Oleh
Ustadz Ruslan Zuardi Mora Elbagani, Lc.
Ustadz Ruslan Zuardi Mora Elbagani, Lc.
Allâh
Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dari suatu
ketiadaan menjadi suatu bentuk wujud nyata nan bagus elok rupa dan
parasnya. Sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya :
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [at-Tin/95:4]
Kemudian
Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka nikmat
yang sangat banyak. Diantaranya nikmat kesempurnaan panca indera,
kesehatan, rezeki, keturunan dan nikmat-nikmat lain yang tidak
terhitung.
Selanjutnya,
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan nikmat-nikmat itu
dengan menganugerahkan hidayah kepada mereka. Yaitu suatu nikmat yang
tidak diberikan kepada setiap hamba, karena merupakan nikmat yang
diberikan khusus kepada hamba-hamba pilihan Allâh Subhanahu wa
Ta’ala.
Hidayah
adalah milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan di tangan
Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh hanya hamba yang
terpilih lagi beruntung yang akan mendapatkannya. Ibnul Jauzi
rahimahullah berkata, “Demi Allâh Subhanahu wa Ta’ala
! Pendidikan orang tua tidak akan bermanfaat jika tidak didahului oleh
pilihan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap anaknya.
Sesungguhnya, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala memilih
seorang hamba, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan
menjaganya semenjak ia kecil. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
juga memberinya hidayah menuju jalan kebenaran serta membimbingnya ke
arah yang lurus. Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan membuatnya
menyenangi hal-hal yang baik, dan mempertemankanya dengan orang yang
baik.”[1]
Ada
di antara hamba yang mengharap hidayah kemudian Allâh Subhanahu
wa Ta’ala mengaruniakannya kepadanya, namun ada pula yang tidak
diberi, dikarenakan keadilan dan ilmu Allâh Subhanahu wa
Ta’ala terhadap kejujuran serta kebenaran harapannya.
Di
antara hamba-hamba Allâh, ada yang telah merasakan indah dan
manisnya hidayah namun ia tidak menjaganya sehingga hidayah itu pun
sirna dari dirinya. Ada juga yang pernah menikmati hidayah dalam waktu
yang lama, namun kemudian terlepas darinya. Akhirya karena rahmat
Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata, hidayah itu dapat kembali
kepadanya. Dengan bertaubat dan beristighfar kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala merupakan jalan terbaik. Seorang hamba yang
mengalami hal tersebut merasakan seolah-olah terlahir kembali, hidup
setelah kematian yang panjang. Menangis karena kebahagian yang tiada
tara setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya
kembali… La haula wala quwwata illa billah. Sungguh, nikmat
hidayah itu adalah nikmat yang sangat besar. Namun hidayah apakah yang
dimaksud mari kita simak ulasan berikut ini.
Lafadz
“Al-Huda” serta pecahan katanya dalam al-Qur’ân
disepakati oleh Ulama sebagai kata yang paling banyak bentuk maknanya.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan ada dua puluh empat makna
lafadz al-huda.[2] Dan Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan ada
tujuh belas makna lafadz al-huda.[3] Keseluruhan makna tersebut
bermuara pada satu inti yaitu penjelasan dan pengarahan dengan penuh
lemah lembut dan santun.
Adapun makna hidayah secara istilah adalah penjelasan dan pengarahan kepada tujuan yang dimaksud.[4]
TINGKATAN HIDAYAH
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada empat macam atau tingkatan hidayah :[5]
Pertama : Hidâyah ‘Ammah (Menyeluruh).
Hidayah ini meliputi semua makhluk hidup dengan jenisnya yang beragam.
Kedua : Hidâyatul Bayân Wad Dalâlah Wat Ta’rîf Wal Irsyâd
Hidâyatul bayân bisa dilakukan oleh siapa pun yang memiliki
kemampuan menyampaikannya. Inilah yang dimaksud dalam firman
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.”[asy-Syûrâ/42:52]
Setiap
Muslim yang menyeru kepada kebaikan, ketaatan atau amal shaleh adalah
seorang da’i kepada hidâyah. Selain itu hidayah ini juga
dapat diperoleh dari kitab bacaan maupun kitab visual.
Ketiga : Hidâyatut Taufîq Wal Ilhâm
Hidâyatut taufîq merupakan kekhususan Allâh Subhanahu
wa Ta’ala, tidak ada yang memilikinya kecuali Allâh
Subhanahu wa Ta’ala.[6] Ia memberikan hidayah ini kepada siapa
yang Ia kehendaki tanpa ada campur tangan pihak lain sekalipun Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Inilah yang terpahami dari
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala tehadap Nabi-Nya :
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Bukan
kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allâh-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang
dikehendaki-nya.[al-Baqarah/2:272]
Karena hati itu berada ditangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Ia dapat membolak-balikkannya sekehendak-Nya.
