Shalat ‘Id (hari raya)
adalah salah satu syi’ar (simbol keagungan dan kemuliaan)1
Islam yang sangat agung2
dan melambangkan ketinggian agama Allah Ta’ala yang mulia ini.
Oleh karena
itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selalu melaksanakannya di
tanah lapang di luar masjid, bahkan tidak ada satu riwayatpun yang shahih bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melaksanakannya di masjid.
Kemudian para Shahabat Radhiallahu’anhum sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam juga mempraktetakkan sunnah ini dengan baik3.
Imam Ibnul
Haajj al-Maliki berkata: “Sunnah yang telah berlangsung (sejak dulu) dalam
(pelaksanaan) shalat ‘Ied (hari raya) adalah dilaksanakan di mushalla
(tanah lapang), karena Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu
shalat di masjid lain kecuali (shalat) di al-Masjidil Haram”4.
Kemudian
bersamaan dengan keutamaan yang agung ini Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang dan tidak melaksanakannya
di Masjid Nabawi. Maka ini merupakan dalil (argumentasi) yang jelas
tentang ditekankannya pensyariatan shalat ‘Ied di tanah lapang.
Ini adalah
Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan melaksanakannya di
masjid, menurut madzhab Imam Malik – semoga Allah Ta’ala
merahmatinya – adalah (perbuatan) bid’ah5,
kecuali jika ada alasan darurat (mendesak) untuk melaksanakannya di
masjid, maka ini bukan perbuatan bid’ah. Karena Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak pernah melakukannya (shalai ‘Ied di masjid) dan juga para al-Khulafaa’
ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali Radhiallahu’anhum) sepeninggal beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam.
Juga
dikarenakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kaum
perempuan (seluruhnya) untuk keluar menuju (tempat) shalat ‘Ied, bahkan beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam memerintahkan para wanita yang sedang haidh dan gadis pingitan
untuk keluar ke (tempat) shalat ‘Ied…6.
Maka ketika
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan (semua) kaum
perempuan untuk keluar (ke tempat shalat ‘Ied) berarti beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam mensyariatkan shalat ‘Ied di tanah lapang untuk menampakkan syi’ar
Islam”7.
Dalil-dalil dari Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Di antara
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang, adalah sebagai
berikut:
1- Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu’anhu
dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar (untuk
melaksanakan shalat) pada hari raya ‘Iedul fithr dan ‘Iedul adha menuju
tanah lapang, maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat ’Ied,
kamudian setelah selesai beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri
(untuk berkhutbah) di hadapan kaum muslimin dan mereka (tetap) duduk di
shaf-shaf mereka…Abu Sa’id al-Khudri berkata: Kemudian sunnah itu terus
dilakukan kaum muslimin sampai di Jaman (pemerintahan) Marwan bin al-Hakam…”8.
Imam
an-Nawawi berkata: “Hadits ini merupakan dalil bagi ulama yang mengatakan bahwa
dianjurkan keluar menuju tanah lapang untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan bahwa
melaksanakannya di tanah lapang lebih utama daripada melaksanakannya di masjid.
Pendapat inilah yang diamalkan oleh kaum muslimin di hampir semua kota, kecuali
penduduk Mekkah…”9.
Imam Ibnu
Hajar al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini dijadikan sebagai argumentasi bahwa
dianjurkan keluar menuju shahra’ (tanah lapang) untuk melaksanakan
shalat ‘Ied dan bahwa itu lebih utama daripada melaksanakannya di masjid,
karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam senantiasa melaksanakannya
di tanah lapang, padahal keutamaan (shalat) di masjid beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam (sangat besar)”10.
2- Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu
dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selalu keluar ke
tanah lapang (untuk melaksanakan shalat) pada hari raya dan sebuah tombak
kecil dibawa di hadapan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Setelah
beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sampai di tanah lapang tersebut maka
tombak kecil itu ditancapkan di hadapan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam,
lalu beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pun shalat di hadapannya
(sebagai sutrah/pembatas shalat)”11.
3- Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu’anhu
dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika hari raya
‘Iedul adha keluar menuju tanah lapang di al-Baqi’, lalu beliau
shalat dua rakaat, kemudian menghadapkan wajahnya kepada kami…”12.
