
Apa yang dimaksud menjadi kubur sebagai masjid?
Ingatlah, menjadikan masjid di atas kubur dan menjadikan kubur sebagai masjid termasuk sesuatu dosa yang dilaknat.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika sakit saat menjelang kematian beliau,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
“Allah melaknat Yahudi dan Nashrani, karena mereka menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari, no. 1330; Muslim, no. 529)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
وَلَوْلاَ ذَلِكَ لأَبْرَزُوا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّى أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
“Seandainya bukan karena alasan itu tentu kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah ditampakkan di luar rumah. Namun karena khawatir saja kubur
beliau dijadikan masjid.” (HR. Bukhari, no. 1330; Muslim, no. 529)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Tidak boleh membangun masjid di atas kubur karena seperti itu
adalah wasilah (perantara) menuju kesyirikan dan dapat mengantarkan pada
ibadah kepada penghuni kubur. Dan tidak boleh pula kubur dijadikan
tujuan (maksud) untuk shalat. Perbuatan ini termasuk dalam menjadikan
kuburan sebagai masjid. Karena alasan menjadikan kubur sebagai masjid
ada dalam shalat di sisi kubur. Jika seseorang pergi ke pekuburan lalu
ia shalat di sisi kubur wali –menurut sangkaannya-, maka ini termasuk
menjadikan kubur sebagai masjid. Perbuatan semacam ini terlaknat
sebagaimana laknat yang ditimpakan pada Yahudi dan Nashrani yang
menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid” (Al-Qaul Al-Mufid, 1: 404).
Kami pernah mengajukan pertanyaan pada guru kami, Shalih Al-Fauzan hafizahullah
mengenai kasus suatu masjid, yaitu masjid tersebut terdapat satu
kuburan di arah kiblat namun di balik tembok, di mana kuburan tersebut
masih masuk halaman masjid, bagaimana hukum shalat di masjid semacam
itu?
Jawaban beliau hafizahullah, “Jika kuburan tersebut masih
bersambung (muttashil) dengan masjid (artinya: masih masuk halaman
masjid), maka tidak boleh shalat di masjid tersebut. Namun jika kuburan
tersebut terpisah (munfashil), yaitu dipisah dengan jalan misalnya dan
tidak menunjukkan bersambung dengan masjid (artinya bukan satu halaman
dengan masjid), maka boleh shalat di masjid semacam itu”. (Durus Syaikh
Shalih Al-Fauzan, Al-Muntaqa).
Syaikh Shalih Al-Munajjid hafizahullah mengungkapkan, “Sudah
dimaklumi bahwa siapa saja yang shalat di sisi kubur, maka ia telah
menjadikan kubur sebagai masjid. Siapa saja yang membangun masjid di
atas kubur, berarti ia telah menjadikannya sebagai masjid. Oleh
karenanya, wajib menjauhkan kubur dari masjid. Jangan sampai di dalam
masjid itu terdapat kubur karena ini demi menjalankan perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini juga demi menjauhkan diri dari laknat Allah yang dikenakan pada
orang yang membangun masjid di atas kubur. Karena jika seseorang
melaksanakan shalat di masjid yang ada kubur, setan menghiasi dirinya
untuk berdoa pada mayit, atau meminta tolong (istighatsah) padanya, atau
shalat dan sujud menghadapnya, inilah yang membuatnya terjatuh pada
syirik akbar. Karenanya, perbuatan semacam ini adalah perbuatan Yahudi
dan Nashrani. Wajib bagi kita menyelisihi mereka dan menjauhi dari jalan
beragama mereka, juga menjauh dari amal mereka yang jelek.
Akan tetapi, jika kubur yang ada lebih dahulu barulah masjid, maka
masjid yang dihancurkan karena masjid itu baru. Inilah yang disebutkan
oleh para ulama dengan tujuan supaya terhalang dari terjerumus dalam
syirik akbar. Hanya Allah yang memberi taufik.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Al-Jawab, no. 21394)
Bagaimana dengan kubur Nabi yang berada di Masjid Nabawi?
Cukup, syubhat di atas dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berikut ini:
- Masjid Nabawi tidaklah dibangun di atas kubur. Bahkan yang benar, masjid Nabawi dibangun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di kubur di masjid sehingga bisa disebut dengan orang shalih yang di kubur di masjid. Yang benar, beliau dikubur di rumah beliau.
- Pelebaran masjid Nabawi hingga sampai pada rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah ‘Aisyah bukanlah hal yang disepakati oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Perluasan itu terjadi ketika sebagian besar sahabat telah meninggal dunia dan hanya tersisa sebagian kecil dari mereka. Perluasan tersebut terjadi sekitar tahun 94 H, di mana hal itu tidak disetujui dan disepakati oleh para sahabat. Bahkan ada sebagian mereka yang mengingkari perluasan tersebut, di antaranya adalah seorang tabi’in, yaitu Sa’id bin Al-Musayyib. Beliau sangat tidak ridho dengan hal itu.
- Kubur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di masjid, walaupun sampai dilebarkan. Karena kubur beliau di ruangan tersendiri, terpisah jelas dari masjid. Masjid Nabawi tidaklah dibangun dengan kubur beliau. Oleh karena itu, kubur beliau dijaga dan ditutupi dengan tiga dinding. Dinding tersebut akan memalingkan orang yang shalat di sana menjauh dari kiblat karena bentuknya segitiga dan tiang yang satu berada di sebelah utara (arah berlawanan dari kiblat). Hal ini membuat seseorang yang shalat di sana akan bergeser dari arah kiblat. (Al-Qaul Al-Mufid, 1: 398-399)
Semoga Allah menunjuki kita pada jalan yang lurus.
—Senin sore, 8 Muharram 1438 H @DarushSholihin, Panggang, Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal