Sebagian saudara kita berdalil atas tindakan pemberontakan kepada penguasa dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Diantara dalil yang mereka jadikan pegangan adalah hadis berikut,
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan
tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak
mampu juga maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman”(HR Muslim).
Benarkah hadis ini bisa dijadikan dalil memberontak penguasa yang zalim? Simak pemaparannya berikut :
Bila
kita perhatikan hadis ini dan hadis tentang amar ma’ruf nahi
munkar lainnya yang dijadikan dalil atas tindakan memberontak, maka
kita dapati bahwa dalil yang menjadi pegangan adalah dalil-dalil yang
sifatnya umum. Sementara hadis terkait larangan memberontak (khuruj) terhadap penguasa dzolim bersifat khusus. Kaidah ushul fikihnya, dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
Seperti diterangkan oleh Imam Syaukani –rahimahullah– dalam Nailul Author,
وقد
استدل القائلون بوجوب الخروج على الظلمة ومنابذتهم بالسيف ومكافحتهم
بالقتال بعمومات بالكتاب والسنة في وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
.ولا شك ولا ريب أن الأحاديث التي ذكرها المصنف في هذا الباب وذكرناها أخص
من تلك العمومات مطلقا ، وهي متواترة المعنى كما يعرف ذلك من له أنسة بعلم
السنة
“Orang-orang
yang mengatakan wajib memberontak, memerangi dengan pedang dan
melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang dzolim, mereka berdalil
dengan keumuman dalil Al Quran dan Hadis yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Tidak
diragukan lagi bahwa hadis-hadis yang disebutkan oleh penulis di bab
ini (pent. Hadis-hadis tentang kewajiban taat pada penguasa dzolim)
lebih khusus daripada dalil umum tersebut (pent. Hadis tentang perintah
amar ma’ruf nahi munkar). Dan makna hadis-hadis tersebut mutawatir, sebagaimana diketahui oleh mereka yang memiliki bagian dalam ilmu hadis” (Nailul Author, 7/208).
Ini menunjukkan bahwa cara amar ma’ruf nahi munkar kepada
penguasa, berbeda dengan umumnya masyarakat. Tidak boleh dilakukan
dengan tangan yang kemudian diaplikasikan menjadi revolusi atau
memberontak pemerintah dzalim. Kemudian juga menasehati penguasa
dilakukan di hadapan mereka (bisa melalui orang-orang terdekat beliau
atau yang memiliki link ke presiden). Bukan dengan membicarakan aibnya
di belakang atau di depan khalayak. Dan mengingkari kemungkaran mereka
dengan cara yang santun, untuk menjaga wibawa mereka. Karena apabila
wibawa seorang pemimpin jatuh, makan akan jatuh pula wibawa suatu
bangsa, dan dapat memicu terjadinya pemberontakan kepada pemerintah
muslim yang hukumnya haram dalam Islam. Dalam kaidah fikih disebutkan
bahwa hukum wasilah mengikuti hukum tujuan. Oleh karenanya, salah
seorang ulama berkata,
اثنان إذا سقط هيبتهما سقط الخير كله، العلماء و السلطان
“Ada
dua jenis manusia yang apabila wibawa mereka jatuh maka akan jatuh
seluruh kebaikan, mereka adalah ulama dan penguasa”.
Dalil
yang membenarkan pernyataan bahwa cara menasehati penguasa tidak sama
dengan umumnya masyarakat adalah, hadis Abu Ruqoyyah Tamim Ad-Dāri radhiyallahu’anhu,
الدِّينُ
النَّصيحةُ، الدِّينُ النَّصيحةُ، الدِّينُ النَّصيحةُ»، قُلنا:
لمَن يا رسول الله؟ قال: للهِ ولكتابِهِ ولرسولِهِ، ولأئمَّةِ المسلمينَ
وعامَّتِهم
“Agama
itu adalah nasihat. Agama itu adalah nasihat. Agama itu adalah
nasihat.” Kata Tamim, “Kami bertanya, ‘Nasihat untuk
siapa wahai Rasulullah’? Beliau ﷺ menjawab, ‘Untuk Allah,
untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan
kaum muslimin secara umum’” (HR. Muslim).
