah.[6]
Dengan memperhatikan sepak terjang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam mendirikan Daulah Islamiyah, membangun masyarakat, mengirim
ekspedisi militer, dan memimpin sejumlah peperangan, maka kita dapat
mempelajari bagaimana cara beliau dalam menerapkan ajaran ‘menempuh
sebab-sebab’. Baik sebab-sebab yang bersifat material maupun spiritual.
Dalam penaklukan kota Mekkah, kita lihat secara jelas bagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha menyembunyikan rencana ini
serahasia mungkin sebelum memutuskan untuk berangkat. Hal ini beliau
maksudkan agar Quraisy tidak menyadari rencana besar tersebut, sehingga
mereka berkesempatan untuk menyiapkan kekuatan dalam menghadapi serbuan
kaum muslimin.
Secara garis besar, sebab-sebab yang beliau tempuh adalah sebagai berikut.
- Beliau merahasiakan rencana ini dari orang-orang terdekat beliau.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja menerapkan prinsip
‘rahasia mutlak’ bahkan kepada orang-orang terdekat seperti Abu Bakar
dan Aisyah, padahal keduanya adalah manusia-manusia yang paling beliau
cintai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana beliau sebenarnya,
tidak pula lokasi tujuan maupun pihak yang akan dihadapi. Hal ini
dibuktikan tatkala Abu Bakar Radhiyallahu anhu bertanya kepada Aisyah
Radhiyallahu anhuma tentang tujuan keberangkatan beliau, maka kata
Aisyah Radhiyallahu anhuma , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengatakan apa-apa kepada kami”.
Dari sini, terdapat pelajaran penting yang bisa dipetik oleh para
petinggi militer. Bahwa strategi militer harus dirahasiakan, bahkan dari
isteri-isteri mereka sendiri. Sebab boleh jadi isteri kita membocorkan
rahasia tersebut dengan maksud yang baik, sehingga tersebarlah rahasia
tersebut dan berantakanlah rencana yang telah disusun rapi.
- Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ekspedisi militer yang dipimpin oleh Abu Qatâdah ke daerah Bathni Izham.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebuah kompi pasukan yang
terdiri dari delapan orang sebelum keberangkatan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam ke Mekkah untuk menutupi maksud beliau yang
sesungguhnya. Hal ini dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dengan mengatakan,
“Ketika Rasûlullâh berniat menaklukkan kota Mekkah, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Abu Qatadah ibnu Rib’îy dalam pasukan
berjumlah delapan orang menuju Bathni Izham.[7]
Ini sengaja dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ada
yang menduga bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuju ke
sana dan agar berita ini tersiar. Mereka pun berangkat ke sana dan
ternyata tidak bertemu siapa-siapa. Mereka lalu kembali hingga tatkala
singgah di Dzi Khusyub,[8]
sampailah kabar kepada mereka bahwa Nabi dan para sahabatnya bergerak
menuju Mekkah. Mereka lantas menyusul pasukan induk hingga bertemu di
suatu tempat bernama as-Suqya.[9]
Ini merupakan manhaj Nabawi yang bijak dalam mengajarkan
kepada para panglima sepeninggal beliau, bahwa mereka wajib waspada dan
menempuh segala macam cara untuk mengaburkan pengamatan pihak musuh
terhadap rencana-rencana militer kaum muslimin, agar jihad mereka
berhasil dan mereka selamat dari perangkap musuh.[10]
- Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sejumlah mata-mata untuk mencegah bocornya informasi ke pihak musuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tim mata-mata untuk
mencari informasi di dalam kota Madinah maupun di luarnya, untuk
memastikan bahwa tidak ada informasi yang sampai ke pihak Quraisy.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja mengumpulkan sejumlah
orang yang memiliki relasi luas di antara kaumnya, lalu menugaskan Umar
bin Khatthab untuk mendatangi orang-orang tersebut dan berpesan kepada
mereka, “Jangan biarkan seorang pun yang tidak kalian kenal untuk lewat
di daerah kalian, namun tolaklah dia… kecuali orang yang hendak
berangkat ke Mekkah atau ke arah Mekkah, maka ia harus diwaspadai dan
ditanya”.[11]
- Doa beliau agar Allâh menyembunyikan rencana ini dari mata-mata Quraisy.
Setelah menempuh semua sebab manusiawi yang mampu beliau lakukan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menujukan harapan dan doanya
kepada Allâh agar Dia menutup penglihatan dan pendengaran mata-mata
Quraisy darinya. Dalam doanya yang khusyuk, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan:
اَللَّهُمَّ خُذْ عَلَى أَسْمَاعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ، فَلاَ يَرَوْنَا إِلاَّ بَغْتَةً وَلاَ يَسْمَعُونَ بِنَا إِلاَّ فَجْأَةً
Ya Allâh, tutuplah pendengaran dan penglihatan
mereka, sehingga mereka tidak melihat kami melainkan tiba-tiba, dan
tidak pula mendengar kedatangan kami melainkan mendadak.[12]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079 ]
_______Footnote
[1] Lihat Maghâzi al-Wâqidi (2/781-784) dan Sirah Ibnu Hisyâm (4/39).
[2] Sirah Ibnu Hisyâm (4/44) dan al-Bidâyah wan-Nihâyah (4/278).
[3] Lihat al-Mathâlibul ‘Âliyah (4/243 no 4361). Menurut Ibnu Hajar, riwayat ini mursal namun sanadnya shahîh.
[4] Lihat al-Bidâyah wan-Nihâyah (4/479) dan Sirah Nabawiyah, Ali Shallaabi, hlm. 448.
[5] Idem, hlm. 449.
[6] Lihat Sirah Nabawiyah, oleh Abi Faris, hlm. 401.
[7] Nama sebuah wadi (lembah) di Madinah, tempat berkumpulnya tiga wadi: Bath-han, Qanah, dan ‘Aqieq.
[8] Nama tempat yang berjarak satu marhalah (35 mil) dari kota Madinah ke arah Syam (utara).
[9] Sebuah tempat yang terletak di Wadil Qura. Lihat Thabaqât Ibnu Sa’ad (2/132).
[10] Lihat al-Qiyâdah al-‘Askariyah, hlm. 498.
[11] Lihat Maghâzi al-Wâqidi (2/796).
[12] Lihat al-Bidâyah wan-Nihâyah (4/282). Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dalâilun Nubuwwah (no 1758), dan disebutkan di sana bahwa Nabi mengucapkannya ketika Abu Sufyan berpaling dari beliau.