Secara umum, kita dianjurkan untuk berhias dan berpenampilan yang sempurna ketika hendak shalat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31).
As Sa’di menjelaskan ayat ini:
استروا
عوراتكم عند الصلاة كلها، فرضها ونفلها، فإن سترها زينة للبدن، كما أن
كشفها يدع البدن قبيحا مشوها. ويحتمل أن المراد بالزينة هنا ما فوق ذلك من
اللباس النظيف الحسن
“Maksudnya:
tutuplah aurat kalian ketika hendak melakukan semua shalat, baik yang
fardhu maupun yang sunnah. Karena menutup aurat itu memperindah raga,
sebagaimana membuka aurat itu membuat raga tampak buruk dan jelek. Dan
termasuk dalam kandungan ayat juga, bahwa makna az zinah di sini adalah
yang lebih dari sekedar menutup aurat, yaitu pakaian yang bersih dan
bagus”1.
Anjuran menutup kepala ketika shalat
Dan
di antara bentuk berhias ketika hendak shalat yang dianjurkan pada
ulama kepada para lelaki adalah dengan memakai penutup kepala. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
وقد
سبق في أثر ابن عمر أنه قال لمولاه نافع: «أتخرجُ إلى النَّاس حاسرَ
الرَّأس؟ قال: لا، قال: فالله أحقُّ أن يُستحى منه» وهو يدلُّ على أن
الأفضل ستر الرأس
“Telah kami sampaikan sebuah atsar dari Ibnu Umar, beliau berkata kepada maula-nya, Nafi’:‘Apakah
engkau keluar menemui orang-orang dengan tanpa penutup kepala? Nafi’
berkata: Tidak. Ibnu Umar berkata: Sungguh malu kepada Allah adalah
lebih layak daripada kepada yang lain‘. Hal ini menunjukkan bahwa menutup kepada itu lebih afdhal” 2.
Memakai penutup kepala pada asalnya adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
para sahabat, para ulama dan orang-orang shalih, baik di luar atau di
dalam shalat. Beberapa riwayat menunjukkan hal ini, diantaranya:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ، فَمَسَحَ
بِنَاصِيَتِهِ ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ ، وَعَلَى الْخُفَّيْنِ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berwudhu, beliau mengusap ubun-ubunnya, mengusap imamahnya, dan mengusap khufnya” (HR. Bukhari 182, Muslim 274)
أنه كان يُصلِّي في العِمامة
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat dengan memakai imamah” (HR. Bukhari 205, Muslim 1359)
Namun anjuran memakai penutup kepala ketika shalat ini melihat pada ‘urf (kebiasaan)
masyarakat setempat. Jika masyarakat setempat biasa menggunakan penutup
kepala, maka lebih afdhal menggunakan penutup kepala. Namun
jika masyarakat setempat tidak biasa menggunakan penutup kepala, maka
ketika itu tidak dikatakan lebih afdhal. Karena dalam ayat di atas,
Allah Ta’ala menyebutkan زِينَتَكُمْ
(perhiasan kalian), maka yang dimaksud adalah segala sesuatu yang
dianggap sebagai perhiasan dan keindahan oleh orang-orang. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
إذا
طبَّقنا هذه المسألة على قوله تعالى:)يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ
عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ )(لأعراف: من الآية31) تبيَّن لنا أن ستر الرأس
أفضل في قوم يعتبر ستر الرأس عندهم من أخذ الزِّينة، أما إذا كُنَّا في
قوم لا يُعتبر ذلك من أخذ الزينة، فإنَّا لا نقول: إنَّ ستره أفضل، ولا
إنَّ كشفه أفضل
“Jika kita terapkan hal ini pada firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31). Akan jelas bagi kita bahwa menutup kepala itu lebih afdhal bagi
masyarakat yang menganggap penutup kepala itu sebagai penghias
penampilan. Namun jika kita berada di suatu masyarakat yang tidak
menganggap demikian maka tidak kita katakan bahwa memakai penutup
kepala itu afdhal, dan juga tidak dikatakan bahwa tidak memakainya itu afdhal” 3.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang hukum shalat tanpa memakai penutup kepala, beliau menjawab: “Tidak
mengapa, karena kepala tidak termasuk aurat. Yang wajib ketika shalat
adalah mengenakan kain yang menutupi pusar ke bawah dan kain yang
menutupi pundak hingga pusar. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء
‘Janganlah kalian shalat dengan satu kain saja sehingga pundak kalian tidak tertutup‘
Namun jika seseorang memperbagus pakaiannya (dengan penutup kepala) itu lebih afdhal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31)
Adapun
jika seseorang berada di suatu daerah yang di sana tidak biasa memakai
penutup kepada, maka tidak mengapa shalat tanpa penutup kepala” 4.
Demikian
juga jenis penutup kepala yang dipakai, apakah peci songkok, atau
ghutrah, atau imamah, atau peci bundar, atau surban, ini kembali kepada
‘urf (kebiasaan)
masyarakat setempat. Jika orang-orang shalih di masyarakat setempat
biasa menggunakan songkok, maka itulah yang sebaiknya digunakan. Dan
hendaknya tidak menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat dengan
menggunakan penutup kepala yang tidak biasa atau aneh di pandangan
masyarakat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya
mengenai hukum menggunakan imamah, penutup kepala dalam kebiasaan orang
arab, beliau berkata:
كان
يلبسها اتباعا للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن، ولهذا لم يأت
حرف واحد من السنة يأمر بها فهي من الأمور العادية التي إن اعتادها الناس
فليلبسها الإنسان لئلا يخرج عن عادة الناس فيكون لباسه شهرة، وإن لم
يعتدها الناس فلا يلبسها
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu
memakai imamah dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan
masyarakat setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu
huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah
termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan masyarakat.
Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan
masyarakat setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya
malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya” 5.
Hukum lelaki shalat tanpa penutup kepala
Shalat
seorang lelaki tanpa penutup kepala diperselisihkan para ulama
hukumnya. Sebagian ulama mengatakan hukumnya makruh tanzih.
Sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, ketika
mengomentari perkataan Sayyid Sabid yang mengatakan bahwa tidak ada
dalil keutamaan menggunakan penutup kepala dalam shalat. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan: “Menurut
hemat saya dalam permasalahan ini, shalat tanpa memakai penutup kepala
itu makruh. Karena setiap muslim dianjurkan ketika hendak shalat untuk
berpenampilan sebagus dan seislami mungkin, berdasarkan hadits yang
kami bawakan di awal kitab ini:
إنَّ اللهَ أحَقُّ أنْ يُتزَيَّنَ له
‘Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih layak daripada untuk yang lain‘ (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, 7/127).
Dan
tidak memakai penutup kepala bukan termasuk penampilan yang bagus
menurut kebiasaan para salaf, baik dalam perjalanan, di dalam dan di
luar rumah, juga di tempat-tempat ibadah. Bahkan kebiasaan tidak
memakai tutup kepala sebenarnya merupakan tradisi dari orang-orang di
luar Islam. Ide ini sengaja disusupkan ketika mereka mulai memasuki
negara-negara muslim. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk ini lalu
diikuti oleh umat Islam yang telah mengenyahkan jati diri mereka dan
tradisi Islam yang ada pada diri mereka. Inilah sebenarnya tujuan buruk
yang dipoles dengan sangat halus untuk merusak tradisi Islami yang ada
sejak dahulu. Sehingga hal ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai
alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala”. 6.
Sebagian
ulama mengatakan tidak mengapa (boleh) shalat tanpa penutup kepada.
Sebagaimana dikatakan Syaikh Abdul Aziz bin Baz di atas. Syaikh Shalih
Al Fauzan juga mengatakan: “tidak
wajib seorang laki-laki yang shalat untuk menutup kepalanya. Bahkan
boleh ia shalat tanpa penutup kepala. Karena kepala laki-laki bukanlah
aurat yang wajib ditutup. Namun menutup kepala itu merupakan bentuk
memperindah penampilan yang dianjurkan untuk dilakukan ketika hendak
shalat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31). Maka memperindah penampilan ketika shalat itu perkara yang dituntut dalam syariat” 7.
Pendapat ini yang lebih tepat insya Allah,
yaitu bahwa tidak mengapa (boleh) seorang lelaki shalat tanpa penutup
kepala. Dan ini adalah masalah yang terdapat kelonggaran, sehingga
tidak layak seseorang menyalahkan orang lain yang mengambil pendapat
yang berbeda. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan:
سَتْرُ رأس الرَّجل في الصَّلاة ليس واجبًا، والأمر في ذلك واسع
“lelaki menutup kepalanya dalam shalat itu tidak wajib, ini masalah yang terdapat kelonggaran” 8.
Namun hendaknya
seseorang lelaki bersemangat untuk menggunakan penutup kepada ketika
shalat dalam rangka mengamalkan firman Alllah Ta’ala dalam surat Al Hasyr ayat 31, dan juga mengingat keutamaan-keutamaan yang telah kami sebut di atas.
Demikian semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
____
- Taisir Karimirrahman, 287
- Syarhul Mumthi’, 2/137
- Syarhul Mumthi’, 2/137
- http://www.binbaz.org.sa/mat/2472
- Fatawa Nurun ‘alad Darbi, http://islamport.com/w/ftw/Web/2190/5563.htm
- Tamaamul Minnah Fii Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah, 164
- https://ar.islamway.net/fatwa/6761
- Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, no. 4143, http://www.tasfiatarbia.org/vb/showthread.php?t=12912