Hidâyatut taufîq wal ilhâm ini memiliki dua tingkatan:
1. Hidâyatut taufîq dari kekufuran dan kesyirikan menuju Islam dan tauhid.
Hidayah ini diperoleh oleh seseorang yang sebelumnya kafir dan musyrik
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat beserta segenap ketentuan dan
persyaratannya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَقُلْ
لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ ۚ فَإِنْ
أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ
الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada
orang-orang yang ummi, “Apakah kamu (mau) masuk Islam?”
Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk,
dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allâh) dan Allâh maha melihat akan
hamba-hambanya.” [Ali Imran/3:20].
Hidayah
ini dapat menyelamatkan seseorang dari kekekalan dalam api neraka,
meskipun ia pernah terjatuh dalam lembah dosa dan jurang kemaksiatan.
Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki maka
Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosanya meskipun
ia meninggal sebelum sempat bertaubat.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
Sesungguhnya
Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allâh maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisa’/4:48].
Tidak
ada sesuatu pun yang dapat mencabut hidayah ini, melainkan apabila
seseorang melakukan salah satu pembatal keislaman dan ketauhidan yang
telah dirinci oleh para Ulama dalam kitab-kitab akidah.
2.
Hidâyatut taufîq dari kebid’ahan menuju sunnah, dari
kemaksiatan menuju ketaatan, dan dari dosa menuju ibadah.
Hidayah inilah merupakan hidayah yang paling utama. Inilah yang
diinginkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga
yang seharusnya dicari oleh seorang hamba. Dengan hidayah ini seorang
hamba berlomba meraih pahala yang besar, kedudukan yang tinggi di sisi
Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan surga dambaan setiap hamba.
Tidak
semua orang yang telah diberi hidayah kepada Islam bisa mendapatkan
hidayah untuk mengamalkan Islam sesuai dengan sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan,
sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allâh Azza wa Jalla),
banyak pihak yang menyimpang dan sesat, sedangkan yang selamat dari
mereka hanyalah sedikit.
Cermatilah
berita Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang perpecahan yang terjadi pada umat ini. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ
إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Umatku
akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk
neraka, kecuali satu golongan.” Beliau ditanya, “Siapakah
dia, wahai Rasûlullâh?” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “(Golongan) yang berada di atas
apa yang aku dan para sahabatku berada diatasnya”. [HR.
at-Tirmidzi.[7] Hadits ini dihasankan oleh syaikh Al-Albani.[8]]
Hanya
satu golongan yang dinyatakan selamat dari kesesatan. Mereka adalah
orang-orang yang senantiasa di atas Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hidayah
ini merupakan konsekuensi dari hidâyatut taufîq yang
pertama. Setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan
memeluk agama Islam harus mempelajari dan mengamalkan Islam sesuai
dengan bimbingan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia harus mengaplikasikan Islam secara kaffah
dalam kehidupannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
[al-Baqarah/2:208]
Inilah
makna dan hakikat hidayah yang sesungguhnya. Hidayah di atas jalan yang
lurus. Hidayah di atas as-Sunnah. Bila hidayah ini luput dari seorang
Muslim, maka dikhawatirkan ia telah ditimpa musibah besar, yaitu
musibah yang menimpa agamanya disebabkan jauhnya ia dari sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
sesungguhnya tidak ada musibah yang lebih besar selain musibah yang
menimpa agama seseorang.
Keempat : Hidayah Untuk Dapat Masuk Kedalam Surga.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا
Dan
mereka berkata: Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami
kepada (surga) ini.” [al-A’râf/7:43].
Keempat
tingkatan hidayah ini bertahap sifatnya. Seorang hamba yang belum
mencapai tingkatan kedua tidak akan mendapatkan hidayah tingkatan yang
ketiga. Untuk mencapai tingkatan hidayah keempat, ia harus melalui
tingkatan yang kedua dan ketiga.
BUAH DARI HIDAYAH
Hidayah akan menghasilkan hidayah yang lain, dan diantara buah dari hidayah sebagaimana berikut ini:
•
Hidayah adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih. Sudah menjadi
kelaziman bahwa setiap amal shalih akan mendatangkan kebaikan bagi
pelakunya, terlebih lagi jika kebaikan itu diikuti dan diamalkan oleh
orang lain setelahnya, maka akan lebih mendatangkan hasil dan buah yang
akan dipetik oleh pelaku pertama kebaikan tersebut. Sebagaimana
dinyatakan di dalam hadits:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدَىً ، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ
تَبِعَه ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أجُورِهمْ شَيئاً ، وَمَنْ دَعَا إِلَى
ضَلاَلَةٍ ، كَانَ عَلَيهِ مِنَ الإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ ،
لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيئاً
Barangsiapa
menyeru kepada hidayah maka akan ia memperoleh pahala seperti pahala
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Dan barang siapa menyeru kepada kesesatan maka ia akan
mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi sedikitpun dosa mereka.” [HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu
Daud, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi. At-Tirmidzi berkata Hadits hasan
shahih.[10] Hadits ini dishahihkan oleh Imam al-Albani ]
•
Seorang yang mencari hidayah berarti ia telah memenuhi seruan
Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang akan berdampak positif
bagi-nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنِ
اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا
يَضِلُّ عَلَيْهَا ۖ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ
Katakanlah,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran
(al-Qur’ân) dari Rabbmu, sebab itu barangsiapa yang
mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan
dirinya sendiri. Dan barangsiapa sesat maka sesungguhnya kesesatannya
itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga
terhadap dirimu.” [Yûnus/10:108].