Pernyataan dan penegasan para ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini
Imam
Malik berkata:
“Tidak boleh melaksanakan shalat ‘Ied di masjid, akan tetapi kaum muslimin
hendaknya keluar (ke tanah lapang) sebagaimana dulunya Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam selalu keluar (ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat ‘Ied)…
Kemudian sunnah ini selalu dipraktekkan oleh kaum muslimin di seluruh negeri”13.
Imam
asy-Syafi’i
berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
senantiasa keluar menuju tanah lapang di Madinah untuk melaksanakan shalat
‘Ied, demikian pula para Shahabat Radhiallahu’anhum setelah beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam. Dan (inilah yang diamalkan oleh) oleh mayoritas kaum muslimin di
(hampir) semua kota, kecuali penduduk Mekkah…”14.
Imam
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata: “Yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang, ‘Ali bin Abi
Thalib radhiallahu’anhu memerintahkannya, al-Auza’i dan ahli ra’yu
menganjurkannya, dan ini adalah pendapat Ibnul Mundzir…
Sungguh
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam selalu keluar menuju tanah
lapang (untuk melaksanakan shalat ‘Ied) dan meninggalkan Masjid Nabawi (padahal
keutamaannya sangat besar), demikian pula para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin (para
Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali Radhiallahu’anhum)
setelah beliau Shallallahu’alaihi Wasallam…
Tidak
pernah dinukil (satu haditspun) dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bahwa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melaksanakan shalat ‘Ied
di Masjid Nabawi, kecuali jika ada ‘udzur (alasan yang dibenarkan dalam Islam,
seperti hujan, angin kencang dan lain-lain).
Dan juga
karena ini adalah ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, kapan dan di
manapun kaum muslimin selalu keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat
‘Ied, meskipun (mereka memiliki) masjid yang luas atau sempit”15.
Imam
Ibnul Qayyim
berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah selalu
melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang”16.
Imam
al-Bagawi berkata:
“Yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dalam
hal ini yaitu) bahwa seorang imam keluar (menuju tanah lapang) untuk
melaksanakan shalat ‘Ied, kecuali jika ada ‘udzur maka dilaksanakan di masjid”17.
Imam
al-Qurthubi berkata: “Imam
Malik dan seluruh ulama (Ahlus Sunnah) bersepakat (menyatakan) bahwa shalat dua
hari raya di semua kota dilaksanakan di tempat terbuka (tanah lapang), kecuali
di Mekkah yang dilaksanakan di Masjidil haram”18.
Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani
berkata: “hadits-hadits di atas merupakan argumentasi yang tegas menyatakan
bahwa yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam (pelaksanaan) shalat ‘Ied adalah dilaksanakan di tanah lapang, dan ini merupakan
pernyataan mayoritas ulama Ahlus Sunnah”19.
Beliau juga
berkata: “Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang disebutkan
dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam selalu melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang di luar kota.
Kemudian sunnah ini terus diamalkan oleh generasi pertama umat ini (para
Shahabat Radhiallahu’anhum), mereka tidak pernah melaksanakan shalat
‘Ied di masjid, kecuali dalam keadaan darurat, seperti hujan dan lain-lain.
Inilah pendapat Imam mazhab yang empat (Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i
dan Ahmad) dan selain mereka dari para imam dan ulama Ahlus sunnah”20.
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Disunnahkan (dianjurkan) untuk melaksanakan shalat ‘Ied di shahra’
(tanah lapang) di luar kota, dan hendaknya (dipilih) tempat shalat ‘Ied
yang dekat supaya tidak menyusahkan bagi kaum Muslimin.
Dalilnya
adalah perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan para al-Khulafaa’
ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali Radhiallahu’anhum), mereka selalu melaksanakan shalat ‘Ied di shahra’
(tanah lapang)…”21.
Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam berkata: “Dalam hadits di atas terdapat argumentasi tentang
disyariatkannya (diutamakannya) shalat ‘Ied di shahra’ (tanah lapang) di
luar pemukiman, meskipun di kota Madinah an-Nabawiyyah”22.
Mengapa penduduk Mekkah dikecualikan dalam masalah ini?
Adapun pengecualian
‘penduduk kota Mekkah’ yang disebutkan dalam ucapan Imam asy-Syafi’I, Imam
an-Nawawi dan Imam al-Qurthubi di atas, maka hal ini telah dijelaskan alasannya
oleh para ulama Ahlus Sunnah.
Imam
asy-Syaukani berkata: “Ada kemungkinan shalat ‘Ied (di Mekkah) tidak
dilaksanakan di tanah lapang karena sempitnya sudut-sudut kota Mekkah (sulit
mencari tempat yang luas)”23.
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Adapun (pelaksanaan shalat ‘Ied) di
Mekkah, maka aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam atau salah seorang yang pernah menjadi penguasa di Mekkah keluar (menuju
tanah lapang dan) meninggalkan Masjidil haram…Barangkali hikmah (alasan) mereka
tetap shalat ‘Ied di Masjidil haram – Allah yang lebih mengetahuinya – adalah
karena keberadaan Ka’bah di dalam Masjidil haram, yang mana shalat di Masjidil
haram lebih baik daripada seratus ribu shalat di masjid lain. Juga karena
sulitnya menemukan shahra’ (tanah lapang) di Mekkah, disebabkan tanahnya
banyak perbukitan dan lembah, sehingga menyulitkan penduduknya untuk keluar
(mencari tanah lapang). Oleh karena itulah shalat ‘Ied di Mekkah tetap
dilaksanakan di Masjidil haram”24.
Adapun ‘penduduk
kota Madinah’ maka hukumnya seperti kota-kota lainnya, sebagaimana ucapan
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin25
dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam yang telah dinukil sebelumnya,
karena tanah lapang yang luas banyak ditemukan di sana.
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Kota Madinah (dalam hal ini) sama
dengan kota-kota lainnya, dianjurkan bagi penduduknya untuk keluar ke shahra’
(tanah lapang) untuk melaksanakan shalat ‘Ied, inilah yang lebih utama. Dan
dimakruhkan (tidak disukai dalam Syariat Islam) bagi mereka untuk
melaksanakannya di Masjid nabawi, kecuali jika ada alasan (yang dibenarkan
dalam syariat Islam)…”26.
Apakah ada pendapat lain dalam masalah ini?
Ada
pendapat lain dalam masalah ini yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi’i. Ibnu
Qudamah al-Maqdisi berkata: “Dinukil dari Imam asy-Syafi’i (bahwa beliau
berkata): Kalau masjid di dalam kota luas (bisa menampung semua penduduk
muslim) maka shalat di masjid tersebut lebih utama, karena masjid adalah tempat
yang paling utama dan paling suci. Oleh karena itulah, penduduk Mekkah
melaksanakan shalat ‘Ied di Masjidil haram”27.
Imam
asy-Syafi’i juga mengisyaratkan bahwa sebab disunnahkannya shalat di tanah
lapang dan bukan di masjid adalah karena sempitnya masjid sehingga digunakanlah
tanah lapang yang luas. Beliau berkata: “Seandainya suatu kota makmur sehingga
masjidnya bisa menampung kaum muslimin di kota tersebut dalam shalat ‘Ied, maka
aku memandang mereka tidak boleh meninggalkan masjid (untuk menuju ke tanah
lapang), tapi kalaupun mereka keluar (menuju ke tanah lapang) maka itu tidak
mengapa (boleh). Akan tetapi kalau masjidnya (sempit sehingga) tidak bisa
menampung mereka, maka aku tidak menyukai mereka shalat ‘Ied di masjid tersebut”28.
Ucapan Imam
asy-Syafi’i menunjukkan bahwa jika masjid di dalam kota sempit maka lebih utama
shalat ‘Ied dilaksanakan di tanah lapang29.
Pendapat
ini berargumentasi dengan sebuah atsar/riwayat dari ‘Umar bin
al-Khaththab radhiallahu’anhu ketika terjadi hujan turun di hari
raya pada jaman kekhalifahan beliau radhiallahu’anhu. Lalu ‘Umar
mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat ‘Ied di masjid, kemudian setelah shalat
beliau radhiallahu’anhu berkhutbah di atas mimbar dan berkata:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dulu keluar menuju tanah lapang bersama kaum muslimin dan shalat ‘Ied bersama
mereka, karena tanah lapang lebih kondusif dan lebih luas bagi mereka,
sedangkan Masjid nabawi tidak cukup untuk menampung mereka. Maka ketika turun
hujan (seperti sekarang) ini (shalat) di masjid adalah lebih kondusif”.
Atsar ini dikeluarkan oleh Imam
al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra” (3/310), tapi derajatnya sangat lemah30,
karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz
bin ‘Umar bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf al-Qadhi, Imam al-Bukhari berkata
tentangnya: “haditsnya diingkari (karena kelemahannya yang fatal)”. Imam
an-Nasa-i berkata: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya
yang parah)”31.
Atsar ini juga dikeluarkan oleh Imam
asy-Syafi’i dalam kitab “al-Umm” (1/389) dari jalur lain dari ‘Umar bin
al-Khaththab. Atsar
ini juga derajatnya sangat lemah, karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya al-Aslami, Imam Ibnu Hajar
al-‘Asqlani berkata tentangnya: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena
kelemahan-nya yang parah)”32.
Karena Atsar
ini derajatnya sangat lemah, sehingga tentu tidak bisa dijadikan sebagai
argumentasi untuk mendukung pendapat Imam asy-Syafi’i di atas, bahwa sebab
disunnahkannya shalat ‘Ied di tanah lapang dan bukan di masjid adalah karena
tidak adanya masjid yang luas yang bisa menampung kaum muslimin.
Imam
asy-Syaukani menyanggah pendapat ini, beliau berekata: “(pendapat yang
mengatakan bahwa sebab (disunnahkannya shalat ‘Ied di tanah lapang dan bukan di
masjid) adalah (karena) sempitnya (masjid) dan luasnya (tanah lapang) ini
hanyalah dugaan semata dan tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan
contoh teladan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang selalu
keluar menuju tanah lapang (untuk melaksanakan shalat ‘Ied), (apalagi) setelah
mereka juga mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
terus-menerus melakukan hal itu.
Adapun
berargumentasi dengan pelaksanaan shalat ‘Ied di Mekkah di Masjidil haram, maka
itu (bisa) dijawab dengan adanya kemungkinan mereka tidak melaksanakan shalat
‘Ied di tanah lapang karena sempitnya sudut-sudut kota Mekkah dan bukan karena
luasnya Masjidil haram”33.
Syaikh
al-Albani berkata: “Dari penjelasan yang lalu, nyatalah kebatilan (kesalahan)
pendapat yang menyebutkan sebab (disunnahkannya shalat ‘Ied di tanah lapang)
adalah karena sempitnya masjid, dan yang kuat adalah pernyataan para ulama
(Ahlus sunnah) yang menegaskan bahwa shalat ‘Ied di tanah lapang adalah yang
sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini
disyariatkan di setiap jaman dan tempat, kecuali karena alasan darurat. Dan
aku tidak mengetahui seorangpun dari ulama mujtahid yang diperhitungkan
ucapannya menyelisihi dalam masalah ini”34.
Kemudian
kalaupun pendapat dan alasan ini bisa diterima, maka tetap saja kondisi
masjid-masjid kaum muslimin saat ini tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh
Imam asy-Syafi’i di atas, selain Masjidil haram, karena masjid-masjid tersebut
rata-rata tidak terlalu luas dan tidak ada satu masjidpun yang cukup untuk
menampung semua kaum muslimin di suatu kota tertentu.
Maka
berdasarkan penjelasan ini, pelaksanakan shalat ‘Ied di masjid-masjid kaum
muslimin di jaman ini, sungguh pada hakikatnya tidak sesuai dengan pendapat
Imam asy-Syafi’i sendiri, sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Sehingga bisa
dikatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukan hanya bertentangan dengan
sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para al-Khulafaa’
ur-raasyidiin, bahkan juga menyelisihi petunjuk semua ulama dan Imam Ahlus
sunnah yang ucapan mereka diperhitungkan35,
wallahul musta’an.
