Minimnya
diferensiasi bank syariah membuat masyarakat terang-terangan
menyamakannya dengan bank konvensional. “Apa bedanya dengan bank
konvensional? Tidak ada!” Atau “Sama saja dengan bank"
Oleh Budhi Wuryanto
Koran Tempo, edisi 26 Desember 2011 memuat berita ini hanya dua alinea di rubrik Kilas. Nyempil di
pojok kiri-bawah halaman Bisnis/Finansial. Judulnya “Bank Syariah
Kembangkan Kartu Kredit”. Meski singkat, makna berita ini sungguh luar
biasa. Maksud saya, luar biasa jauhnya bank syariah kita telah
menyimpang dari “sesuai dengan syariah”.
Dalam
berita itu, Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Waktu itu, Mulya
E. Siregar mengungkapkan, perbankan syariah bersama Dewan Syariah
Nasional dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam tengah mengkaji pengembangan
produk-produk baru industri syariah. Dua produk sedang disiapkan. Yaitu
kartu kredit atau kredit tanpa agunan syariah. Kartu kredit ini lebih
diarahkan sebagai pembiayaan modal kerja sektor produktif, yakni usaha
mikro dengan batasan plafon tertentu. Bank syariah juga mengembangkan
produk pencadangan dari bagi hasil investasi. Fatwa mengenai itu tengah
disiapkan.
Melalui Facebook, masih di hari koran itu terbit, teman saya melontarkan komentar: “Kegelapan atas kegelapan—nauzubillah min dhalik.”
Itulah
celaka pertama bank syariah kita: masih juga miskin diferensiasi. Kedua
produk yang direcanakan itu maksudnya mungkin bagian dari upaya bank
syariah memperkaya diferensiasi produknya. Eh, kok ya jatuhnya makin
menjauhkannya dari “sesuai dengan syariah”. Bukankah dua produk tadi
juga membuktikan bahwa hampir tidak ada beda yang jelas pada produk,
jasa, dan praktek antara bank syariah dan bank konvensional?
Padahal
akibat minimnya diferensiasi, masyarakat luas terang-terangan
menyamakan bank syariah dengan bank konvensional. “Apa bedanya dengan
bank konvensional? Tidak ada!” Bahkan ada yang sinis menilai “Sama saja
dengan bank lainnya.” Yang lain menilai, “Belum juga benar-benar syar’i. Katanya tanpa bunga, kok tambah banyak ribanya, ya?”
Melalui buku karyanya, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarya Menuju Muamalat (Penerbit
Delokomotif, Yogyakarta; Mei 2010), Zaim Saidi bukan hanya mengkritisi
bank syariah kita. Namun juga menelanjangi berbagai penyimpangan
konseptual dan praktikal dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip
keadilan dan kebenaran yang konon hendak ditegakkannya. Zaim Saidi
menunjukkan perbankan syariah kita sama sekali tidak sesuai, dan
menyimpang dari hukum muamalat.
Dalam endorsment untuk
buku itu, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir bahkan mengingatkan khalayak akan
adanya bahaya lain yang tak kalah seriusnya. “…
Melalui manipulasi syariah, para pengusung bank syariah di Indonesia
tidak menyadari bahwa mereka sedang menyeret umat Islam ke dalam
jebakan neokolonialisme …,” kata Revrisond Baswir.
Dua Celaka Lainnya
Di
Indonesia, negeri yang hampir 90 persen penduduknya Muslim–dari sekitar
230-an juta jiwa, bank-bank syariah kita seharusnya bisa tumbuh
bongsor. Nyatanya, bank syariah kita kuntet (kerdil). Pertumbuhannya tidak normal.
Memang
ada yang mengklaim, pertumbuhannya pesat. Bahkan paling pesat
dibandingkan di kawasan lain. Namun harus diakui, pertumbuhan bank
syariah kita tidak selaju bank konvensional. Kalau asetnya kita
bandingkan, bank kovensional besarnya seperti gajah (aset per akhir April 2011 mencapai sekitar Rp 2.700 trilyun!). Sementara bank syariah cuma seukuran kambing (per Oktober 2011 total asetnya hanya Rp 130,5 trilyun).
Potensi
pasarnya gede. Tapi tak mampu tumbuh maksimal. Tidak mampu memanfaatkan
potensi pasar di depan mata: sekitar 200 juta penduduk Muslim! Kalau
tidak karena potensi pasar yang demikian besar itu tentu bank-bank
konvensional tidak merambah ke ranah bisnis perbankan syariah.
Bayangkan, hampir semua bank konvensional telah memiliki unit usaha
syariah atau mendirikan bank umum syariah. Bukan hanya bank nasional.
Bank asing pun menghadirkan unit syariah atau bank umum syariahnya di
Indonesia.
Mengapa?
Jawabannya masih terkait dengan celaka yang pertama. Yakni, solusi bagi
riba yang merajalela dari perbankan konvensional ternyata tidak
menyeret umat Islam ke bank syariah. Inilah celaka kedua bank syariah kita.
Celaka ketiga: pemerintah kita tidak meyiapkan regulasi dan mengarahkan pengembangan bank syariah kita secara tepat.
Yap, benar. Memang tidak adil membandingkan bank syariah dan bank konvensional head to head begitu.
Bank syariah di negeri ini ‘kan secara resmi hadir baru belasan tahun.
Sementara bank konvensional sudah puluhan, bahkan, sudah eksis ratusan
tahun. Eksistensi bank syariah kita baru sampai tahap edukasi pasar. Sementara bank konvensional sudah sampai tahapan “membuat kecanduan”.
Muncul
klaim bahwa bank syariah kita bisa tumbuh sampai tahapan sekarang ini
semata karena inisiatif pengembangan yang justru datang dari industri
bank syariah sendiri. Bukan dari pemerintah. Agar kontras, Malaysia
bisa kita jadikan sebagai pembanding. Pemerintah negeri jiran ini
menyiapkan regulasi dan mengarahkan pengembangan bank syariah secara
tepat. Sedangkan pemerintah kita tidak. Malaysia antusias menarik
investor dari Timur Tengah untuk mengembangkan perbankan syariah di
negaranya. Di Indonesia, langkah itu minimal.
Tidak perlu sampai cekala duabelas. Dengan tiga celaka tadi, orang Brebes dan Tegal bilang, cilaka mencit; cilate teman—benar-benar celaka. Kasihan, ya.**
Read more http://pengusahamuslim.com/5698-tiga-celaka-bank-syariah-kita.html?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+PMuslim+%28Subscribe+PengusahaMuslim.com%29