Ketika menerapkan ilmu, Seorang dokter jika ingin menerapkan ilmunya
kepada pasien, maka ia harus belajar dahulu dengan lama sekitar 6 tahun
lebih (untuk mendapat gelar dokter). Dan ia harus melalui beberapa
tahap.
1.belajar ilmu teori
2.belajar praktek dengan manekin (boneka untuk praktek)
3.belajar praktek dengan pasien sehat terlatih
4.belajar praktek dengan pasien sakit dengan bimbingan
5.praktek mandiri
2.belajar praktek dengan manekin (boneka untuk praktek)
3.belajar praktek dengan pasien sehat terlatih
4.belajar praktek dengan pasien sakit dengan bimbingan
5.praktek mandiri
Akan tetapi untuk ilmu agama, maka orang dengan mudahnya menjadi
ustadz, dengan mudahnya menjadi rujukan pertanyaan dalam masalah agama,
dengan mudahnya memberikan fatwa dengan mudahnya menjadi khatib dan
penceramah. Padahal ia adalah artis baru taubat, ia baru sekedar
baca-baca buku terjemahan tanpa berguru, ia baru sekedar pernah naik
haji, baru sekedar pernah tinggal di Arab saudi saja.
Mari kita bandingkan:
Untuk ilmu kedokteran jelas ia harus menguasainya, jika tidak maka ia
bisa melakukan mal praktek dan bisa merugikan pasien dan bahkan bisa
dituntut jika melakukan kecerobohan. Bahkan dalam agam Islam, dokter
yang asal praktek saja tanpa ilmu yang mumpuni kemudian melakukan
kesalahan maka ia harus bertanggung jawab/ganti rugi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain, hadits hasan no. 54 kitab Bahjah Qulub Al-Abrar)
Begitu juga dengan ilmu agama, seseorang harus belajar dahulu dengan
waktu yang tidak pendek. Ia butuh waktu yang lama agar bisa menjadi
seorang ustadz yang akan membimbing masyarakat untuk memahami agama.
Sebagaimana perkataan imam Syafi’i rahimahullahu,
أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ
Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara
Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup
Bimbingan ustadz dan waktu yang lama (Diwan Syafi’i)
Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup
Bimbingan ustadz dan waktu yang lama (Diwan Syafi’i)
Dan jika salah dalam memahami dan menyampaikan agama atau mal praktek
dalam agama, maka dampaknya sangat berbahaya, bisa menyesatkan orang
banyak dan berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu yan merupakan dosa
terbesar, bahkan diatas dosa kesyirikan.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui
(berbicara tentang Allah tanpa ilmu).” (Al A’rof: 33)”
Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan ayat mengatakan,
فرتب
المحرمات أربع مراتب، وبدأ بأسهلها وهو الفواحش، ثم ثنى بما هو أشد تحريما
منه وهو الإثم والظلم، ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به
سبحانه، ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم، وهذا
يعم القول عليه سبحانه بلا علم في أسمائه وصفاته وأفعاله وفي دينه وشرعه
“Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah
memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al
fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang
lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar.
Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu
berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang
lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara
tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”
(I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1411 H, Asy-Syamilah)Demikian semoga bermanfaat
_________________
@Pogung Dalangan, Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
Share Ulang:
- from= https://muslimafiyah.com/dokter-karbitan-vs-ustadz-karbitan.html
- Cisaat, Nengkelan, Ciwidey