Islam Pedoman Hidup: Perincian Al-Qur’an

Rabu, 20 September 2017

Perincian Al-Qur’an


Pertanyaan:
Fadliilatusy-Syaikh, orang-orang Qur’aaniyyuun[1] berkata : ‘Allah ta’ala berfirman :
وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلا
Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan sejelas-jelasnya (QS. Al-Isra’ : 12).

Dan Allah ta’ala berfirman :
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Tidak Kami tinggalkan di dalam Al-Kitab ini sesuatupun (= tidak ada satupun yang tidak Kami tulis di dalam Kitab ini) (QS. Al-An’am : 38).

Rasulullah  bersabda :
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ طَرْفُهُ بِيَدِ اللَّهِ وَطَرَفُهُ بِأَيْدِيكُمْ، فَتَمَسَّكُوا بِهِ فَإِنَّكُمْ لَنْ تَضِلُّوا وَلَنْ تَهْلِكُوا بَعْدَهُ أَبَدًا
Sesungguhnya Al-Qur’an ini satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujungnya yang lain ada di tangan kalian.  Maka berpegangteguhlah kalian dengannya (Al-Qur’an), niscaya kalian tidak akan tersesat[2].

Kami mohon penjelasan Anda terhadap hal itu[3].

Jawab:

“Tentang firman-Nya ta’ala : ‘Tidak Kami tinggalkan di dalam Al-Kitab ini sesuatupun (= tidak ada satupun yang tidak Kami tulis di dalam Kitab ini)’ (QS. Al-An’am : 38), maka yang dimaksudkan dengan Al-Kitaab dalam ayat ini adalah Al-Lauhul-Mahfuudh[4], bukan Al-Qur’anul-Kariim.

Adapun firman-Nya ta'ala : ‘Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan sejelas-jelasnya’ (QS. Al-Isra’ : 12), apabila kalian hubungkan dengan ayat Al-Qur’anul-Kariim yang telah dijelaskan sebelumnya[5], maka dalam hal ini Allah ‘azza wa jalla lengkapi bahwa Ia telah menerangkan segala sesuatu dengan sejelas-jelasnya. Namun digabungkan dengan sesuatu yang lain[6].

Kalian telah mengetahui bahwa kadang perincian (tafshiil) itu dalam bentuk global/garis besar berupa kaedah-kaedah umum yang meliputi perkara-perkara juz’iyyaat yang tidak mungkin dibatasi karena saking banyaknya. Dengan Allah letakkan kaedah-kaedah yang dikenal tersebut pada perkara-perkara juz’iyyaat yang banyak, maka nampaklah makna ayat dimaksud.

Dan kadang perincian (tafshiil) itu langsung terkandung dalam ayat itu sendiri, sebagaimana sabda Nabi  :
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللَّهُ بِهِ، إِلا وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ اللَّهُ عَنْهُ، إِلا وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
Aku tidak meninggalkan sesuatu yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali telah aku perintahkannya juga kepada kalian. Dan aku tidak meninggalkan sesuatu yang Allah larang kalian darinya kecuali telah aku larang juga kalian darinya.[7]

Dengan demikian, perincian (tafshiil) kadang ada dalam bentuk kaedah-kaedah yang meliputi perkara-perkara juz’iyyaat yang banyak; kadang dalam bentuk perincian berbagai individu ibadah dan hukum tanpa perlu merujuk pada kaedah-kaedah itu.
Diantara kaedah-kaedah yang di dalamnya meliputi banyak perkara cabang – yang dengannya nampak keagungan Islam dan luasnya wilayah Islam dalam tasyrii’ – misalnya sabda Nabi  :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh menimpakan bahaya kepada diri sendiri dan kepada orang lain’.[8]

Juga sabda beliau  :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram’.[9]

Juga sabda beliau  :
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap yang kesesatan ada di neraka’.[10]

Inilah kaidah-kaidah umum lagi menyeluruh (kulliyyaat) yang tidak ada sesuatupun luput terkait dengan bahaya yang menimpa jiwa atau bahaya yang menimpa harta pada hadits yang pertama. Dan (tidak ada yang luput) terkait sesuatu yang memabukkan pada hadits kedua, baik yang memabukkan itu berasal dari anggur – sebagaimana masyhur - , jagung, atau bahan lainnya; selama itu memabukkan, maka haram hukumnya.

Begitu juga dengan hadits ketiga, tidak mungkin membatasi bid’ah-bid’ah karena banyaknya, dan tidak mungkin juga untuk menyebutnya satu per satu. Namun hadits ini dengan ringkas dikatakan secara jelas : ‘Dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap yang kesesatan ada di neraka’.

Ini adalah perincian (tafshiil), namun dalam bentuk kaedah.

Adapun berbagai hukum yang kalian ketahui, maka itu dirinci secara individu yang secara umum dijelaskan dalam As-Sunnah. Dan kadang, semisal hukum waris, disebutkan rinciannya dalam Al-Qur’anul-Kariim.

Tentang hadits yang disebutkan dalam pertanyaan, maka itu adalah hadits shahih. Pengamalannya adalah dengan cara berpegang teguh dengannya (Al-Qur’an), sebagaimana disebutkan dalam hadits:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ
Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasul-Nya ’.[11]

Maka berpegang teguh kepada tali Allah – yang itu ada di tangan kita – hanyalah dengan mengamalkan sunnah yang memberikan perincian bagi Al-Qur’anul-Kariim”

[selesai – Kaifa Yajibu ‘alainaa An Nunassiral-Qur’anal-Kariim oleh Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah, hal. 7-10].

Silakan baca artikel terkait : Kedudukan As-Sunnah dalam Islam.


Share Ulang: