
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di
antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada
Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan
paling bagus dampaknya.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Ayat yang mulia ini mengandung pelajaran:
1. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai makna ulil amri. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu sebagaima diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad sahih, beliau berkata, “Mereka -yaitu ulil amri- adalah para pemimpin/pemerintah.”
Penafsiran serupa juga
diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dan yang lainnya. Sedangkan Jabir
bin Abdullah berkata bahwa mereka itu adalah para ulama dan pemilik
kebaikan.
Mujahid, Atha’, al-Hasan, dan Abul Aliyah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para ulama.
Mujahid juga mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah para sahabat.
Pendapat
yang dikuatkan oleh Imam asy-Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu
maksud ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah (lihat Fath al-Bari [8/106] pdf).
Oleh sebab itu an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat ini dengan judul ‘Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat’. Kemudian beliau menukilkan ijma’/konsensus para ulama tentang wajibnya hal itu (lihat Syarh Muslim [6/467]).
Adapun pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa
kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok tersebut; yaitu ulama maupun
umara/pemerintah. Dikarenakan kedua penafsiran ini sama-sama terbukti
sahih dari para sahabat (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235 dan 238] pdf)
2. Wajibnya menaati pemerintah muslim selama bukan dalam rangka maksiat. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Wajib
atasmu untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah,
dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau
bahkan ketika mereka itu lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di
atas kepentinganmu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/469])
3. Ketaatan kepada pemerintah muslim ini dibatasi dalam hal ketaatan/perkara ma’ruf saja, sedangkan dalam perkara maksiat maka tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib
atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa
yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia
diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/470]).
Demikian juga hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya
ketaatan itu hanya dalam perkara ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/471])
4. Kewajiban untuk mendengar dan taat kepada pemerintah muslim ini juga dibatasi selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata maka wajib untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka.
Adapun memberontak atau memeranginya -sezalim atau sefasik apapun mereka- maka tidak boleh selama dia masih muslim/tidak kafir (lihat Syarh Muslim [6/472-473], Fath al-Bari [13/11]).
Dalilnya adalah hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali
apabila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti
kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/473]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang
dimaksud dengan ‘kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas
kesalahannya itu’ adalah adanya dalil tegas dari ayat atau hadits sahih
yang tidak menerima ta’wil. Konsekuensinya, tidak boleh memberontak
kepada mereka apabila perbuatan mereka itu masih mengandung kemungkinan
ta’wil.” (Fath al-Bari [13/10]).
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “…
kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang
mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak
mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat apabila mereka mempunyai kemampuan yang memadai.
Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu maka janganlah
mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan maka -diduga
kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh
memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini
berdasarkan kaidah syari’at yang telah disepakati menyatakan bahwa;
‘tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang -menimbukkan
akibat- lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak
keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau
-minimal- meringankannya.’…” (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10)
5. Wajib bagi orang-orang yang mampu -dari kalangan ulama atau yang lainnya- untuk menasehati penguasa muslim yang melakukan penyimpangan dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun hal itu -menasehati penguasa- dilakukan tanpa menyebarluaskan aib-aib mereka di muka umum.
Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampakan hal itu
secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang
tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara
sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang
diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah
menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih, lihat al-Ma’lum, hal. 23, lihat juga perkataan asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarar yang dikutip dalam kitab ini hal. 44)
6. Wajibnya bersabar dalam menghadapi penguasa muslim yang zalim kepada rakyatnya.
Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan
dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan
ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan
yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]).
Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian
mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka
harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan
barangsiapa yang mengingkarinya -minimal dengan hatinya, pent- maka dia
akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan
tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485]).
Faedah: an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di
dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang
tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam,
akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu
atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti
kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Catatan Penting:
Sebagian orang terjerumus dalam
kesalahan dalam menyikapi penguasa muslim yang melakukan kekeliruan.
Mereka menganggap demokrasi adalah haram, bahkan termasuk kemusyrikan.
Karena di dalam konsep demokrasi rakyat menjadi sumber hukum dan kekuasaan ditentukan oleh mayoritas.
Di satu sisi mereka telah benar
yaitu mengingkari demokrasi yang hal itu termasuk dalam bentuk kekafiran
dan kemusyrikan, penjelasan lebih lengkap bisa dibaca dalam kitab Tanwir azh-Zhulumat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam –hafizhahullah-.
Namun, di sisi lain mereka telah melakukan kekeliruan yang sangat besar
yaitu serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada orang.
Biasanya mereka berdalil dengan ayat (yang artinya), “Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS.
al-Ma’idah: 44). Anggaplah demikian, bahwa mereka -yaitu pemerintah-
telah berhukum dengan selain hukum Allah -meskipun sebenarnya pernyataan
ini harus dikaji lebih dalam-, namun ada satu hal penting yang perlu diingat -dan perkara inilah yang mereka lalaikan- bahwa tidak semua orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu dihukumi kafir! Mereka juga berdalih dengan ucapan para ulama yang menyatakan ‘setiap orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah maka dia adalah thaghut’ (lihat al-Qaul al-Mufid [2/74]).
Berdasarkan itulah mereka
menyebut pemerintah negeri ini sebagai rezim thaghut dan kafir.Kemudian,
sebagai imbas dari keyakinan tersebut mereka pun mencaci-maki penguasa
dan menuduh orang-orang yang menyerukan ketaatan kepada penguasa sebagai
kelompok penjilat -sebagaimana tuduhan itu juga ditujukan kepada saya-,
bahkan mereka pun tidak segan-segan menggelari para ulama dengan
julukan ulama salathin, alias kaki tangan pemerintah, Allahul musta’aan.
Maka untuk menjawab kerancuan ini –dengan memohon taufik dari Allah– berikut ini kami ringkaskan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika
menjelaskan isi Kitab at-Tauhid: Yang dimaksud dengan berhukum dengan
selain hukum Allah yang dihukumi kafir dan murtad -sehingga layak untuk
disebut sebagai thaghut- adalah dalam tiga keadaan:
[1] Apabila dia meyakini bahwa
berhukum dengan selain hukum Allah -yang bertentangan dengan hukum
Allah- itu boleh, seperti contohnya: meyakini bahwa zina dan khamr itu
halal.
[2] Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah itu sama saja (sama baiknya) dengan hukum Allah.
[3] Apabila dia meyakini bahwa
selain hukum Allah lebih bagus daripada hukum Allah. Lalu, dia bisa
dihukumi zalim -yang tidak sampai kafir- apabila dia masih meyakini
hukum Allah lebih bagus dan wajib diterapkan namun karena kebenciannya
kepada orang yang menjadi objek hukum maka dia pun menerapkan selain
hukum Allah.
Demikian juga ia dikatakan fasik
-yang tidak kafir- apabila dia menggunakan selain hukum Allah dengan
keyakinan bahwa hukum Allah yang benar, namun dia melakukan hal itu
-berhukum dengan selain hukum Allah- karena faktor dorongan hawa nafsu,
suap, nepotisme dsb.
Kemudian beliau juga menjelaskan
bahwa tindakan orang yang mengganti syari’at dengan undang-undang buatan
manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk kekafiran akbar -yang saya
dengar dari ceramah Syaikh Abdul Aziz ar-Rays beliau telah rujuk dari
pendapat ini sebelum wafatnya-. Meskipun demikian, orang yang
memberlakukan undang-undang ini tidak serta merta dikafirkan. Seperti
misalnya, apabila dia menyangka bahwa sistem yang diberlakukannya itu
tidak bertentangan dengan Islam, atau dia menyangka bahwa hal itu
termasuk urusan yang diserahkan oleh Islam kepada manusia, atau dia
tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk kekafiran
(lihat al-Qaul al-Mufid [2/68-69 dan 71]).
Dengan menyimak keterangan beliau
di atas jelaslah bagi kita bahwa tindakan sebagian orang yang dengan
mudahnya mengkafirkan penguasa negeri ini –semoga Allah membimbing mereka- serta menjuluki mereka sebagai rezim thaghut adalah sebuah tindakan serampangan dan tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Bahkan,
kalau diteliti lebih jauh ternyata mereka itu telah terjangkiti virus
pemikiran Khawarij gaya baru yang menebar kekacauan berkedok jihad, subhanallah.
sumber: http://abumushlih.com/kewajiban-menaati-ulil-amri.html/
Sumber: https://aslibumiayu.net/5442-apa-sih-definisi-ulil-amri-apakah-pemerintah-indonesia-bukan-ulil-amri-bagi-yang-belum-paham-makna-ulil-amrisilahkan-dibaca.html