Prof. Dr. Muhamad (Guru Besar pada STIES Hamfara, Yogyakarta)
Uang
yang kita kenal sekarang adalah hasil perkembangan panjang, sepanjang
peradaban manusia. Ketika belum mengenal pertukaran, setiap orang
berusaha memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri. Berburu jika
lapar datang. Membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan sederhana.
Mencari buah-buahan untuk dikonsumsi sendiri. Singkatnya, yang
diperoleh itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi
kemudian yang dibuat sendiri tidak cukup untuk memenuhi seluruh
kebutuhan. Lalu dicarilah barang-barang lain yang tidak dapat
dihasilkan sendiri, dari orang lain yang bersedia menukarkan barang
miliknya dalam sistem barter. Namun sistem ini ada batasnya, sehingga
muncul keinginan memakai benda tertentu sebagai alat tukar. Benda itu
harus diterima secara umum (generally accepted), bernilai
tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan
mistik), atau benda kebutuhan primer seperti garam. Benda yang
dianggap indah dan bernilai seperti kerang juga pernah dijadikan
sebagai alat tukar sebelum manusia menemukan uang logam.
Meskipun
alat tukar sudah ada, tapi tetap muncul kesulitan dalam pertukaran.
Antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum
mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan dan
pengangkutan sulit dilakukan. Timbul pula kesulitan akibat kurangnya
daya tahan benda-benda itu karena mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar
karena memiliki nilai tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan
tidak mudah rusak, tidak mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan
mudah dipindah-pindahkan. Logam sebagai alat tukar karena memenuhi
syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam
emas dan perak juga disebut uang penuh (full bodied money).
Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai
nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Saat itu,
setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan
mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Seiring
perekonomian berputar, tukar-menukar dengan uang logam menigkat. Timbul
anggapan stok logam (emas dan perak) akan terbatas bila trasaksi
meningkat terus. Apalagi jika nanti transaksinya dalam jumlah besar.
Diciptakanlah uang kertas. Mula-mula uang kertas yang
beredar merupakan bukti-bukti kepemilikan emas dan perak sebagai
alat/perantara untuk bertransaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang
beredar saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau
perak yang disimpan di gudang pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu
uang kertas tersebut dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya (emas
atau perak). Selanjutnya masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara
langsung) sebagai alat pertukaran, dan menjadikan
“kertas-bukti” tersebut sebagai alat tukar.
Uang dalam Ilmu Ekonomi
Para
ahli ekonomi modern setuju bahwa penciptaan mata uang merupakan
peristiwa sangat signifikan dalam sejarah ekonomi umat manusia. Pada
sisi komersial dan eksistensi sosial masyarakat, uang
merupakan hasil ciptaan esensial, di mana segala sesuatunya berpijak
pada dasar itu. Uang memiliki berbagai fungsi yang berbeda.
Seperti sebagai alat tukar nilai, medium pertukaran, nilai simpanan dan
standar pembayaran tertunda. Dalam pandangan ahli ekonomi, fungsi uang
sebagai medium pertukaran merupakan paling penting. Sebagaimana
pernyataan Crowther: “Uang harus difungsikan sebagai alat
pengukur nilai, medium pertukaran dan simpanan kekayaan. Dapat
disimpulkan, uang adalah alat tukar/sehingga bisa ditentukan nilai
suatu transaksi.
Uang dalam Ilmu
Ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang
dapat diterima secara umum. Dapat berupa benda apa pun yang dapat
diterima setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran
barang dan jasa. Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan
sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat
pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan
berharga lain serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga
menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan
uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah
daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien dan kurang
cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang
yang memiliki keinginan sama untuk melakukan pertukaran dan juga
kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi akibat menggunakan uang pada
akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang
kemudian akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Pada
awalnya, di Indonesia, uang — dalam hal ini uang kartal
— diterbitkan pemerintah Republik Indonesia. Namun sejak ada
UU No. 13/1968 pasal 26 ayat 1, hak pemerintah mencetak uang dicabut.
Pemerintah kemudian menetapkan Bank Indonesia sebagai satu-satunya
lembaga yang berhak menciptakan uang kartal. Hak untuk menciptakan uang
disebut hak oktroi.
Syarat Benda sebagai Uang
Suatu
benda dapat dijadikan sebagai “uang” jika memenuhi
syarat-syarat tertentu. Pertama, benda itu diterima secara umum (acceptability).
Agar dapat diakui sebagai alat tukar umum, suatu benda harus memiliki
nilai tinggi atau — setidaknya — dijamin keberadaannya
oleh pemerintah yang berkuasa. Bahan uang juga harus tahan
lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity). Uang juga harus mudah dibawa, portable, dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value).
