Tujuan ditulisnya tulisan singkat ini adalah untuk
menanggapi sebagian orang yang menyebarkan fatwa Syaikh Ibnu Al
Utsaimin mengenai bolehnya mengingkari kesalahan penguasa secara
terang-terangan. Seakan fatwa tersebut menjadi legitimasi mereka
untuk mencela penguasa di mimbar-mimbar, atau untuk melakukan
demonstrasi, atau bahkan untuk memberontak. Wallahul musta’an.
Sebelum
kita paparkan perkataan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, kami
sampaikan perkataan manusia yang paling mulia, kekasih kita, Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:
من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك،وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa
ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan
nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan
bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang
diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang
dituntut darimu” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097).
Kata para ulama, ini adalah ashl (landasan) yang menjadi pegangan dalam metode menasehati penguasa.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa boleh menasehati secara terang-terangan, ketika ada maslahah, dalam fatwa berikut:
ولكن
يجب أن نعلم أن الأوامر الشرعية فيمثل هذه الأمور لها محال، ولا بد من
الحكمة، فإذا رأينا أن الإنكار علنا يزول به المنكروالشر ويحصل به الخير
فلننكر علنا، وإذا رأينا أن الإنكار لا يزول به الشر، ولا يحصلبه الخير،
بل يزداد بغض الولاة للمنكرين وأهل الخير، فإن الخير أن ننكر سرا،
وبهذاتجتمع الأدلة، فتكون الأدلة الدالة على أن الإنكار يكون علنا فيما
إذا كنا نتوخى فيها لمصلحة، وهي حصول الخير وزوال الشر، والأدلة الدالة
على أن الإنكار يكون سرا فيماإذا كان إعلان الإنكار يزداد به الشر ولا
يحصل به الخير
الواجب
أن نناصح ولاة الأمور سرا كما جاء في النص الذي ذكره السائل. ونحن نقول:
النصوص لا يكذب بعضهابعضا، ولا يصادم بعضها بعضا. فيكون الإنكار معلنا عند
المصلحة، والمصلحة هي أن يزول الشر ويحل الخير، ويكون سرا إذا كان إعلان
الإنكار لا يخدم المصلحة، أي:لايزول به الشر ولا يحل به الخير
“Wajib
kita ketahui bahwa perintah-perintah syariat semisal ini memiliki
penempatan masing-masing. Harus menerapkannya dengan hikmah. Jika
kita memandang bahwa mengingkari secara terang-terangan itu bisa
menghilangkan kemungkaran dan keburukan tersebut, dan menghasilkan
kebaikan, maka hendaknya kita ingkari terang-terangan. Jika
kita memandang bahwa mengingkari secara terang-terangan itu tidak
menghilangkan keburukannya, tidak menghasilkan kebaikan, bahkan malah
menambah kemarahan (penguasa) kepada orang-orang yang mengingkari
mereka dan orang-orang baik, maka yang baik adalah kita nasehati secara
diam-diam. Dengan demikian,
kita dapat mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Maka dalil-dalil yang
mengisyaratkan cara mengingkari secara terang-terangan adalah jika
diperkirakan mengandung maslahah, yaitu terwujudnya kebaikan dan
hilangnya keburukan. Dan dalil-dalil yang menunjukkan cara mengingkari
secara diam-diam adalah pada keadaan jika diingkari secara
terang-terangan akan menambah keburukan dan tidak mewujudkan kebaikan.
Wajib
bagi kita adalah menasehati ulil amri secara diam-diam, sebagai
terdapat dalam nash dalil, sebagaimana disampaikan penanya. Namun saya
katakan, dalil-dalil tidak saling mendustakan dan saling bertentangan
satu sama lain. Sehingga mengingkari kemungkaran secara terang-terangan
itu boleh ketika ada maslahah, yaitu hilangnya keburukan dan
terwujudnya kebaikan. Dan diingkar secara diam-diam jika diingkar
secara terang-terangan tidak mengandung maslahah, yaitu tidak
menghilangkan keburukan dan tidak mewujudkan kebaikan”
Demikian fatwa beliau yang sering ditempatkan bukan pada tempat dan disalah-gunakan oleh para duat’ fitan (para
da’i yang kerap menimbulkan fitnah) untuk melegalkan perbuatan mereka
yang batil. Padahal manhaj Syaikh Ibnu Al Utsaimin dalam hal ini
berbeda dengan manhaj mereka.
Yang dimaksud beliau tentang bolehnya menasehati penguasa secara terang-terangan adalah langsung di hadapan penguasa.
Bukan di mimbar-mimbar, di koran, di majalah, atau di tempat lain yang
tidak ada individu dari penguasa di sana. Beliau mengatakan:
أما
المنكرات الشائعة فأنكرها، لكن كلامنا على الإنكار على الحاكم مثل أن يقوم
الإنسان في المسجد ويقول مثلا: الدولةظلمت، الدولة فعلت، فيتكلم في الحكام
بهذه الصورة العلنية، مع أن الذي يتكلم عليهم غير موجودين في المجلس.
وهناك
فرق بين أن يكون الأمير أوالحاكم الذي تريد أن تتكلم عليه بين يديك وبين
أن يكون غائبا،لأن جميع الإنكارات الواردة عن السلف كانت حاصلة بين يدي
الأمير أو الحاكم، الفرق أنهإ اذا كان حاضرا أمكنه أن يدافع عن نفسه،
ويبين وجهة نظره، وقد يكون مصيبا ونحن المخطئون ،لكن إذا كان غائبا لم
يستطع أن يدافع عن نفسه وهذا من الظلم، فالواجب أن لا يتكلم على أحد من
ولاة الأمور في غيبته، فإذا كنت حريصا على الخير فاذهب إليه وقابله وانصحه
بينك وبينه
“Ingkarul
mungkar terhadap kemungkaran yang terjadi di masyarakat itu wajib
dilakukan. Adapun pendapat kami mengenai mengingkari penguasa, semisal
seseorang di dalam masjid (berceramah) mengatakan: “pemerintah ini
zalim”, atau berbicara tentang pemerintah dengan cara demikian secara
terang-terangan (ini tidak diperbolehkan). Dalam keadaan bahwa para
pejabat pemerintah yang ia bicarakan tidak ada di hadapannya dalam
majelis tersebut.
Tentunya
ada perbedaan antara keadaan anda berada di hadapan amir (pemimpin)
atau hakim yang ingin anda ingkari, dengan keadaan anda tidak berada di
hadapannya. Karena ingkarul mungkar yang dilakukan para salaf itu
terjadi di hadapan amir atau hakim langsung.
Perbedaannya
yaitu, jika amir atau hakim tersebut berada di depannya, ketika
diingkari ia bisa bisa memberikan pembelaan, ia juga bisa memberikan
penjelasan dan sisi pandang yang lain. Dan terkadang memang mereka yang
benar, yang salah adalah kita. Adapun jika mereka tidak ada di hadapan
kita, mereka tidak bisa membela diri mereka, dan ini adalah sebuah
kezaliman.
Maka
wajib kita untuk tidak mengatakan tentang keburukan penguasa ketika
bukan di hadapannya. Jika seseorang bersemangat untuk melakukan
kebaikan, maka pergilah ke hadapan penguasa, bertatap muka dengannya,
nasehati ia secara langsung” (Liqa Baabil Maftuh rekaman no. 62, http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=111530).
Dalam fatwa kedua ini bisa dipahami bahwa Syaikh Ibnu Al Utsaimin membolehkan
menasehati penguasa secara terang-terangan jika itu dilakukan di
hadapan amir (pemimpin) atau pejabat pemerintah secara langsung. Bukan di mimbar-mimbar, di jalan-jalan, atau melalui surat kabar, buletin dan semisalnya.
Maka ada dua syarat:
- Maslahah yang dicapai lebih besar, bukan malah menimbulkan keburukan yang besar, seperti pertumpahan darah, kekacauan, terganggungnya stabilitas keamanan
- Dilakukan langsung di hadapan individu ulil amri yang ingin dinasehati
Maka
tidak tepat perbuatan sebagian orang yang menyebarkan fatwa Syaikh
tentang menasehati terang-terangan sebagai legitimasi untuk mengumbar
aib-aib penguasa di mimbar-mimbar, di jalan-jalan, di koran, majalah
dan semisalnya.
Wallahu a’lam.
from=https://kangaswad.wordpress.com/2017/02/05/mengingkari-kesalahan-penguasa-menurut-syaikh-ibnu-al-utsaimin/