Ketika
seorang hamba memenuhi panggilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala,
mencari dan mengejar hidayah, mengorbankan segala yang dimilikinya,
lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan taufik
kepadanya sehingga dia meraih kenikmatan dan keutamaan yang tiada tara
di dunia, dan di akhirat dimasukkan ke dalam surga, yang merasakan
semua ini adalah si hamba sendiri. Sedangkan Allâh Subhanahu wa
Ta’ala Maha Kaya, tidak membutuhkan apa pun dari hambanya.
•
Istiqâmah di atas ad-Din dan as-Sunnah, ini juga bagian dari buah
hidayah dan sekaligus merupakan konsekwensi hidayah.
• Merasa ringan untuk melakukan semua perkara yang disyariatkan.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا
جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ
يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ
كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ
اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ
Dan
kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekararang)
melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allâh; dan Allâh tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allâh maha pengasih lagi maha penyayang kepada
manusia”.[Al-Baqarah/2:143].
•
Hidayah adalah penyebab datangnya ampunan Allâh Subhanahu wa
Ta’ala . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
Dan
sesungguhnya aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman,
beramal shalih kemudian tetap dijalan yang
benar.”[Thahâ/20:82].
• Orang-orang yang diberikan hidayah akan tergolong menjadi orang yang lapang dada, paling bahagia dan paling elok hatinya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَنْ
يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ
يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا
يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barangsiapa
Allâh kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) islam. Dan barangsiapa
yang dikehendaki kesesatannya, niscaya Allâh menjadikan dadanya
sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki
kelangit.”[Al-An’aam/6:125].
• Jalan untuk menambah ilmu.
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk”.[Maryam/19:76]
Kata “al-huda” disini mencakup ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.[12]
• Sebagai perantara untuk mendapatkan kemenangan.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Mereka
itulah yang tetap mendapatkan petunjuk dari tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung.”[Al-Baqarah/2:5].
Nas’alullah al-huda wa at-tuqa wa al-‘afafa wa al-ghina. Wallahu ta’ala a’lam
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shaidul Khathir, 1 / 84
[2]. Nuzhatul a’yun, 1 / 626-630
[3]. Al-Itqân, 1/ 410-411
[4]. At-Ta’rîfât, 1/277
[5]. Ibid, 2 / 271-273
[6]. Ini yang mendasari perbedaan antara hidâyatut taufîq dan hidâyatul Irsyâd
[7]. Sunan at-Tirmidzi, no. 2641
[8]. As-Shahîh wad Dha’îf, no. 9474
[9]. Fathul Bâri, 11 / 515
[10]. Shahîh Muslim, no. 2739; Sunan at-Tirmidzi, no. 2674; Sunan Abu Daud No. 4611; Sunan Ibnu Mâjah, no. 206; Musnad Ahmad, no. 916, Sunan ad-Darimi No. 530
[11]. Sisilah al-Ahâdîts as-Shahîhah, 2 / 439
[12]. Tafsir as-Sa’di, 1/581
Footnote
[1]. Shaidul Khathir, 1 / 84
[2]. Nuzhatul a’yun, 1 / 626-630
[3]. Al-Itqân, 1/ 410-411
[4]. At-Ta’rîfât, 1/277
[5]. Ibid, 2 / 271-273
[6]. Ini yang mendasari perbedaan antara hidâyatut taufîq dan hidâyatul Irsyâd
[7]. Sunan at-Tirmidzi, no. 2641
[8]. As-Shahîh wad Dha’îf, no. 9474
[9]. Fathul Bâri, 11 / 515
[10]. Shahîh Muslim, no. 2739; Sunan at-Tirmidzi, no. 2674; Sunan Abu Daud No. 4611; Sunan Ibnu Mâjah, no. 206; Musnad Ahmad, no. 916, Sunan ad-Darimi No. 530
[11]. Sisilah al-Ahâdîts as-Shahîhah, 2 / 439
[12]. Tafsir as-Sa’di, 1/581
Share Ulang:
- Jln. Pal Merah 3, Jakarta
- from= https://almanhaj.or.id/4300-hidayah.html