Fungsi Uang
Fungsi
uang dibedakan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan. Fungsi
asli uang adalah sebagai alat tukar, satuan hitung dan penyimpan
nilai.
Sebagai alat tukar atau medium of exchange, uang
dapat mempermudah pertukaran. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan
cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. Sebagai
satuan hitung (unit of account),
uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam
barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan
menghitung besar-kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk
menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan
hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
Sebagai alat
penyimpan nilai (valuta),
uang dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa
sekarang ke masa mendatang. Seorang penjual saat ini menerima sejumlah
uang sebagai pembayaran atas barang dan jasanya, maka ia dapat
menyimpan uang tersebut untuk membeli barang dan jasa di masa
mendatang. Fungsi turunan uang antara lain sebagai alat pembayaran yang
sah, alat pembayaran utang, alat penimbun kekayaan, alat pemindah
kekayaan dan alat pendorong kegiatan ekonomi
Menurut Bahan Pembuatannya
Dilihat
dari bahan pembuatannya, ada uang logam dan uang kertas.
Uang logam terbuat dari logam. Biasanya
dari emas atau perak karena memiliki nilai yang
cenderung tinggi dan stabil, bentuknya mudah dikenali, sifatnya yang
tidak mudah hancur, tahan lama, dan dapat dibagi menjadi satuan yang
lebih kecil tanpa mengurangi nilai.
Uang
logam memiliki tiga macam nilai. Pertama, nilai intrinsik: nilai
bahannya. Misalnya, berapa nilai emas dan perak yang digunakan
untuk mata uang. Kedua, nilai nominal: nilai yang tercantum pada
mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misal, seratus
rupiah (Rp 100), atau lima ratus rupiah (Rp 500). Dan ketiga, nilai
tukar: kemampuan uang untuk ditukarkan dengan barang (daya beli uang).
Misal, uang Rp 500 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen, Rp
10.000 dengan semangkuk bakso.
Ketika
pertama kali digunakan, uang emas dan uang perak dinilai berdasarkan
nilai intrinsiknya. Yaitu kadar dan berat logam yang terkandung di
dalamnya. Semakin besar kandungan emas atau perak di dalamnya, semakin
tinggi nilainya. Tapi saat ini, uang logam tidak dinilai dari berat
emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal adalah nilai yang
tercantum atau tertulis di mata uang tersebut.
Uang
kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar
dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah.
Menurut penjelasan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang
dimaksud uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat
dari bahan kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).
Dinar-Dirham
Jika
mendengar Dinar dan Dirham, selalu dikaitkan dengan investasi emas.
Tetapi sesungguhnya Dinar Dirham bukanlah alat investasi. Melainkan
alat pembayaran sebagaimana fungsi aslinya.
Dinar dan Dirham pernah dibuat dan berlaku di Indonesia
sebagai mata uang resmi. Ya, sejak abad ke-14, nenek moyang kita telah
akrab dengan kedua jenis mata uang ini. Dinar dan Dirham
pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar wilayah Nusantara.
Antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik,
Gowa, dan Kepulauan Maluku.
Pada 700 tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation,
ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam
perekonomian. Beliau menjelaskan fungsi uang adalah sebagai alat untuk
melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran
tersebut. Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi
dapat merefleksikan semua warna. Sehingga apabila fungsi uang sudah
berubah dari esensi dasarnya, akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan
deflasi. Nilai intrinsik sebuah mata uang sudah tidak sesuai, sehingga
mengakibatkan terjadinya permainan dan kolusi.
Dalam
sejarah Islam, belum pernah terjadi krisis seperti sekarang. Mata uang
memang relatif stabil manakala nilainya masih disandarkan
pada emas. Sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga
Dinasti Ustmaniyah, hanya dikenal uang emas dan perak. Uang kertas
tidak dikenal sama sekali. Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan
dicetak oleh kekaisaran Romawi. Kata Dinar berasal dari kata Denarius (bahasa Romawi Timur), dan Dirham berasal dari kata Drachma (bahasa Persia). Kemudian bangsa Arab mengadopsinya untuk dijadikan sistem mata uang mereka. Dan sepanjang kehidupannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merekomendasikan perubahan apa pun terhadap mata uang. Artinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini.
Dalam
prosesnya memang terjadi perubahan. Misal pada masa Umar perputaran
mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu. Beliau hanya mengubah dengan pemberian gambar tambahan bertuliskan “Alhamdulillah” dan di baliknya bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. Setiap 10 Dirham beratnya 4 mitsqal. Beliau
sempat mencetaknya sampai akhir masa jabatannya. Namun belum sempat
mencetak uang Dinar yang lain. Kemudian di masa Khalifah Abdul Malik
bin Marwan, dia mencetak mata uang baru Dinar dan Dirham di bawah
pengawasan pemerintah. Dengan bentuk dan karakteristik pencetakan
islami dan penggunaan Dinar dan Dirham ini berakhir seiring dengan
runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada 1924 bersamaan dengan
berakhirnya Perang Dunia I.
Secara
alamiah, transaksi di daerah Mesir atau Syam menggunakan Dinar sebagai
alat tukar. Sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan Dirham.
Meluasnya peyebaran Islam ke wilayah kekaisaaran Persia (Irak, Iran,
Bahrain dan Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir dan
Andalusia) menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ’anhu,
Dinar dan Dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan. Dinar
dan Dirham dinilai mempunyai nilai yang tetap. Karena itu, tidak ada
masalah dalam perputaran uang.
Dijadikannya
uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari transaksi yang
merusak. Tanpa adanya nilai dasar suatu barang akan sulit menentukan
nilai suatu barang. Misalnya barter bisa mengundang niat buruk ke dalam
berbagai macam transaksi. Dampak “yang merusak moral” boleh
jadi merupakan alasan mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindari
barter. Baik Dinar maupun Dirham disebutkan secara spesifik dalam
Al-Quran: Dinar emas mengacu pada nilai tukar yang besar, sedangkan
Dirham perak mengacu pada nilai tukar yang lebih kecil. Bersamaan
dengan berakhirnya Daulah Utsmani, Dinar dan Dirham, serta Fulus, turut
hilang dari peredaran dalam masyarakat.
Akibatnya,
berbagai macam ketentuan dalam syariat Islam, seperti kewajiban
berzakat, ketentuan diyat dan hudud, serta sunnah seperti
pembayaran mahar, sedekah, maupun ketentuan dalam muamalat (shirkat,
qirad) tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Akibat lain hilangnya
Dinar dan Dirham adalah masyarakat terus-menerus menanggung akibat
merosotnya nilai alat tukar uang kertas yang diberlakukan saat ini.
Kemiskinan menjadi fenomena umum akibat inflasi yang tiada henti.
Berkali-kali, sepanjang zaman modern pada abad ke-20 sampai memasuki
abad ke-21, kita dihadapkan dengan apa yang disebut ”Krisis
Moneter”, yang tak lain akibat sistem uang kertas yang sepenuhnya
berbasis pada riba.
Dinar-Dirham Nilainya Stabil
Nilai
Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu ke waktu. Secara praktis dalam
kehidupan sehari-hari Dinar dan Dirham, demikian halnya Fulus –
yang meski terbuat dari tembaga tapi karena nilainya diikat dengan
Dirham perak, memberikan keuntungan karena bebas inflasi. Dalam
semua mata uang kertas, kurs Dinar emas dan Dirham perak naik dari
tahun ke tahun. Sebagai contoh, kita bandingkan Dinar emas dengan dolar
AS dalam satu dekade terakhir. Nilai 1 Dinar emas pada 2000 sebesar 38
dolar AS dan pada 2011 (Januari) 190 dolar AS. Berarti ada kenaikan 150
dolar AS atau 395% selama 11 tahun atau rata-rata 36% per tahun.
Implikasi
dari kenaikan nilai yang terus menerus adalah biaya dan harga barang
dan jasa dalam Dinar emas akan stabil, bahkan turun. Sekadar contoh
pada harga semen (di Jakarta). Pada 2000 nilai tukar 1 Dinar emas
sekitar Rp 400.000, harga satu zak semen sekitar Rp 20.000, maka 1
Dinar emas dapat dibelikan 20 zak semen. Pada 2011 (Januari) harga satu
zak semen yang sama menjadi sekitar Rp 50.000/zak, sedangkan nilai
tukar Dinar emas Rp 1.690.000. Maka 1 Dinar emas pada awal 2011 dapat
dibelikan 32 zak semen. Dengan kata lain, harga semen/zak dalam kurun
2000-2010 dalam rupiah naik 150% tetapi dalam Dinar emas justru menurun
(-) 40%! Contoh lain yang penting bagi umat Islam Indonesia adalah
Dinar emas dan Dirham perak dapat digunakan untuk membayar biaya ibadah
haji. Ongkos naik hanya cenderung naik dalam rupiah, tetapi turun kalau
dinilai dengan Dinar emas.
Dinar
emas dan Dirham perak merupakan alat tukar paling stabil. Sejak awal
sejarah Islam sampai saat ini, nilai mata uang Islam yang didasari mata
uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan
dengan bahan makanan pokok. Dulu harga seekor ayam pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah
1 Dirham perak, dan saat ini, 1.400 tahun kemudian, harganya tetap 1
Dirham. Selama 1.400 tahun nilai inflasinya nol (0). Dapatkah kita
melihat hal yang sama terhadap dolar AS atau mata uang lainnya selama
25 tahun terakhir ini?
Untuk standardisasi berat Dinar emas dan Dirham perak mengikuti hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah.” (HR.
Abu Daud). Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab sekitar 642 M,
bersamaan dengan pencetakan uang Dirham pertama di kekhalifahan,
standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan: berat 7
Dinar emas sama dengan berat 10 Dirham perak.
Saatnya Dinar Dirham Kembali sebagai Alat Tukar
Sejak
1992, kalangan cendekia telah mengupayakan pemakaian kembali Dinar emas
dan Dirham perak, juga Fulus. Baik untuk keperluan pembayaran zakat
maupun bermuamalat. Sejak 2002, Dinar emas dan Dirham perak juga telah
mulai beredar dan digunakan kaum Muslim di Indonesia.
Seperti
dijelaskan di awal, Islam yang menekankan Dinar emas dan Dirham perak
pada berat dan kadarnya, bukan pada tulisan atau jumlah/ukuran/bentuk
keeping, maka berat dan kadar emas untuk Dinar serta berat dan kadar
perak untuk Dirham produksi Logam Mulia di Indonesia saat ini memenuhi
syarat untuk kita sebut sebagai Dinar dan Dirham Islam zaman sekarang.
Pemikiran kembali kepada Dinar dan Dirham, merupakan sesuatu yang tidak
mustahil. Hal ini mengingat saat ini pun posisi dolar terhadap euro
kian memperlihatkan betapa hegemoni dolar AS yang selama ini kokoh
mulai kehilangan mahkotanya. Sehingga apa yang dulu dikatakan bahwa
dolar AS sebagai mata uang paling sakral di dunia – In God We Trust – kini kian lenyap nilai kesakralannya.
Hal
ini didasari bahwa uang yang sekarang berlaku tidak sesuai dengan nilai
intrinsiknya lagi. Ibnu Taimiyyah mempunyai pengalaman beberapa kali
turunnya nilai mata uang koin yang terjadi di Mesir di bawah
pemerintahan sejumlah sultan dari Dinasti Mamluk. Ia meminta sultan
untuk memeriksa penyebab menurunnya nilai uang tersebut, yang
mengakibatkan kekacauan ekonomi. Ia sangat menentang penurunan nilai
mata uang, juga pencetakan mata uang yang terlalu banyak. Dia
mengatakan: “Otoritas pemerintah harus mencetak mata uang koin
(emas atau perak) sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari
penduduk, tanpa keterlibatan kezaliman di dalamnya.”
Sejumlah
pertanyaan yang dikutip di atas menunjukkan bahwa ia sangat
mempertimbangkan pentingnya nilai intrinsik mata uang koin, sesuai
nilai logamnya, sehingga sesuai kekuatan jual-beli di pasar, di mana
tak seorang pun (termasuk penguasa) mencari keuntungan dengan melebur
koin itu, menjualnya dalam bentuk logam atau mengubah metal itu menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang.
Ibnu
Taimiyyah juga menyebutkan suatu pikiran bahwa di Barat seperti dianut
oleh Thomas Gresham pada 1857 dan kemudian lazim disebut Hukum Gresham,
secara sederhana menyebutkan bahwa jika dua buah mata uang koin
memiliki nilai nominal sama, tetapi dibuat dari logam tak sama nilai
(intrinsiknya), uang koin dari bahan yang lebih murah akan
menyingkirkan yang lain dalam peredaran. Mata uang koin logam yang
lebih baik akan ditimbun, dilebur atau diekspor, karena dianggap lebih
menguntungkan, khususnya mata uang dari logam campuran, ketika rasio
nilai mata uang yang dicetak berbeda dengan rasio pasar.
Berawal
dari fatwa penting akan sejarah mengenai pelarangan pemakaian uang
kertas oleh Syaikh Prof. Dr. H. Umar Ibrahim Vadillo pada 1991, yang
kemudian beliau memulai pencetakan Dinar emas dan Dirham perak pada
1992 dan mendirikan World Islamic Mint (WIM). Kini timbul pemikiran
bagaimana dalam perdagangan di dunia Islam diberlakukan standar mata
uang Dinar emas dan Dirham perak sebagai nilai tukar, guna mengimbangi
kekuatan dolar, euro serta untuk menghindari transaksi-transaksi maya
di pasar uang yang mengakibatkan krisis. (PM)