Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
“Artinya : Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala keluar sejauh tiga
mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat) : Dia shalat dua rakaat”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129) dan Al-Baihaqi (2/146).
Susunan
kalimat darinya adalah dari Muhammad bin Ja’far : ” Telah bercerita
kepadaku Syu’bah, dari Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan :
“Aku
bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku
pergi ke Kufah maka aku shalat dua raka’at hingga aku kembali. Kemudian
Anas berkata : (Lalu dia menyebutkan hadits ini)”.
Saya
menilai hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah,
yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i dimana dia adalah
perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah juga telah
meriwayatkan darinya.
Sementara
itu Ibnu Abi Hatim (4/2/198) menceritakan dari bapaknya yang
memberitahukan : “Al-Hanna’i adalah seorang yang telah lanjut usia”.
Hal ini juga disinggung oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat (1/257)
dimana dia menyebutkan kakeknya dengan nama Murrah. Ibnu Hibban
menandaskan : “Barangsiapa mengatakan, ‘Yazid bin Yahya atau Ibnu Abi
Yahya”, makasesungguhnya dia salah mendunga {?=dass}”.
Dan
hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud (1201),
Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu Ya’la
dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari
Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i : “Sedangkan aku pergi ke Kufah….sampai aku kembali”.
Meskipun ini tambahan yang benar. Bahkan oleh karenanya hadits ini
berlaku. Demikian pula hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Awannah
(2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah Ath-Thayalisi), dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun Ath-Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.
(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu
mil adalah sejauh mata memandang ke bumi, dimana mata akan kabur ke
atas permukaan tanah sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah penjelasan Al-Jauhari. Namun dikatakan pula;
batas satu mil adalah jika sekira memandang kepada seseorang di
kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan
dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti keterangan dalam
Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama sekarang adalah sekitar 1680 meter.
Kandungan Hukumnya.Hadits
ini menjelaskan bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh (satu
arsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi
telah mnjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49) : “Meskipun
hadits ini telah menetapkan bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas
dimana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak
mengetahui seorangpun dari ulama fiqih yang berpendapat demikian”.
Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan
Pertama : Bahwa hadits ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.
Kedua
: Hadits ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak
mengetahui adanya seorangpun ulama fiqih yang mengatakan demikian, itu
tidak menghalangi untuk mengamalkan hadits ini. Tidak menemukan bukan berarti tidak ada.
Ketiga
: Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin
Malik. Sedang Yahya bin Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah
berfatwa demikian, seperti keterangan yang telah lewat. Bahkan
telah berlaku pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar
dalam perjalanan yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah (2/108/1) telah meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah, dari Ibnu Umar yang menuturkan.
“Shalat itu boleh diqashar dalam jarak sejauh tiga mil”. Hadits ini sanadnya shahih. Seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).
Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar bahwa dia berkata : “Sesungguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang dan aku mengqashar (shalat)”.
Hadits
ini sanadnya juga shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz dalam
Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar (2/111/1).
“Sesungguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”. Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak
keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji
Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana sudah tidak ada
lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina
hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan.
Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata : “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”
Hadits ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih.
Hal
ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha maupun
lainnya dengan sanad-sanadnya yang shahih, dari Ibnu Umar, bahwa dia
mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak menafikan
jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang telah
saya sebutkan adalah jelas memperbolehkan mengqashar shalat dalam jarak
yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi
karena adanya hadits yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.
Al-Hafidzh telah menandaskan di dalam Al-Fath (2/467-468). “Sesungguhnya
hadits itu merupakan hadits yang lebih shahih dan lebih jelas dalam
menerangkan soal ini. Adapun ada yang berbeda dengannya mungkin soal
jarak diperbolehkannya mengqashar, dimana bukan batas akhir
perjalanannya.
Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa Yahya bin Yazid bercerita : “Saya
bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya keluar Kufah,
yakni Bashrah, saya shalat dua raka’at dua raka’at, sampai saya
kembali. Maka Anas berkata ; (kemudian menyebutkan hadits ini)”.
Jadi
jelas bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepad Anas tentang
diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian bukan tentang tempat
dimana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini adalah bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan tetapi dengan melewati batas daerah dimana seorang telah keluar darinya.
Al-Qurthubi menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak
dapat dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak
tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus. Akan tetapi
tidak ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga
mil memang terlalu sedikit maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap
berhati-hati.
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab : “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari Madinah ?” Dia menjawab : “Ya”. Wallahu a’lam.
Saya berkata : Sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah shahih.
Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan. “Kami pergi bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan dalam shalat dan kami berbuka”.
Hadits ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah tsiqah, kecuali
Abil Warad bin Tsamamah, dimana hanya ada tiga orang meriwayatkan
darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan : “Dia itu dikenal sedikit haditsnya”.
Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar dalam jarak yang lebih pendek daripada apa yang terdapat dalam hadits tersebut.
Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum. Karena dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah mutlak, tidak dibatasi oleh jarak tertentu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa : 101]
Dengan
demikian maka tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan
atsar-atsar ini. Karena ia memang tidak menafikan diperbolehkannya
qashar dalam jarak bepergian yang lebih pendek daripada yang disebutkan
di dalam hadits tersebut.
Oleh karena itu Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan : “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi bagi umatnya pada jarak
tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak
saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilahkan kepada mereka untuk
bertayamum dalam setiap bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang
batas sehari, dua hari atau tiga hari, sama sekali tidak benar. Wallahu
‘alam”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Setiap
nama dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama,
maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja,
sebagaimana ‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu
bepergian dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum”.
Para
ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan diperbolehkannya
qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh pendapat. Namun
apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah
adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai dengan
kemudahan Islam.
Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga mengharuskan
mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu tidak mampu
bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum pernah ditempuh
sebelumnya.
Dalam
hadits tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu dimulai
dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar (3/83) dimana penulisnya mengatakan : “Sebagian
ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih shalat dua
raka’at, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka ada yang berkata
:”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau mau”.
Sementara
itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang pertama. Dimana
mereka sepakat bahwa boleh qashar setelah meninggalkan rumah. Namun
mereka berbeda mengenai sesuatu sebelumnya. Tapi hendaknya seseorang
menyempurnakan sesuatu yang perlu disempurnakan sehingga dia
diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi:“ Sungguh
saya tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengqashar shalat dalam suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar
dari Madinah”.
Saya
menemukan : Sesungguhnya hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini
adalah banyak. Saya telah mengeluarkan sebagian darinya dalam Al-Irwa’
yaitu dari hadits Anas, Abi Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya.
Silahkan periksa no. 562 !
[Disalin
dari buku Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa
Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit
Kandungan Hukumnya, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,
terbitan CV. Pustaka Mantiq, hal. 362-367 penerjemah Drs.H.M.Qadirun
Nur]
Posting Ulang: di Pal Merah.