Oleh karena
itu, syaikh al-Albani berkata: “… Semua itu menunjukkan bahwa (pelaksanaan)
shalat ‘Ied di masjid-masjid di jaman ini (tanpa adanya ‘udzur syar’i)
adalah (perbuatan) bid’ah, meskipun menurut pendapat Imam asy-Syafi’i, karena
tidak dijumpai satu masjidpun di negeri kami (juga di negeri-negeri kaum
muslimin) yang bisa menampung kaum muslimin di negeri tersebut”36.
Hukum melaksanakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan)
Telah kami
nukilkan ucapan beberapa ulama Ahlus sunnah yang menyatakan bahwa yang sesuai
dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah melaksanakan
shalat ‘Ied di tanah lapang dan bukan di masjid, kecuali jika ada ‘udzur
syar’i.
Oleh karena
itulah, melaksanakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya ‘udzur syar’i
jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
sehingga sebagian dari para ulama Ahlus sunnah ada yang menyatakan
ketidakbolehannya, ada juga yang mengatakan bahwa hal itu makruh
(dibenci dalam Islam).
Penulis
kitab “Zaadul mustaqni’” Syaikh Syarafuddin Musa bin Ahmad al-Hijawi
berkata: “Dimakruhkan (dibenci dalam Islam) melaksanakan shalat ‘Ied
di masjid jami’ tanpa adanya ‘udzur syar’i”. Ucapan beliau
ini disetujui dan dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin ketika
menjelaskan kandungan kitab ini, bahkan kemudian Syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin menambahkan: “Ucapan penulis ini memberikan pengertian bahwa
melaksanakannya di masjid jami’ karena adanya ‘udzur syar’i
tidaklah dimakruhkan”37.
Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam berkata: “Sesungguhnya shalat ‘Ied tidak
boleh dilaksanakan di masjid, kecuali jika ada hajat (‘udzur syar’i)
seperti hujan dan lain-lain”38.
Sebagian ulama Ahlus sunnah menyatakan bahwa ini termasuk perbuatan bid’ah
Telah kami
nukilkan sebelum ini ucapan Imam Ibnul Haajj al-Maliki, beliau berkata: “Ini
adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan melaksanakannya
di masjid, menurut madzhab Imam Malik – semoga Allah Ta’ala
merahmatinya – adalah (perbuatan) bid’ah39,
kecuali jika ada alasan darurat (mendesak) untuk melaksanakannya di
masjid, maka ini bukan perbuatan bid’ah. Karena Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak pernah melakukannya (shalai ‘Ied di masjid) dan juga para al-Khulafaa’
ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali Radhiallahu’anhum) sepeninggal beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam…”40.
Pendapat
ini didukung dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani, beliau berkata:
“Hadits-hadits shahih (yang telah kami nukilkan sebelumnya) dan selainnya,
kemudian perbuatan generasi pertama (umat ini yaitu para Shahabat Radhiallahu’anhum)
yang selalu (melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang), lalu pernyataan para
ulama (Ahlus sunnah), semua itu menunjukkan bahwa (pelaksanaan) shalat ‘Ied
di masjid-masjid saat ini (tanpa adanya ‘udzur syar’i) adalah
(perbuatan) bid’ah…”41.
Adapun sebab
dan alasan yang menjadikan hal ini dibenci dalam Islam, maka para ulama
telah menjelaskannya
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Melaksanakan shalat ‘Ied di masjid
tanpa ‘udzur syar’i dimakruhkan (dibenci dalam Islam) karena perbuatan
ini menjadikan luputnya tujuan besar (disyariatkannya shalaat ‘Ied), yaitu
memperlihatkan dan menampakkan syi’ar Islam (yang agung) ini dan ini
adalah tujuan yang dituntut dalam syariat Islam. Sebagaimana telah kami
jelaskan sebelumnya bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
memerintahkan (semua kaum muslimin) untuk keluar menuju tanah lapang meskipun
(dalam kondisi) sulit. Maka ini menunjukkan perhatian besar (Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam untuk menampakkan syi’ar Islam ini) dengan keluarnya kaum
muslimin (menuju tanah lapang)”42.
Inilah
pendapat para ulama yang didukung dengan dalil-dalil yang shahih, adapun
pendapat yang membolehkan shalat ‘Ied di masjid tanpa ‘udzur syar’i secara
mutlak maka tidak diketahui argumentasi yang menjadi sandarannya.
Memang
benar para ulama mengatakan bahwa shalat ‘Ied tersebut tetap sah43,
akan tetapi tidak lepas dari kemakruhan, sebagaimana penjelasan yang
lalu, wallahu a’lam.
Kemudian contoh-contoh
‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan dalam syariat Islam),
sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama adalah: hujan, angin kencang, atau
adanya sesuatu yang ditakutkan (misalnya serangan musuh) sehingga menghalangi
keluar menuju tanah lapang. Demikian pula ‘udzur yang ada pada
orang-orang tertentu, seperti sakit, cacat, lanjut usia dan lain-lain44.
Hikmah disyariatkannya shalat ‘Ied di tanah lapang
Para ulama
Ahlus sunnah menjelaskan beberapa hikmah agung disyariatkannya shalat ‘Ied di
tanah lapang:
1. Untuk menampakkan syi’ar
Islam yang agung dan lambang ketinggian agama Allah Ta’ala yang
mulia.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ‘Ied termasuk syi’ar-syi’ar Islam
yang paling agung”45.
Imam Ibnul
Haajj al-Maliki berkata: “…Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
mensyariatkan shalat ‘Ied di tanah lapang untuk menampakkan syi’ar
Islam”46.
2. Sebagai sebab untuk menyatukan hati
kaum muslimin dan menghimpun kalimat mereka, dengan mereka shalat bersama di
tanah lapang yang luas di belakang satu imam.
Syaikh
Ahmad Syakir berkata: “Kemudian sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam ini, yaitu melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang, memiliki
hikmah yang sangat agung dan tinggi (yaitu) agar kaum muslimin mempunyai dua
hari dalam setahun (hari raya ‘Idul fithr dan ‘Iedul adha) untuk semua penduduk
kota berkumpul pada hari itu, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak.
Mereka semua menghadapkan diri kepada Allah dengan hati mereka, dengan satu
kalimat dan shalat (bersama) di belakang imam yang satu.
Mereka bertakbir
(mengucapkan ‘Allahu akbar’/Allah maha besar), bertahlil (mengucapkan
‘laa ilaha illallah’/Tidak ada sembahan yang benar selain Allah) dan
berdo’a kepada-Nya dengan ikhlas, seakan-akan mereka memiliki hati yang satu.
Mereka
berbahagia dan bergembira dengan limpahan nikmat Allah bagi mereka, sehingga
hari ‘Ied benar-benar menjadi hari raya bagi mereka…
Maka semoga
kaum muslimin mau mengikuti seruan untuk mengikuti sunnah Nabi mereka Shallallahu’alaihi
Wasallam ini dan menghidupkan syi’ar-syi’ar agama mereka, yang ini
merupakan penentu kemuliaan dan kesuksesan mereka. Allah Ta’ala
berfirman:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ
لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai
orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak
kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)47
hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24)”48.
Penjelasan
yang semakna juga dinyatakan oleh Syaikh Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam
dalam kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (3/55).
Juga
perlu diingatkan kepada kaum muslimin di sini bahwa tujuan disyariatkannya shalat ‘Ied di
tanah lapang adalah untuk menyatukan kaum muslimin di setiap kota di satu
tempat, maka tidak semestinya terjadi banyak diadakan tempat pelaksanaan shalat
‘Ied, baik di tanah lapang maupun masjid, apalagi yang jaraknya berdekatan,
karena ini akan memecah belah persatuan kaum muslimin dan jelas bertentangan
dengan hikamh agung disyariatkannya shalat ‘Ied, wallahul musta’aan49.
Nasehat dan penutup
Inilah
sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para al-Khulafaa’
ur-raasyidiin dan bahkan para Shahabat Radhiallahu’anhum secara
keseluruhan dalam melaksanakan shalat ‘Ied, apakah seorang muslim yang mengaku
mencintai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti petunjuk
para Shahabat Radhiallahu’anhum masih ragu-ragu untuk mengikuti dan
mengamalkannya?
Yang
sungguh sangat mengherankan, ketika sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam yang agung ini demikian mudah untuk diamalkan tanpa ada halangan
yang berarti, tapi sebagian dari kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada
yang mengaku sebagai pengikut sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
tetap bersikeras menyelisihinya, dengan melaksanakan shalat ‘Ied di masjid, wallahul
musta’an.
Sebagai
contoh, misalnya di beberapa daerah di Indonesia, alhamdulillah
pelaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang sudah dikenal dan terbiasa di kalangan
masyarakat muslim Indonesia, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa hal
ini lebih dikenal di kalangan masyarakat awam daripada shalat ‘Ied yang
dikerjakan di masjid-masjid.
Lantas
alasan dan halangan apakah yang menjadikan sebagian dari kaum muslimin tetap
menyelisihi sunnah yang agung ini? Kalaulah hal ini belum dikenal di
masyarakat, mungkin kita bisa memberikan ‘udzur dengan mengatakan bahwa
dalam rangka menjinakkan hati masyarakat awam maka untuk sementara dilakukan
dulu hal-hal yang mereka tidak ingkari, sampai pemahaman yang benar mereka
kenal dengan baik. Tapi kenyataan yang terjadi malah terbalik, justru
masyarakat awam yang lebih mengenal dan semangat mempraktekkan sunnah ini
daripada mereka yang mengaku dekat dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam.
{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}
“Maka
ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal
sehat” (QS al-Hasyr: 2).
Sebagai
penutup, di sini
kami nukilkan ucapan dari Syaikh al-Albani yang mengandung nasehat dan
kesimpulan dari pembahasan ini.
Beliau
berkata: “Dari penjelasan yang lalu maka kita ketahui bahwa melaksanakan shalat
‘Ied di tanah lapang inilah yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini merupakan hal yang disepakati oleh para
imam Ahlus sunnah dari tinjauan ilmiyah. Di samping itu, melaksanakan
shalat ‘Ied di tanah lapang mengandung banyak faedah dan hikmah yang tidak akan
terwujud mayoritasnya dengan dilaksanakan di satu atau banyak masjid.
Oleh karena
itu, semestinya bagi kaum muslimin untuk kembali kepada sunnah Nabi mereka
Shallallahu’alaihi Wasallam dan ikut serta (memberikan dukungan) kepada
orang-orang yang bersemangat ingin menghidupkan sunnah ini di negeri-negeri
kaum muslimin. Sesunguhnya tangan Allah di atas jama’ah kaum muslimin, yaitu
jama’ah (yang selalu menetapi) sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dan bukan yang menyelisihinya”50.
Semoga
tulisan sederhana ini bermanfaat sebagai nasehat kebaikan bagi kita semua dan
motivasi untuk selalu bersiap merubah diri kita mengikuti kebenaran yang telah
jelas argumentasinya di hadapan kita, wallahu waliyyut taufiq.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين،
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota
Kendari, 11 Ramadhan al-Mubarak 1436 H
****
Catatan kaki
1 Syi’ar adalah tanda atau lambang
keagungan Islam yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk ditegakkan
dan ditampakkan (lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar”
2/1169 dan “Tafsir as-Sa’di” hlmn. 76).
5 Perbuatan dalam agama yang
diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
17 Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Shalaatul ‘iedaini fil
mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 20).
29 Lihat kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 35-36)
dan “Taudhiihul ahkaam” (3/56).
30 Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al-Albani dalam “Shalaatul
‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn 27)
37 Lihat ucapan al-Hijawi dan Syaikh
al-‘Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387).
39 Perbuatan dalam agama yang
diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
44 Lihat kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387) dan
Shahiihu fiqhis sunnah” (1/601).
—
Penulis: Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., MA.
Artikel Muslim.or.id
Share Ulang:
- Sumber: https://muslim.or.id/26037-shalat-id-di-masjid-bolehkah.html
- Citramas, Cinunuk, Bandung