Islam Pedoman Hidup: Periodisasi Ayat-ayat Riba

Rabu, 27 September 2017

Periodisasi Ayat-ayat Riba


Ayat-ayat Riba

Bagian dari kesempurnaan rahmat-Nya, Allah turunkan ayat tentang haramnya riba secara bertahap. Tidak menutup kemungkinan ada penggalan sejarah yang melatarbelakanginya. Bagaimana peristiwa sebenarnya?
Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA
Andaikan ada berita tentang seorang anak memperkosa ibu kandung sendiri, penulis yakin gelombang kutukan terhadap pelakunya tak bakal kuasa dibendung! Dipastikan tidak ada satu pun pendukung perilaku munkarnya!
Namun bagaimana halnya dengan bank, yang dilakukan melalui iklan, menawarkan pinjaman berbunga lunak? Akankah ada pengingkaran terhadap praktek ribawi yang dilakukannya? Ataukah justru dianggap lazim, atau jangan-jangan malah menuai pujian lantaran lunaknya bunga yang bank tawarkan? Sebaliknya, seorang ustad yang mengingatkan umat akan bahaya berhubungan dengan bank dalam transaksi seperti itu, akankah ia dicap orang kaku, keras, saklek dan segudang stigma negatif lain?
Begitulah realitas ketidaksadaran umat Islam akan bahaya riba. Padahal menurut Islam, berzina dengan ibu kandung dan memakan riba dosanya selevel! Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Riba ada tujuh puluh tiga tingkatan. Yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya” (HR. Hakim dan disahihkan Al-Albani).
Periodisasi Pengharaman Riba[1] 
Soal riba, tidaklah Allah mengharamkannya sekaligus, melainkan melalui tahapan yang hampir sama dengan tahapan pengharaman khamar.
Pembahasan ini bukan untuk mengubah hukum riba. Sebab riba sudah jelas haram berdasarkan Al-Quran, Sunnah maupun ijma ulama. Pembahasan ini untuk menjelaskan sejarah turunnya ayat-ayat tentang riba. Juga mengenalkan besarnya hikmah dan kasih sayang Allah yang mempertimbangkan kondisi psikologis hamba-Nya dan tingkat kesiapan mereka untuk menerima hukum. Tidak kalah pentingnya juga sebagai pembelajaran berbagai sisi argumen mengenai pengharaman riba dalam Al-Quran.
Tahap pertama, mematahkan paradigma manusia bahwa riba bisa melipat-gandakan harta
Pada tahap ini, Allah Ta’ala hanya menjelaskan bahwa cara mengembangkan uang melalui transaksi riba sesungguhnya sama sekali tidak dapat menambah harta di mata Allah Ta’ala. Bahkan tindakan ini secara makro berakibat pada ketidakseimbang sistem perekonomian, yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan manusia sendiri.
Membantah paradigma itu, Allah menggambarkannya dalam Surat Ar-Rum, yang artinya: Sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (QS. Ar-Rum: 39).
Tahap kedua, pemberitahuan bahwa riba juga diharamkan untuk umat terdahulu
Allah Ta’ala menginformasikan, karena buruknya sistem ribawi, umat terdahulu juga telah dilarang melakukannya. Bahkan mereka yang tetap bersikeras memakan riba, Allah mengkategorikannya sebagai orang-orang kafir dan mengancamnya dengan azab yang pedih. Ayat ini juga mengisyaratkan kemungkinan akan diharamkannya riba bagi umat Islam, sebagaimana telah diharamkan atas umat sebelumnya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih (QS. An-Nisa : 160-161).
Tahap ketiga, gambaran bahwa riba akan membuahkan kezaliman yang berlipat ganda
Pada tahapan ketiga, Allah Ta’ala menerangkan bahwa riba mengakibat kezaliman yang berlipat ganda. Di antara bentuknya: si pemberi pinjaman (kreditur) membebani debitur dengan bunga sebagai kompensasi tenggang waktu pembayaran utang. Bunga terus bertambah, sehingga debitur semakin sengsara, karena terbebani utang yang semakin berlipat ganda.[2]
Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran :130).
Salah satu yang perlu digarisbawahi, sebagaimana dijelaskan antara lain oleh As-Syaukani dalam Tafsirnya, bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda. Sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang. Pemahaman seperti ini keliru dan tidak dimaksudkan dalam ayat ini.
Tahap keempat, pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahap terakhir dari rangkaian periodisasi pengharaman riba. Pada tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala menegaskan, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) bila kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan)” (QS. Al-Baqarah : 278-279).
Setelah membaca penjelasan di atas, kita perlu membedakan antara proses penurunan syariat dengan proses penyampaian syariat. Proses penurunan syariat adalah murni hak Allah. Dia-lah satu-satunya Dzat yang menjadi sumber syariat. Karena itu, semuanya tergantung kehendak Allah. Hamba sama sekali tidak memiliki hak mengatur atau ikut campur. Syariat pelarangan sesuatu terkadang Allah turunkan langsung dan ada juga yang diturunkan secara bertahap. Semua ini kembali kepada kehendak Allah.
Sedangkan proses penyampaian syariat merupakan tugas para nabi dan semua pengikutnya. Pada penyampaian larangan syariat, seorang Muslim tidak boleh menggunakan prinsip bertahap. Akan tetapi harus menyampaikan hukum terakhir yang Allah turunkan. Terkait kasus larangan riba, seorang dai tidak boleh menyampaikan larangan ini secara bertahap, mengikuti tahapan pelarangan riba di atas. Karena jika demikian, berarti dia telah meninggalkan hukum Allah yang melarang makan riba secara mutlak. Karena tugas seorang Muslim adalah menyampaikan hukum Allah, bukan menurunkan hukum Allah.
Allahu a’lam.**
 
Keterangan:
[1] At-Tadarruj fî Tahrîm ar-Ribâ dalam http://www.hablullah.com/?p=1133 dan Bahaya Riba makalah Rikza Maulan, Lc., M.Ag sebagaimana dalam http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/bahaya-riba.htm, dengan berbagai tambahan dan perubahan.
[2] Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).




Share Ulang: