Sering kita dengar para ahli ilmu
memperingati kita dari hal-hal yang disifatkan oleh mereka “Bid’ah”.
Sering mereka memperingatkan kita, bahwa
jangan mengamalkan amalan itu, bahwa itu bid’ah, bahwa itu bid’ah.
Dan sering sekali timbul di dalam
benak kita pertanyaan. Apakah segala sesuatu
yang tidak ada contohnya dari
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam maka harus kita hukumkan bid’ah?
Dan selalukah yang namanya bid’ah demikian
terlarang dan sesat? Dan kapan menghukumi
sesuatu itu adalah bid’ah yang memang
sesat dan terlarang? Kapan menghukumi sesuatu bahwa itu adalah itu adalah bid’ah yang memang di perbolehkan?
Yang perlu kita ketahui bahwa yang
dihukumkan bid’ah oleh para ulama adalah hal-hal yang memiliki
keterkaitan dengan agama. Misalnya, dari sisi bentuk-bentuk ritual,
ibadah dan lain-lain atau bentuk-bentuk keyakinan, aqidah dan lain-lain. yang tidak
ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal-hal
demikianlah yang sering dihukumi para ulama dengan hukum bid’ah.
Bukankah banyak hal yang berkaitan
juga dengan agama, namun tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam namun kita tidak menghukumi bid’ah seperti penggunaaan teknologi dan
lain-lain untuk berdakwah. Misalnya mikrofon
untuk berdakwah, untuk mengkumandangkan adzan dan lain-lain. Atau penggunaan pesawat terbang untuk
pergi haji atau umroh dan lain-lain, ini
hal-hal yang ada keterkaitanya dengan agama namun tidak di contohkan
oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah
ini juga kita hukumi bid’ah?
Maka coba kita fahami hal ini dengan
kaidah yang indah yang disampaikan oleh Syaikh Zaid Ruslan
hafidzallah tentunya dari kitab-kitab para ulama salaf rohimakumullah
dihimpunnya hal ini seperti kitab Al-Imam Asy Syathibi rohimahumullah
yang berjudul Al I’tishom dan lain-lain.
Ada tiga sifat yang kita harus nilai
pada suatu hal sehingga kita dapat menghukumnya apakah hal itu bid’ah atau
tidak:
1. Apakah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mampu melakukannya?
2. Adakah kondisi atau
situasi pada masa Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam yang mendorong untuk melakukan hal tersebut?
3. Adakah riwayat dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menegaskan
dengan shahih bahwasanya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, melakukan hal itu
sedemikian rupa?
Coba kita pahami kaidah ini. Hukumkan
sesuatu hal yang kita hukumkan bid’ah.
Misalkan : mengirimkan bacaan
Al-fatihah untuk yang meninggal. Maka bagaimana menghukumkannya? Coba lihat.
· Apakah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mampu membaca Al-fatihah? Tentunya jawabannya adalah mampu,
· Adakah situasi dan kondisi yang
menuntut Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengirimkan
Al-fatihah kepada individu-individu tertentu? Tentunya ada. Para
sahabat yang mati berjuang membela Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sahabatnya sepantasnyalah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan
Al-fatihah kepada mereka sebagai bentuk kemuliaan Rasul kepada mereka. Setelah
itu semua adakah ada.
· Adakah atsar, riwayat yang shahih
bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan Al-fatihah
kepada mereka? Maka jawabannya adalah tidak ada Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. Maka kita hukumi hal tersebut, ibadah
tersebut sama dengan bid’ah.
Demikian pula membacakan yasin untuk
yang telah meninggal pada hari-hari tertentu, pada hari ketujuh, hari ke empat
puluh setelah meninggalnya seseorang. Bagaimana kita menghukumi hal ini kembali
dengan kaidah yang tadi:
· Apakah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mampu membacakan Yasin? Tentunya Ya. Rasul
mampu membaca surat Yasin.
· Apakah ada orang-orang yang pantas
Rasul yasinin/bacakan atasnya surat yasin setelah mereka mereka meninggal?
Tentunya Iya. Para sahabat ridwanallaha ‘alaihim ajmain yang
mati membela agama ini, membela Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
dakwah ini.
· Adakah riwayat shahih yang mengatakan
bahwa Rasul membacakan yasin untuk mereka? Maka jawabannya Tidak ada sama
sekali. Apalagi membacakan yasin di hari-hari tertentu, seperti hari
ketujuh, hari ke empat puluh, hari seratus kematian, maka kita
hukumkan hal tersebut bid’ah.
Namun ada beberapa kasus yang dimana
kita hukumkan hal itu tidaklah menjadi bid’ah yang kita larang dalam artian bid’ah dari sisi bahasa, hal
yang baru. Namun di perbolehkan, dikarenakan tidak melanggar kaidah dan
ketetapan-ketetapan agama.
Contohnya:
Kita bicarakan tentang misalnya mikrofon
yang digunakan untuk adzan (mengkomandangkan adzan) terapkan tadi 3 syarat
tadi:
· Yang pertama, apakah Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya mampu membuat mikrofon? Maka
jawabanya adalah tidak karena keterbatasan teknologi yang ada
pada saat itu.
· Maka hal tersebut tidaklah kita
hukumkan bid’ah. Karena kenapa? Itu bukan hal yang kita bahas, yang kita sedang
bahas dan kita hukumkan bid’ah adalah hal-hal yang Rasul dan para sahabatnya
mampu melakukannya….
Begitu pun pesawat terbang
yang kita gunakan untuk perjalanan umroh atau haji, apakah
itu menjadi bid’ah apabila kita mau murni mengikuti Rasul dan para sahabatnya? Bukankah
kita harus menaiki onta ke mekkah untuk menjalankan umroh kita atau haji kita?
Maka hukumkan dengan kaedah tadi…
· Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan para sahabatnya mampu membuat pesawat terbang? Tentu
jawabannya adalah tidak.
· Maka ini bukanlah hal yang sedang
kita bahas, ini diluar pembahasan kita. Teknologi
kemajuan zaman diperbolehkan oleh Allah didalam syaria’atnya apabila hal
tersebut tidak melanggar kaedah-kaedah, ketetapan-ketetapan yang ada. Tidak
terjadi di dalamnya penipuan, tidak terjadi di dalamnya kedzoliman, tidak
terjadin di dalamya mudharat dan lain-lain. Yang ada malah mempermudah usaha
manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatan, maka hal-hal tersebut diperbolehkan…
Kemudian ada beberapa jenis amalan
yang kedua, yang apabila Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya
pastik mampu, namun Rasulullah tidak lakukan, dan kita pada zaman sekarang
melakukannya tetapi kita tidak menghukumi bid’ah.
Contohnya: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata kepada umul mukminin ‘aisyah Radhiallahu
'anhu,
لولا حِدْثانُ قومِكِ بالكفرِ لَهدَمْتُ الكعبةَ وبنيتها على قواعد
إبراهيم
“Kalau bukan
karena kaummu baru saja kafir kemarin (yakni belum lama mereka berada di islam,
belum terlau kuat aqidah mereka) niscaya aku akan hancurkan ka’bah dan aku
kembali bangun sesuai dengan pondasinya Nabi Ibrahim 'Alaihi salaam”
Dimana Nabi Ibrahim 'Alaihi
salaam membuat ka’bah jauh lebih besar bentuknya dibandingkan ka’bah yang
ada zaman rasul dikarenakan pada saat itu ka’bah hancur dan di bangun kembali
oleh kaum Quraisy namun kekurangan dana akhirnya mereka membangunnya lebih
kecil dari pondasi yang dibuat oleh nabi Ibrahim 'Alaihi salaam Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menahannya untuk melakukan hal tersebut, karena menghindari
kemudharotan yang lebih besar.
Kemudian dilakukanlah sepeninggal
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang pertama oleh Abdullah
ibnu Zubair Radhiallahu 'anhu ketika dia menjadi khalifah di
Mekkah, dia memutuskan menghancurkan ka’bah dan membangun kembali sesuai dengan
pondasi Nabi Ibrahim 'Alaihi salaam, meneruskan apa yang Rasul niatkan
dimasa hidupnya.
Begitu pun banyak hal lain seperti
yang kita kenal dengan nama Jumroh. Pada zaman dahulu kala Jumroh tersebut
hanya sebuah tiang dan sekarang jumroh tesebut berupa tembok bangunan yang
megah. Terbayangkah apabila kita paksakan satu tiang ini tetap kita gunakan
untuk jumlah kaum muslimin yang ada dan melaksanakan haji sekarang. Apa yang
terjadi? Maka mudhorot yang lebih besar akan terjadi. Maka ini tidaklah kita
hukumi bid’ah.
Semoga kaidah-kaidah yang kita
sampaikan ini dapat membuat atau dapat membantu kita memahami agama ini dengan
baik.
_____________
Sumber: http://catatankajian.com/1571-kapan-jadi-bidah-ustadz-riyadh-bin-badr-bajrey.html
Sumber: http://catatankajian.com/1571-kapan-jadi-bidah-ustadz-riyadh-bin-badr-bajrey.html
Dengan
sedikit perubahan redaksi, karena bersumber dari suatu ceramah
lisan.