Syaikh
Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin menerangkan, “Rasulullah ﷺ
membedakan antara penguasa dengan umumnya kaum muslimin, beliau
bersabda ,”untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin
secara umum.” menunjukkan bahwa nasehat untuk para pemimpin tidak
seperti nasehat kepada umumnya masyarakat. Karena ketika menasehati
pemimpin, seorang harus memperhatikan kedudukannya, sehingga nasehat
benar-benar sesuai dengan posisinya sebagai pemimpin. Ini termasuk
memposisikan seorang sesuai dengan posisinya, ini termasuk sikap
hikmah” (Fathu Dzi al Jalāl wal Ikrām bi Syarahi Bulūgh al Marõm, 15/411).
Rasulullah
ﷺ telah mengajarkan kepada kita tentang cara mengingkari kemungkaran
penguasa. Beliau sampaikan pada sabda beliau berikut,
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ
عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang
siapa yang ingin menasehati para penguasa dengan suatu urusan maka
jangan dengan terang-terangan. Akan tetapi pegang tangannya,
berduaanlah. Apabila nasehatnya diterima maka itulah yang diharapkan,
bila tidak diterima maka anda telah menyampaikan haknya” (HR Ahmad : 15369, dishahihkan oleh Al Albani di kitab Fi Dzilalil Jannah : 1096).
Dan sungguh sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah ﷺ.
Kalaupun hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar tersebut
bisa dijadikan dalil (meski sejatinya tidak bisa!), kita katakan bahwa
mengingkari kemungkaran dengan tangan, apabila menimbulkan mafsadah
yang lebih besar, maka menjadi terlarang. Sebagaimana kaidah yang
berlaku dalam mengingkari kemungkaran,
أن لا يترتب إنكار المنكر على المفسدة الأعظم
“Mengingkari kemungkaran tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar“.
Oleh karenanya Nabi ﷺ melarang kita mengingkari kedzoliman penguasa dengan tangan, karena dapat menimbulkan kerusakan/mafsadah yang
lebih besar. Anda bisa saksikan kekacauan yang terjadi di Suriah,
ternyata berawal dari revolusi. Juga yang terjadi di Tunisia dan Libia,
juga berawal dari revolusi.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menerangkan,
إذا
كان إنكار المنكر يستلزم ما هو أنكر منه ، وأبغض إلى الله ورسوله فإنه لا
يسوغ إنكاره ، وإن كان الله يبغضه ، ويمقت أهله . وهذا كالإنكار على
الملوك والولاة بالخروج عليهم ، فإنه أساس كل شر ، وفتنة إلى آخر الدهر ،
وقد استأذن الصحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم في قتال الأمراء الذين
يؤخرون الصلاة عن وقتها ، وقالوا : أفلا نقاتلهم ؟ فقال : (لا ما أقاموا
الصلاة)، ومن تأمل ما جرى على الإسلام في الفتن الكبار والصغار رآها من
إضاعة هذا الأصل ، وعدم الصبر على منكر ، فطلب إزالته، فتولد منه ما هو
أكبر ، فقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يرى بمكة أكبر المنكرات ولا
يستطيع تغييرها, بل لما فتح الله مكة وصارت دار إسلام عزم
على تغيير البيت ورده على قواعد إبراهيم ، ومنعه من
ذلك – مع قدرته عليه – خشية وقوع ما هو أعظم منه
“Apabila
mengingkari kemungkaran menyebabkan kemungkaran yang lebih besar serta
kemungkaran yang lebih dibenci oleh Allah dan RasulNya, maka tidak
boleh dilakukan. Meskipun sebenarnya Allah membenci dan memurkai pelaku
kemungkaran tersebut. Diantaranya seperti mengingkari kemungkaran para
raja dan penguasa, dengan melakukan pemberontakan kepada mereka. Karena
sesungguhnya perbuatan seperti itu sumber malapetaka dan musibah
sepanjang zaman.
Salah
seorang sahabat telah memohon izin kepada Rasulullah ﷺ untuk memerangi
para penguasa yang mengakhirkan sholat dari waktunya, mereka berkata,
“Tidakkah mereka kita perangi saja wahai Rasulullah?” Nabi
menjawab, “Tidak, selagi mereka masih melaksanakan shalat.”
Siapa
yang merenungi petaka yang terjadi pada umat Islam, baik petaka besar
maupun kecil, maka itu terjadi disebabkan mengabaikan prinsip ini,
serta tidak bersabar terhadap kemungkaran penguasa. Sehingga ia
menuntut untuk melengserkannya, yang menyebabkan terjadinya kemungkaran
yang lebih besar. Nabi ﷺ telah menyaksikan di kota Makkah kemungkaran
yang paling besar (kemusyrikan), namun beliau tidak mampu mengubahnya.
Barulah ketika Allah membukakan kota Makkah dan menjadi negeri Islam,
beliau bertekad merenovasi Ka’bah, untuk dikembalikan seperti
pondasi Ibrahim. Namun beliau urung melakukannya -padahal beliau mampu-
karena khawatir terjatuh pada mafsadah yang lebih besar…” (I’laam Al-Muwaqq’iin 4/338-339).
Mari
kita perhatikan seksama pesan-pesan Rasulullah ﷺ berikut. Nasehat yang
sangat cocok di zaman fitnah ini, seakan beliau berada di tengah-tengah
kita.
Pertama, sabda Rasulullah ﷺ,
خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai
mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan
mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang membenci
kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian
mengutuk mereka“.
Kemudian
seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ apakah boleh pemimpin semacam
itu kita perangi dengan pedang (memberontak). “Ya
Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?”
Nabi ﷺ menjawab,
َِ
لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ
وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا
يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“TIDAK…!
Selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat
dari pemimpin kalian sesuatu yg tak baik maka bencilah tindakannya dan
janganlah kalian melepaskan ketaatan kepada mereka” (HR. Muslim No.3447).
Kemudian dalam hadis dari sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang merek tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti sunahku.”
“Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Tanya sahabat Hudzaifah.
Rasulullah menjawab,
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Hendaknya
kamu mendengar dan taat kepada penguasa tersebut, walaupun punggungmu
dicambuk (menyengsarakan rakyat) dan hartamu dirampas olehnya (seperti
korupsi), dengarlah perintahnya dan taatilah” (Hadis
shahih, diriwayatkan Imam Muslim no.1476, 1847. Sebagian ulama
(diantara Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah menerangkan bahwa
kalimat “walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya” adalah dho’if).
Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami,
َ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا
“Kalian
akan menyaksikan sikap-sikap egois (red. kezaliman penguasa seperti
korupsi dan lain-lain) sepeninggalku, dan beberapa perkara yang kalian
ingkari” .
Para sahabat bertanya, “Lantas bagaimana anda menyuruh kami ya Rasulullah?”
Nabi menjawab,
أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Tunaikanlah hak mereka dan mintalah kepada Allah hakmu!” (HR. Bukhori).
Ketiga, diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda :
مَنْ
رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ
مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa
yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia
bersabar atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang memisahkan diri
dari jama’ah (persatuan kaum muslimin) satu jengkal lalu ia
meninggal dunia, ia meninggal dunia seperti mati jahiliyah” (HR Bukhari : 7054, Muslim : 1849).
Wallahua’lam bis showab.
___________
Referensi :
- I’lām Al-Muwaqq’iin ‘an Rabbi Al-‘Ālamin. Ibnul Qoyyim. Dar Ibnul Jauzi: Damam, KSA. Cet. Pertama, th 1423 H.
- Nailul Authõr. Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Darul hadist : Kairo, Mesir.
- Fathu Dzi al Jalāl wal Ikrām bi Syarahi Bulūgh al Marõm. Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin. Madār Al-Wathon Li An-Nasyr : Riyadh, KSA. Cet. Pertama, th 1435 H / 2014 M.
- Muhadoroh Syaikh Abdulmalik Romadhoni -hafidzohullah- : https://youtu.be/NBPRvYBRhRk
Kota Nabi ﷺ, Islamic University of Madinah, 22 Rabi’usstani 1438 H.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel Muslim.or.id
Artikel Muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/29323-memberontak-dalam-rangka-amar-maruf-nahi-mungkar.html